singkat waktu

726 46 0
                                    

Seorang anak perempuan berambut cokelat gelap di kuncir ke belakang tengah bermain di halaman rumah, terdapat bunga-bunga di luar pagarnya, dia sedang memetiknya sambil memperhatikan kupu-kupu yang hinggap.

Kupu-kupu itu terbang, hinggap di atas rambutnya. Dia terkejut lalu tersenyum senang. Dirinya berusaha tak bergerak dan dengan perlahan menyodorkan bunga-bunga yang dia petik ke atas kepalanya berharap kupu-kupu itu hinggap di bunganya.

Namun sayangnya kupu-kupu berwarna biru itu terbang menjauh, gadis kecil itu jadi sedih sambil memandang kepergiannya.

"Yah udah terbang." Dia mengeluh.

"Meredith kau ada di sana?!"

Dia terkejut karena suara pria itu, segera berbalik dan tak lama pria itu muncul dengan celana coklat panjang dan atasan putih berlengan. Gadis yang di panggil Meredith itu berlari dan memeluk kedua kakinya.

"Paman aku menunggumu lama."

Pria berambut pendek terkesan acak-acakan itu mengelus rambut pirang Meredith. "Maafkan paman, ya Edith. Ada pekerjaan yang harus paman urus dulu."

Edith melepaskan pelukannya, dia mundur beberapa langkah dan menatap pria yang mungkin memiliki tinggi seratus delapan puluhan.

"Tidak apa-apa, aku senang karena paman mau bermain bersamaku. Ayo kita main." Edith meraih jari pria itu dan menariknya.

Pria yang dia panggil paman itu adalah Ajax Hadwon, yang dulunya adalah seorang petani.

Ajax adalah seorang anak petani di desa kekuasaan Baron di wilayah itu, kesehariannya hanya ada di ladang. Karena kelihaiannya dalam berbicara dia di ajak kerjasama untuk jadi promotor sebuah baju, guci dan masih banyak lagi.

Karena keberhasilannya dalam menarik pelanggan dia mendapat gaji cukup untuk menghidupi keluarganya yang sedang gagal panen.

"Paman lihat aku, cantikkan?" Gadis itu tersenyum memamerkan mahkota bunga di atas kepalanya, Ajax mengangguk. Tatapannya berubah sedih kala dia ingat tentang Meredith.

Meredith Grey adalah anak saudagar kaya yang membantunya, dia bernama Rowan. Rowan sebagai ayah kandungnya mengacuhkan Edith yang sebenarnya sangat membutuhkan kehadirannya.

Kadang dia kasihan dengan gadis itu yang seperti menanti ayahnya memeluknya, tapi pria itu terus menghindar dan terkesan membenci. Tak jarang Edith bertanya padanya tentang ayahnya yang bersikap dingin dan kasar padanya, tetapi dia tidak bisa menjawabnya.

Karena selain tidak tahu alasan di balik sikap dinginnya, dia juga tidak tahu masalah apa yang dihadapi Rowan hingga mengabaikan putrinya itu.

"Ini sudah sore, kau harus pulang."

Tak terasa mereka menikmati waktu berdua hingga matahari hampir terbenam. Mereka bermain di halaman rumah Ajax, tempat biasanya Edith menunggunya untuk bermain.

Edith menundukkan  kepala seraya menggeleng pelan.

"Kenapa? Ini sudah sore waktunya pulang."

Dengan bibir mengerucut anak itu menjawab, "aku ingin terus bersama paman."

Ajax tersenyum kemudian mengangkat tubuh Edith, sengaja menggelitiki-nya agar bibir kecilnya tersenyum.

"Paman berhenti, ini geli." Edith tertawa sambil berusaha melepaskan tangan Ajax.

"Pulang, ya. Nanti bibi Maria khawatir."

"Tidak mau." Edith kembali menggeleng.

"Kenapa? Kenapa kamu tidak mau pulang?"

"Karena aku masih kangen sama paman, paman jarang ada di rumah aku jadi selalu kangen." Mendengar pengakuan gadis kecil itu bibir Ajax tanpa bisa di tahan tersenyum.

"Aku menginap di rumah paman,ya? Kumohon." Edith menyatukan kedua telapak tangannya kedepan, wajahnya memelas meminta Ajax mengizinkannya menginap di rumah pria itu.

"Em, baiklah paman izinkan, tapi kau harus izin ayahmu dulu."

Ekspresi Edith seketika berubah, dia menghela nafas kasar setelahnya, Ajax yang menyadarinya mengerutkan alis.

"Paman curang, paman pasti sengaja melakukannya'kan." Gadis itu memberontak ingin turun, Ajax menurunkan secara perlahan.

"Paman tau, aku tidak mau bertemu ayah. Dia menakutkan," ucapnya pelan, tetapi Ajax masih mendengarnya.

Takut pada ayahnya? Ajax sebenarnya terkejut, tapi dia menyembunyikan-nya dengan baik. Dia tidak menyangka anak kecil yang polos di depannya itu bisa memiliki rasa takut pada ayahnya sendiri, sebenarnya apa yang dia alami.

Perasaan takut pada anak bisa timbul jika seseorang melakukan tindakan kekerasan atau hal yang membuat anak takut, kedua opsi itu mungkin di alami oleh Edith.

"Kenapa dia menakutkan?" Ajax memutuskan untuk memancingnya.

"Saat menatapku dia selalu melotot seakan marah padaku tapi tidak menggunakan mulutnya. Dia tidak pernah tersenyum padaku dan selalu kasar saat aku menginginkan sesuatu darinya. Dia selalu bilang aku anak nakal tapi aku tidak melakukan apapun. Dia juga selalu bilang aku pembawa sial.

Padahal aku tidak melakukan apapun yang membuatnya marah, padahal aku selalu patuh padanya tapi dia seakan tak menghargaiku. Dia mengatakan kata-kata yang membuatku sedih, sialan, brengsek dan tidak berguna. Paman jelaskan kenapa ayah begitu." Suara Edith bergetar dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

Ajax tak bisa membendung rasa sedihnya jadi dia memeluk gadis itu, pelukan erat yang hangat. Edith menikmatinya, dia menangis di bahu lebar pria itu dan menumpahkan perasaan sakit yang dia pendam.

Ajax mengelus punggungnya halus, gerakan kecil yang mampu mengurangi rasa sedihnya. Ajax tahu dan Ajax sadar jika gadis itu membutuhkan sosok ayah untuk memeluknya, menyayanginya.

Ayahku ternyata duke!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang