empat belas tahun

602 43 0
                                    

Ajax segera pergi setelah di telepon oleh Maria, si pengurus rumah kediaman Edith. Wanita itu mengatakan jika Edith mengalami kecelakaan terjatuh dari pohon dan mengalami pingsan cukup lama.

Menurut informasi yang Maria katakan, Edith sudah pingsan selama satu hari penuh dan belum sadarkan diri. Meski dokter mengatakan tidak ada kesalahan pada tubuhnya selain kaki yang patah Maria tetaplah khawatir jadi dia menelpon Ajax alih-alih Rowan, ayah kandung gadis itu.

Ajax kembali ke kota Falkirk dan menemui Edith yang masih terbaring di atas ranjang. Wajahnya terlihat kusam di banding terakhir kali dia melihatnya, ada lebam di dahinya juga kaki kanannya yang terbungkus kain kasa.

Terhitung tiga hari Edith pingsan, selama tiga hari itu dia tidak makan atau minum. Menurut Maria, dia sudah mencoba memberi Edith makan dan minum dengan bantuan orang lain, tapi percuma karena Edith tak menelannya.

Ajax khawatir jika itu terus berlanjut, keadaan Edith akan semakin parah.

"Edith bangunlah, paman di sini." Ajax mengusap dahinya lembut, tangan satunya menggenggam tangan kanan Edith.

Pintu terbuka memperlihatkan Maria yang membawa nampan berisi baskom dan lap.

"Bibi Maria? Apa kau akan memandikannya?" Ajax bertanya.

"Iya, tapi nanti saja. Bibi ingin bicara." Wanita yang cukup berumur itu meletakkan nampan di atas meja samping ranjang Edith lalu duduk di pinggir ranjang sembari memeriksa kaki gadis itu yang patah.

"Apa kau sudah bicara pada Rowan? Pria itu sangat sulit di bujuk, aku sudah beberapa kali bilang padanya agar dia menjenguk putrinya setidaknya sekali." Setelah di rasa tidak ada infeksi atau perban yang lepas Maria menutup kembali kaki Edith dengan selimut.

Ajax menggeleng, " tidak bi. Dia sangat sulit di nasehati. Aku sudah menyerah dengannya."

Maria menghela nafas, dia memandang wajah Edith yang masih terpejam. Gadis itu tampak tenang seolah sedang tertidur nyenyak, memimpikan hal indah hingga sulit terbangun.

"Ukh." Terdengar lenguhan dari mulut gadis itu, keduanya tersentak dan sama-sama berdiri.

"Edith, nak. Buka matamu." Maria memanggilnya halus, perlahan kelopak matanya terangkat, memperlihatkan iris mata sejernih madu.

Senyum Ajax dan Maria mengembang bersamaan, dalam dada mengucap syukur berkali-kali.

"Edith akhirnya kau sadar." Ucapan kegembiraan itu berasal dari Ajax yang sangat senang, pria itu ingin memeluk Edith jika saja gadis itu dalam keadaan baik.

"Haus." Satu kata itu menyadarkan mereka atas kebodohan mereka, Maria mengajukan diri untuk mengambil minum dan mungkin wanita itu juga akan membawakan makanan.

Sementara Ajax masih di samping ranjang, berdiri dengan badan yang membungkuk sembari menggenggam kedua tangan Edith. Gadis itu tidak mengatakan apapun selain menatap seluruh ruangan dan dirinya.

"Ada apa? kau membutuhkan sesuatu lagi?" Ajax bertanya dengan suara lembut.

"Aku di mana?"

"Ini kamarmu."

"Kepalaku sakit." Edith meringis sambil memegang kepalanya yang berdenyut.

Ajax mengusap pucuk kepala gadis itu lembut. "Jangan terlalu banyak berpikir, tenangkan dirimu dulu. Kau baru saja terbangun setelah tiga hari pingsan."

"Tiga hari?"

"Iya Edith. Mungkin itulah penyebab kepalamu pusing."

Pintu terbuka kembali dan muncul Maria yang membawa nampan baru berisi makanan dan satu gelas air putih, satu gelas susu.

Ajax sigap membantu Edith duduk, gadis itu terlihat lemas dan tak memiliki tenaga. Maria mulai menyuapinya, wanita itu terkekeh melihat Edith begitu lahap makannya.

Setelah selesai Edith di suruh meminum susu meski dia menolak karena perutnya penuh, Maria pergi untuk mengembalikan nampan ke dapur. Ajax menumpuk bantal untuk jadi sandaran Edith.

"Sebenarnya aku kenapa?"

Ajax mengira, Edith melupakan kejadian yang menimpanya karena dehidrasi dan kekurangan cairan jadi dia menjawab pertanyaan Edith tanpa memikirkan apapun.

"Kau jatuh dari pohon. Menurut bibi Maria kau jatuh dari ketinggian tujuh meter menyebabkan kakimu patah."

Edith melirik kaki kirinya yang terbungkus kain. Dia menatapnya lama hingga Maria datang kembali lalu keduanya meninggalkan Edith sendiri untuk istirahat.

\_____________/

Saat Ajax akan kembali ke rumahnya tak sengaja dia berpapasan dengan Rowan dan pria itu menyuruh untuk ke ruangannya. Segelas teh di sajikan Maria atas perintah Rowan, melihat itu Ajax berpikir jika perbincangan mereka akan cukup lama.

"Bagaimana perkembangan dagang di sana?"

Pria itu duduk dengan kaki di silangkan, kedua jarinya memegang rokok yang masih utuh.

"Tidak terlalu memuaskan, di daerah itu banyak orang yang menjadi pemburu jadi kami hampir mengalami kerugian karena mereka tidak membutuhkan barang yang kami jual."

Terdengar decakan dari orang di depannya, lalu Rowan mengambil korek di atas meja dan menyalahkan rokoknya.

"Kalau begitu jual alat berburu."

"Di sana banyak pedagang yang menjual alat berburu tapi tidak ramai karena penduduknya lebih suka membuat sendiri, senjata api juga ilegal di gunakan di sana."

Rowan menghisap rokoknya dan menghembuskan asap rokok ke udara, terbawa angin dan menghilang. Dari wajahnya dia tampak frustasi.

"Bagaimana perkembangan bisnis kaca?"

"Sungguh meningkat, banyak konsumen yang ingin membeli bahkan mereka ingin memesan langsung."

Angin berhembus dari sela-sela jendela yang seperti membawa udara segar bagi Rowan. Kakinya bergoyang membuat bunyi ketuk di kaki meja. Rokok dia hisap kembali.

Malam itu Rowan dan Ajax berbincang perihal bisnis dan dagang, strategi dan riset untuk mendapatkan banyak pembeli. Perbincangan mereka tak jauh seputar bisnis.

Kolaborasi yang sangat mematikan antara orang yang lihai berbicara dan orang yang mengerti berbisnis. Keduanya mencapai keinginan begitu mudah hanya dengan sedikit trik dan kata manis.

Rowan sendiri memiliki banyak bisnis yang dia rangkul bersamaan, selain kerajinan kaca dia juga membuat baju, sepatu, tas dan topi untuk semua kalangan. Lalu senjata tajam, dari pisau hingga pedang.

Tentunya Rowan tidak mungkin memiliki bisnis sebanyak itu secara tunggal, dia bekerja sama dengan dua rekannya. Mereka juga memiliki bisnisnya masing-masing, seperti halnya Rowan yang awalnya sebagai pedagang sengaja tajam, merekapun sama.

"Rowan untuk sekian kalinya aku mohon padamu, perhatikan Edith. Dia membutuhkanmu."

Rowan mencabut rokok yang sudah habis dari kedua bibirnya, dan menekan kuntung rokok itu ke asbak hingga remuk. Dia menatap Ajax.

"Meski kau pandai dalam membujuk orang tapi tidak denganku." Dia beranjak dari sana dan masuk ke lorong yang lampunya sudah di matikan.

Ayahku ternyata duke!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang