Keesokannya, setelah mereka bangun agak siang, Rowan dan Ajax kompak menyerbu kamar Edith yang masih tidur dengan air liur mengalir dari mulutnya.
Gadis itu bangun dengan perasaan terkejut. Dia duduk di ranjang berhadapan dengan Ajax yang duduk di kursi kayu dan Rowan berdiri di sampingnya. Edith tanpa sadar menelan ludah.
"Edith katakan pada paman sejak kapan kau bergaul dengan mereka? Sejak kapan kau bermain judi? Dan sejak kapan sikapmu berubah?" Pertanyaan beruntung di layangkan Ajax.
"Apa kau tanyakan itu? Aku sama seperti diriku yang dulu, aku tidak pernah berubah."
Mendengar jawabannya Ajax melirik Rowan tajam, secara tidak langsung menyalahkan. Rowan yang mendapat lirikan tajam itu mengangkat alisnya, pura-pura tidak tahu.
"Edith paman tahu kau begini karena melampiaskan rasa sakit hatimu, tapi tolong Edith jangan menyakiti dirimu sendiri. Bergaul dengan laki-laki, berjudi. Paman tidak mau masa depanmu terancam." ujar Ajax melankolis.
"Terancam? Memang aku sedang perang apa." gumam Edith yang di dengar semua orang di sana.
"Edith paman serius." tegas Ajax.
"Iya, iya aku tahu kau sedang serius, duarius malah." Edith mengacungkan dua jarinya dengan wajah serius.
"Pfff..."
Ajax dan Edith kompak menoleh pada Rowan yang tiba-tiba tertawa, alis Ajax mengerut dalam.
"Kenapa kau?"
Berhasil mengendalikan dirinya, Rowan kembali bersikap biasa. "Tidak, tidak apa-apa."
"Edith, karena kelakuanmu kau harus di hukum. Hukumannya adalah kerja sosial membersihkan sampah di setiap rumah." putus Ajax yang membuat Edith melotot.
"Apa? Yang benar saja."
"Kau harus melakukannya esok pagi, untuk hari ini khusus untukmu paman akan meluangkan waktu." Edith hanya mendengus.
Dan di sinilah Edith berada, di halaman depan tepat di bawah pohon. Gadis itu duduk dengan buku-buku di kedua sisinya, salah satunya tengah dia baca dan Ajax ada di depannya sedang mengoceh perihal pergaulan bebas.
Edith menguap lebar, seperti sengaja melakukannya.
"Tutup mulutmu saat menguap, utamakan etika." Tiba-tiba Rowan ikut nimbrung dan duduk di belakang Edith.
"Mempelajari tentang pergaulan itu memang di perlukan tapi yang terpenting adalah etika. Etika sangat penting bagi perempuan sepertimu, terutama kalangan anak muda, kau harus memperdalam etika lebih dulu." Rowan berbicara santai seolah dia adalah guru profesional yang akan mengajari anak didiknya.
"Apa maksudnya itu? Etika memang penting, tapi Edith sudah tahu itu. Jangan bicarakan soal etika saat kau sendiri meminta anak kecil pada seorang wanita untuk di interogasi tengah malam." sindir Ajax terang-terangan.
Rowan tertohok, dia berdehem sebagai pengalihan. Edith malah menguap untuk sekian kalinya, sepertinya gadis itu terlihat tak peduli.
"Hei pria-pria tampan. Aku bosan, aku ingin sesuatu yang menantang. Bagaimana kalau kita berjudi."
"Tidak!!" sentak dari keduanya membuat Edith terperanjat sampai memegang dada.
"Santai saja dong, jangan ngegas begitu. Aku'kan cuma menyarankan. Kalau berburu bagaimana? di sebrang ada hutan." Antusiasnya kembali saat menyarankan ide baru untuk bersenang-senang.
Rowan memijat kening, dia mendesis pelan. "Edith, tolong bertingkah sesuai usiamu. Kau masih anak menuju remaja. Tidak sepatutnya kau berburu apalagi berjudi." Rowan menasehati dengan pelan dan halus.
Di satu sisi Ajax memperhatikannya, dia baru pertama kali melihat Rowan menasehati Edith dengan cara yang halus.
"Mau bilang jujurpun percuma. Aku sudah mengatakan semuanya, tapi kalian tetap tidak percaya." Gumam Edith.
\_________________/
Edith sedang memakan masakan Maria di halaman depan, mereka berdua mengobrol terlihat seru di mata dua pria yang memperhatikan mereka.
Sudah berlalu tiga jam sejak Ajax mengajarkan Edith mengenai buruknya pergaulan bebas dan dampak berjudi, gadis itu tampak tidak serius menyimak.
Dalam pikirannya, Ajax bertanya tentang mengapa sikap Edith berubah derastis. Dulu, gadis itu adalah gadis yang penurut, pendiam dan selalu senang setiap kehadirannya.
Sangat kontras dengan apa yang dia lihat sekarang. Gadis itu liar, blak-blakan dan kadang melakukan hal yang tak terduga contohnya berburu dan berjudi.
Apa yang membuat gadis itu berubah? Tanyanya dalam hati lalu melirik Rowan yang sedang memperhatikan gadis itu dari ambang pintu.
Di sisi Rowan sendiri, dia sedang berpikir bagaimana mendekatkan diri dengan putrinya. Dia tidak tahu apapun tentang gadis itu, dari mulai kesukaannya sampai apa yang dia benci. Bahkan makanan yang sering anak itu makanpun Rowan tak tahu.
"Hei bibi Maria, apa saat masih muda dulu banyak pria yang mengincarmu?" Edith tiba-tiba bertanya begitu.
Maria terdiam, dia memalingkan wajah dengan pipi memerah. Edith yang melihatnya mengedipkan mata beberapa kali seolah tak menduga reaksi Maria.
"Ceritakan padaku, ceritakan." desak Edith antuasias.
"Hal seperti itu tidak perlu di ceritakan." Tolak Maria secara halus.
Edith berdecak. "Bibi tidak asik. Dari reaksimu pasti kau termasuk kembang desa, pasti banyak pria yang ingin mencicipi bibirmu saat itu, ya?"
Rowan dan Ajax melotot bersamaan saat topik pembicaraan mengarah pada hal sensitif, Ajax yang berada di dekat mereka segera mendekat dan mengintrupsi mereka berdua.
"Sudah sore, lebih baik masuk rumah."
Namun bukannya segera berdiri dan pergi masuk Edith justru berceletuk. "Yang kutahu kau itu singel, ya. Mau berciuman denganku?"
Ajax terperanjat hingga hampir jatuh terduduk, mulutnya menganga dengan tangan yang gemetar. Tatapannya kosong entah menatap kemana, pria itu seakan terkena serangan kejut yang membuatnya mati sesaat.
Sementara Rowan tidak jauh beda hanya saja tatapan matanya mengarah pada rasa marah.
Edith tak tahu karena pertanyaan konyolnya, menimbulkan masalah bagi kedua pria itu. Seolah tidak bersalah akan apapun dia beranjak pergi sambil bersenandung kecil.
Edith gilaaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayahku ternyata duke!!
Historia CortaBACA DONG, MASA GAK BACA! Rowan si bucin akut ke istri harus menerima takdir jika wanita yang paling dia cinta meninggal karena melahirkan seorang bayi. ide sendiri ygy.