marahkah?

505 40 1
                                        

Ajax menyeret Edith ke kamar Rowan, pria itu sangat marah bisa di lihat dari wajah yang memerah.

Tanpa permisi Ajax membuka pintu kamar Rowan dan kebetulan pria itu ada di depan pintu.

Dia menarik Edith ke depan, gadis itu memegang tangannya yang agak memerah. "Lihat putrimu! Lihat putrimu yang kau tak pedulikan ini! Karenamu dia salah jalan. Barusan dia mengaku berjudi."

Rowan mengerutkan alisnya dan memandang Edith yang sedang misuh-misuh sendiri.

Rowan tidak pernah melihat Ajax semarah itu, bahkan ketika dia memberinya pekerjaan menumpuk. Ajax adalah pria yang santai tapi jika itu menyangkut Edith lain cerita.

"Lalu kenapa kau menyalahkanku?" Rowan bertanya dingin. Sikap dinginnya itu justru membuat amarah Ajax semakin meledak.

"Menyalahkanmu!? Tentu saja yang salah adalah kau! Kau tidak mengajarinya! Kau tidak peduli dengannya! Hingga dia melampiaskan segalanya dengan hal yang salah!"

Edith di tengah-tengah mereka menutup lubang kupingnya dengan telunjuk, dia tidak bisa kabur dari sana karena pintu terhalang oleh tubuh Ajax.

Mereka seperti suami istri yang bertengkar. Edith menggeleng dengan pemikirannya itu.

"Hei, lagi pula dia bukan siapa-siapa bagimu." ujar Rowan spontan.

Ajax tersentak, apa yang Rowan ucapan memang benar tapi dia menyayangi Edith dengan tulus seperti putrinya sendiri. Dia juga merasa bersalah karena tidak bisa mendidik Edith sepenuhnya.

"Kau benar, mungkin Edith bukan siapa-siapa bagiku tapi dia sudah seperti putriku sendiri. Lebih baik darimu yang ayah kandungnya, tapi tidak mempedulikannya."

Rowan terbelalak dengan perasaan seperti tertusuk. Selama ini dia sibuk pada bisnis dan tidak memikirkan apapun selain itu, bahkan putrinya sendiri. Setiap melihatnya dia selalu teringat kematian istrinya dan itu membuatnya sedih.

"Apa sekarang kau sadar? Sebaiknya kau cepat sadar sebelum semuanya terlambat." Ajax berbalik pergi dengan rasa marah yang masih menggebu.

Sementara Edith tak acuh dengan pertengkaran itu, dia pergi tanpa perasaan bersalah atau apapun ke kamarnya untuk kembali menghitung uang-uang yang tersisa, tapi ternyata Ajax sudah mengambil semua uangnya dan Edith menangis karena uangnya di ambil.

Di sisi lain Rowan yang mendengar tangisan Edith menjadi salah paham. Perasaan bersalah yang selama bertahun-tahun tak pernah dia rasakan kini hadir di hatinya.

Dia ayah yang jahat, dia ayah yang kejam, dia ayah yang...

tak berguna.

Kemana dia selama ini, kemana dia selama anak itu lahir. Dia bahkan tidak pernah menyebut namanya dengan benar. Dia sungguh ayah yang buruk.

Namun untuk saat ini Rowan tidak bisa melakukan apapun selain diam di kamarnya, selain akan menciptakan rasa canggung, keadaan mereka untuk bertemu juga agak rumit.

Malam itu Rowan bermimpi bertemu istrinya yang menangis, wanita itu mengatakan jika dia sakit hati dengannya yang mengabaikan anak mereka.

\__________________/

Edith bertekad untuk mendapatkan uangnya kembali hari ini. Maka dari itu dia pergi ke kamar Rowan

Dia mengetuk pintunya dengan keras hingga setelah beberapa kali ketukan pria itu membukanya. Edith mengaga saat melihat Rowan dengan penampilan berbeda.

Rambutnya yang cokelat terang basah kuyup seakan menciptakan kesan seksi, tetesan air dari ujung rambutnya menetes di jubah putih yang dia kenakan asal-asalan, bahkan jubah itu hampir memperlihatkan benda berharganya. Edith sampai meneteskan air liurnya.

"Kau ngeces."

Segera Edith menghapusnya dan fokus pada niat awal.

"Berikan aku uangmu." katanya yang seperti pemalak.

Rowan merasa dejavu dan dia baru ingat jika Edith pernah melakukan pemalakan ini malam tadi. Jari telunjuk Rowan mengetuk tembok, pandangannya lurus ke Edith yang seperti pemalak kecil yang handal.

Pria itu berpikir, apa separah ini dia tidak memperhatikan Edith hingga tak mengenal satupun tabiatnya. Dulu gadis itu begitu pendiam dan selalu menuruti perintahnya tapi lihatlah sekarang, berbeda jauh.

"Kau tau di dunia ini tidak ada yang gratis."

"Jadi?"

"Jadi kau harus memberiku sesuatu."

Melihat wajah Edith yang berubah tak senang, Rowan merasa dirinya berhasil. Sebenarnya dia ingin mengerjai bocah itu saja, tapi setelah dipikir lagi ini adalah salah satu cara untuk dia mendekatkan diri. Sesuai janjinya pagi ini selepas bermimpi bertemu istrinya.

Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? apa yang di lakukan seorang ayah saat ingin menghabiskan waktu dengan anaknya?

"Jadi kau mau berikan uangnya atau tidak?"

Rowan menatap mata secerah madu milik gadis itu, seketika dirinya menemukan ide.

"Pijat kakiku."

"Apa?!"

Dan pada akhirnya Edith terpaksa memijat kaki pria itu karena Rowan memberikan penawaran yang tidak bisa Edith tolak, uang.

"Lebih keras." Edith memberengut sambil memijat lebih keras bagian betis Rowan.

Rowan tidur terlentang di atas sofa sementara Edith berdiri dengan kedua lututnya.

"Apa sudah? Aku mulai pegal." Untuk sekian kalinya Edith bertanya begitu.

"Kalau begitu akan kukurangi uangmu."

Dan itu berhasil membuat Edith mengurungkan niatnya, wajahnya terlihat memerah entah karena marah atau terlalu kuat mengeluarkan tenaganya.

Pintu terbuka dan Ajax muncul dengan tatapan kaget di tengah pintu, Edith segera menyingkirkan tangannya yang pegal dari kaki Rowan.

"Apa yang baru saja kulihat?"

Tentu saja Ajax yang tidak pernah melihat mereka bersama bahkan berinteraksi, pantas jika dia sangat terkejut dengan apa yang dia lihat itu.

"Dia meminta uang dariku dan aku menyuruhnya untuk bekerja dulu." Dengan santai Rowan menjelaskan.

"Kau tidak boleh memberinya uang."

"Kenapa?"

Ayahku ternyata duke!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang