frustasi Rowan

291 24 0
                                    

Rowan benar-benar di frustasi oleh Meredith, semakin hari gadis itu semakin aneh. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Meredith yang seperti itu, Meredith yang beranjak remaja labil.

Jika saja istrinya masih hidup, dia tidak akan terjebak dalam situasi rumit ini. Meredith akan jadi gadis lembut sepertinya, bermain boneka seperti anak gadis lain atau selalu menempeli dirinya ketika sedang bekerja lalu Sofie datang memberi makan siang.

Betapa indahnya jika khayalan itu terjadi, betapa bahagianya jika Sofie masih hidup dan mereka menjadi keluarga utuh dan betapa indahnya....

Rowan tidak tahu harus membayangkan kebahagiaan bagaimana lagi, sejujurnya itu menyakiti dirinya sendiri secara tidak langsung. Khayalan yang dia buat hanya pelampiasan rasa rindunya pada Sofie dan pada kenyataannya istri tercintanya itu sudah tiada.

Rowan menenggak kopi di meja kerjanya, meski malam hari dia membiarkan jendela kamarnya terbuka, memperlihatkan kolam kecil yang memantulkan cahaya bulan. Sesekali riak air terdengar karena ulah ikan di dalamnya.

Dia merindukan istrinya, dia merindukan Sofie. Pelukan serta senyumannya yang manis, dia menginginkan wanita itu hadir di hadapannya.

Kedua tangan Rowan mengepal kuat, dia membuka matanya lebar-lebar agar berhenti membayangkan hal indah namun menyakitkan. Rowan bersandar pada kursi, memijat pangkal hidungnya.

"Maafkan aku Sofie." lirihnya. Tak di sangka bulir bening meluncur dari pipinya. Rowan menyadari dirinya menangis segera menghapus air mata itu.

Dia malu jika harus menangis, seorang pria seharusnya pantang mengeluarkan air mata dalam keadaan apapun, tapi sekarang dirinya begitu menyedihkan.

Meninggalkan Rowan dengan perasaan buruknya, di kamar Edith sedang merenung sembari menatap tembok kosong.

Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu sampai-sampai wajahnya terlihat sedih, jarinya memilin baju tidurnya sendiri hingga kusut.

Sepertinya Edith sedang melamunkan masa lalunya, mungkin merindukan seseorang entah siapa itu.


\________/


Pagi hari Edith sudah terbangun, dia menyapa Maria yang hendak pergi ke pasar, terlihat dari keranjang anyaman yang dia bawa.

Jadi Edith memutuskan ikut bersama wanita itu, dan mereka pergi ke pasar bersama. Edith banyak bertanya hal-hal yang tidak Maria pahami, mengenai masa lalu dan masa depan. Tentu saja Maria tidak ambil pusing apa yang Edith katakan.

Mereka berpencar karena Maria yang sudah cukup berumur kesulitan untuk berjalan jauh, Edith membeli barang di toko atau kedai yang agak jauh, tempat sayur, ayam dan buah.

Ketika akan membeli barang terakhir Edith melihat seorang kakek tua terjatuh karena terdorong orang, dia berlari segera membantunya.

"Kakek. Orang yang mendorong kakek sungguh buruk, dia bahkan tidak meminta maaf atau menolong." rutuknya pada seseorang yang mendorong kakek itu.

"Terimakasih sudah menolongku. Kakek memang sudah tua dan rentan, kena senggol sedikit langsung jatuh. Tulang kakek mulai keropos dimakan usia dan makin dekat pula ajalku." ujar kakek itu.

"Aduh kakek jangan ngomong begitu. Seharusnya di usia kakek saat ini, kakek sedang bersenang-senang bersama keluarga dan kumpul bersama. Kenapa kakek berkeliaran di sini?" cerocos Edith tanpa filter. Dia menuntun kakek itu menjauh dari keramaian dan duduk di kursi salah satu kedai makanan.

"Ahaha kakek hidup sendiri nak, istri kakek sudah meninggal dan kakek hanya punya satu anak laki-laki tapi dia kabur bersama wanita pilihannya, meninggalkan kakek sendiri."

Mendengar cerita kakek itu Edith jadi kasihan."Kejam sekali dia."

"Memang kejam dan kakek berniat mencarinya untuk mengajaknya pulang, kakek merindukannya. Kakek ingin dia di sisi kakek di saat-saat terakhir kakek."

Edith menyenggol sedikit lengan kakek itu, "sudah aku bilang jangan ngomong begitu. Ngomong-ngomong namaku Meredith, aku lebih suka di panggil Edith kalau kakek sendiri?" Edith menjulurkan tangannya ke depan, tanda berkenalan.

"Joseph, panggil aku kakek Joseph."

Mendengar nama itu Edith terdiam, satu tangannya memegang dagu dengan mata melirik ke atas terlihat berpikir. " Joseph? aku pernah mendengar nama itu, tapi di mana ya? Aku lupa."

"Benarkah? nama kakek memang pasaran."

"Ah sudahlah, ayo jaba tanganku kek." Edith masih menjulurkan tangannya ke depan, Joseph menjabanya perlahan dan Edith menaik turunankan tangannya dengan semangat.

"Edith kau di sisi ternyata." Maria dengan keranjang penuh barang belanjaan sedikit berlari.

Edith menoleh, "eh bibi, ehehe." Edith cengengesan menyadari kesalahannya.

Maria lalu menoleh ke arah pria tua di sisi Edith, ketika pria itu mendongak dia terkejut melihat wajahnya. "Ehh!"

"Kau...ada di sini?" Joseph menunjuk Maria. Edith di sisinya terlihat bingung dengan dua orang depannya.

"Iya, saya tinggal di sini. Sudah lama kita tidak bertemu senior." kata Maria, senang.

"Tunggu-tunggu kalian saling mengenal?" Kedua tangan Edith merentang mencegah mereka untuk bicara lagi. Dia terlihat sangat penasaran juga bingung.

"Iya, dulu bibi pernah masuk ke akademi militer dan kakek Joseph adalah senior bibi."

Edith terkejut sampai melebarkan matanya. "Bibi pernah masuk militer? Kenapa tidak cerita padaku? Ceritakan lebih banyak tentang kalian berdua di masa lalu terutama di bagian militer, aku ingin mendengar banyak."

Saat Maria hendak menjawab Joseph mengintrupsi mereka. "Sebaiknya jangan di sini, cari tempat yang lebih sepi dan nyaman."

Pada akhirnya mereka pulang bersama ke rumah Edith, Maria menyiapkan cemilan juga teh untuk Joseph khusus untuk Edith, gadis itu minta di buatkan jus jeruk yang tadi dia beli dan makanan kering.

Di ruang tamu mereka duduk, Edith duduk berdua dengan Joseph dan Maria sendiri.

"Bibi jadi apa di sana?" Edith bertanya antusias.

"Prajurit medis, saat itu hanya ada tujuh prajurit wanita dan sebagian besarnya tinggal di barak untuk mengobati prajurit yang terluka yang lain ikut ke medan perang bersama prajurit medis pria." Maria mengambil teh di meja lalu menyesapnya pelan. Dia melihat Joseph memperhatikan Edith dengan senyuman, seolah dia melihat anak kecil yang begitu lucu.

"Apa bibi termasuk prajurit yang ikut berperang?" Edith bertanya kembali, cemilan kering di meja dia ambil dan makan.

Maria menggeleng, "tidak, bibi tinggal di barak."

"Kau tampak tertarik dengan hal berbau militer, nak." ujar Joseph sembari meletakkan teh tanpa gula ke meja.

"Iya bisa di bilang begitu. Ngomong-ngomong ceritakan aku tentang kisahmu kek."

Melihat antusiasme Edith, Joseph tak habis pikir tentang gadis di depannya itu. Seharusnya dia tidak tertarik dengan hal semacam ini. "Untuk apa kau ingin mengetahui perang, itu tidak menyenangkan."

"Aku hanya ingin tahu saja, itu terdengar menantang dan beradrenalin. Aku menyukai hal seperti itu." jujurnya pada Joseph.

"Iya senior, Edith memang menyukai hal seperti itu. Saya pernah melihatnya membawa rusa buruannya sendiri, saya sampai terkejut saat itu." timpal Maria. Edith yang merasa itu pujian menggosok hidungnya bangga sambil cengengesan.

"Benarkah? Pasti ayahmu yang mengajari, ya." Joseph mengelus puncak kepala Edith, seakan bangga dengan apa yang Edith lakukan.

"Bukan, pria itu tidak pernah mengajariku apapun. Aku belajar sendiri." elak Edith tidak membenarkan ucapan Joseph. Pria tua itu terdiam, dia melirik Maria yang terlihat murung.

"Maria buatkan aku sarapan..." Rowan yang muncul dari lorong dengan rambut yang basah terpaku melihat Joseph duduk di sebelah Edith, Joseph sendiri tengah menatapnya seolah berbicara lewat matanya,

"Di sini kau rupanya."

Ayahku ternyata duke!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang