2. Adik Kecil

166 15 11
                                    

Rasanya, aku tidak pernah bosan memandang Laut. Setiap kali melihatnya, senyumku akan merekah lebar. Rasa lelahku seketika hilang entah ke mana. Berganti menjadi energi baru penuh semangat. Laut dengan segala pesonanya berhasil membuatku jatuh cinta berulang kali.

"Mas, dari tadi lihatin aku mulu. Ada yang salah, ya?"

Pertanyaan dari Laut sontak membuatku tersentak. Aku lalu berdehem. "Enggak. Gak ada yang salah denganmu, kok. Mas cuma mau lihat kamu aja," jawabku seadanya.

Laut meletakkan bukunya ke atas nakas lalu duduk bersila di depanku. "Betah banget. Mas gak bosen apa, liatin aku terus?"

Aku tertawa lalu mengusak rambutnya gemas. "Gak mungkin Mas bosen kalau yang Mas lihat itu kamu. Pacar yang Mas cintai."

"M-mas g-gombal banget," katanya mendadak gagap.

"Mas gak gombal tahu. Mas bicara jujur," kataku lagi serius sambil menatap dalam matanya.

Laut mengalihkan pandangannya dariku. "Rasanya beda banget, ya, Mas. Dulu, aku senang menatap mata Mas Biru. Menurutku, mata Mas Biru itu indah. Kuning kecoklatan seperti madu. Aku suka, tapi sekarang, aku gak mampu menatap mata Mas Biru lama. Membuatku semakin merasa bersalah sama Mas," ucapnya dengan kepala tertunduk.

Aku menangkup wajahnya. Mata kami saling bertemu, tetapi Laut kembali memalingkan wajahnya. "Lihat aku, Laut."

Laut bergeming di tempatnya.

"Lihat aku, Sayang. Tatap mataku," kataku lagi yang langsung dituruti olehnya. "Merasa bersalah kenapa? Kamu gak salah apa-apa sama Mas Biru. Jangan berpikiran begitu lagi, ya. Kamu gak salah apa-apa sama Mas. Justru Mas yang merasa bersalah karena pergi meninggalkanmu."

Laut menggeleng keras. "Mas Biru gak salah. Mas Biru menepati janji. Mas Biru pasti capek, ya? Maaf, lagi-lagi aku merepotkan Mas."

Aku menarik Laut lalu mendekapnya erat. Seakan tidak ingin siapa pun mengambilnya dariku. "Kamu gak pernah merepotkan Mas," kataku sembari mengusap lembut kepalanya sambil sesekali mengecupnya.

Memeluk Laut bukanlah hal yang asing untukku. Setiap kali ia sedih, terluka, lelah ataupun bahagia, aku akan mendekapnya erat. Saling berbagi kehangatan begitu candu. Baik aku ataupun Laut, kami sering melakukannya. Laut akan selalu memelukku sebelum ia terlelap.

Aku begitu terbiasa dengan Laut yang hangat itu. Hingga tiba saatnya aku kehilangan kehangatan darinya, aku benar-benar hilang arah. Jiwaku serasa mati. Setiap kali kakiku melangkah, dia lah sosok pertama yang kucari. Aku mencari Laut dan segala kehangatan yang dimiliknya.

"Kamu hangat, Laut," gumamku dengan mata terpejam.

Aku tidak pernah lupa akan sosok adik kecil yang lucu dan manis itu. Hingga kini pun, Laut masih saja lucu dan manis. Semakin bertambah lucu dan manis malah. Membuat hatiku semakin berdebar setiap kali menatapnya.

"Mas Biru, aku kangen panti."

Ucapan Laut seketika membuatku membuka kelopak mata. "Panti, ya? Sama. Mas Biru juga kangen panti. Mas kangen adik kecil Mas yang selalu mengikuti Mas ke mana pun. Adik kecil Mas yang cengeng dan penakut. Adik kecil Mas yang selalu menangis setiap malamnya dan bertanya kapan orang tuanya akan datang menjemput. Mas kangen semua hal tentang panti."

Laut memukul dadaku keras. "Mas!"

Aku meringis kesakitan. "Sakit loh, Dik," aduku padanya.

"Jangan panggil aku Adik!" protes Laut dengan wajah masamnya. Sungguh, Lautku terlihat semakin lucu saja.

"Loh, kenapa? Kamu, kan, emang adiknya Mas. Atau kamu gak mau jadi adiknya Mas lagi? Mau jadi pacar Mas Biru aja terus?" godaku.

"Mas, jangan bercanda, deh."

"Mas gak bercanda, loh," ucapku serius. "Kamu tahu, kesalahan terbesar Mas adalah pergi meninggalkan adik kecil Mas yang gak pernah bisa tidur sebelum memeluk Mas. Mas tahu adik kecil Mas itu rapuh, tapi Mas tetap pergi. Kamu pasti banyak melalui hal yang sulit, ya, Laut? Jangan maafkan Mas, ya," sambungku dengan tatapan sendu.

"Iya, Mas itu jahat. Gak ngerti gimana sedihnya aku saat ditinggal Mas. Aku gak akan memaafkan Mas."

Ucapan Laut seketika membulatkan netraku. Aku tahu kesalahanku fatal dan aku tidak pantas untuk dimanfaatkan, tetapi mendengarnya secara langsung dari mulut Laut membuat dadaku terasa nyeri juga.

Bersambung...

Sebiru LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang