8. Laut Biru

75 12 3
                                    

Yeayy...update 🎉 Jangan lupa berikan dukungan berupa vote dan komentar supaya aku tambah semangat melanjutkan cerita ini. Masukkan juga ke perpus supaya gak ketinggalan update-nya ya 🤗

***

"Laut, kamu belum siap?"

"Siap ke mana, Mas? Kita mau ke mana?"

"Kamu pasti lupa. Kita mau jalan-jalan ke laut loh. Udah sana, siap-siap."

Laut memasang wajah sumringah. Ia memang memiliki masalah dengan ingatannya, tetapi aku tidak menganggapnya sebagai sebuah masalah. Seberapa lupanya laut dengan dunia, aku tetap akan berada di sampingnya. Aku akan mengingatkan kembali betapa indahnya semesta yang telah diciptakan oleh Tuhan dan betapa indahnya kisah yang telah kita jalin bersama.

Kuingat dengan jelas betapa bahagianya Laut saat aku mengajaknya pergi berlibur ke laut. Seperti namanya, Laut begitu mencintai laut dengan segala keindahannya. Aku pun juga sama. Aku tidak kalah mencintainya. Kuharap, Laut dapat menggemakan tawa paling keras yang belum pernah kulihat selama kami kembali bersama. Pekerjaanku sebagai dokter membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dan bersama pasien dibandingkan dengan Laut.

"Mas Biru gak kerja?"

Pertanyaan tiba-tiba Laut seketika mengalihkan atensiku. "Mas libur kok. Makanya seharian ini mau menghabiskan waktu sama kamu."

"Mas, ih. Kenapa ibu gak diajak juga?" Laut bertanya dengan wajah ditekuk.

"Mas udah ajak ibu, tapi ibunya yang gak mau. Katanya biar kita menghabiskan waktu berdua aja," jawabku seadanya.

Laut ber-oh ria.

"Kamu senang gak?"

"Pastinya senang dong, Mas."

Jawaban cepat Laut membuatku mengulas senyum lebar. Kami masih dalam perjalanan, tetapi Laut sudah mengatakan bahwa dia senang. Ah, Laut memang sesederhana itu.

Setibanya di laut, kami memilih mengisi perut yang keroncongan. Makanan laut tentunya menjadi hidangan yang paling banyak dijual. Angin yang berembus lembut dan suara debur ombak yang terdengar agak samar menjadi teman makan siang kami.

"Udah gak sabar main ke laut?" Aku bertanya setelah menyadari sejak tadi Laut mengarahkan pandangannya ke hamparan laut biru itu.

Laut terkekeh kecil. "Iya, Mas. Terakhir kali aku ke sini, inginnya bunuh diri. Tapi sekarang, aku dalam keadaan yang sangat baik. Aku senang bisa bertemu dengan Mas Biru lagi."

"Sama, Mas juga senang. Senang banget malah."

Kami kembali melanjutkan makan siang sambil sejenak menikmati suasana laut. Aku lalu mengajak Laut melakukan banyak hal, seperti menyelam, surfing atau berlomba menggunakan speedboat. Dapat kulihat mata Laut berbinar, senyumnya merekah lebar dan ia sangat antusias. Seperti yang diharapkan, Laut dan air merupakan kombinasi yang paling sempurna.

"Seru banget, Mas," kata Laut lalu mendudukkan diri di sampingku.

"Kamu antusias banget. Awas aja kalau sampai sakit." Aku menjitak pelan kening Laut yang seketika membuatnya mengusap-usap kening dengan wajah yang ditekuk kesal.

"Aku gak akan sakit, Mas. Tahu sendiri kalau aku dan laut itu satu," katanya penuh percaya diri.

"Iya, Mas percaya."

"Rasanya aku gak mau pulang, Mas. Aku mau di sini aja." Laut menatap lurus lautan lepas sembari menyenderkan kepalanya ke bahuku.

Aku mengusap pelan kepala belakang Laut. "Kita tetap harus pulang dong, karena kita bukan makhluk laut."

"Mas!" Laut menyikutku dengan sikunya. "Aku lagi gak mau bercanda!"

"Aku juga gak becanda."

"Mas Biru ngeselin!"

Ah, Laut terlihat sangat menggemaskan. Tetapi, ucapannya benar. Rasanya, aku ingin menghentikan waktu dan menikmati suasana indah ini lebih lama lagi. Duduk berdua dengan Laut di sebuah karang besar ditemani deburan ombak yang tenang, merdunya kicauan burung camar dan indahnya langit biru yang mulai menampakkan semburat jingganya. Indah sekali. Sama seperti seseorang yang menemaniku melihat keindahan itu. Mereka sama indahnya.

"Kamu mau lihat matahari terbenam di pulau itu gak?" tunjukku pada sebuah pulau di seberang sana.

"Kita bisa ke sana?" Laut bertanya antusias.

"Bisa, dong. Lihat sunset di sana jauh lebih indah malah."

"Iya, iya. Aku mau, Mas." Laut beranjak cepat dari posisi duduknya. Antuasiasmenya masih sangat besar, seakan energi yang sebelumnya dikeluarkan tidak berarti apa-apa.

Aku dan Laut berjalan pelan menyusuri daratan yang agak basah. Surutnya air laut membuat daratan itu muncul dan menjadi jalan penghubung menuju pulau yang berada di seberang sana. Aku menggenggam tangan Laut. Menyalurkan kehangatan sang langit yang mulai menampakkan semburat jingganya. Aku bahagia, tetapi tidak kusadari jika genggaman tanganku pada Laut terlepas begitu saja.

"Laut!"

Bersambung...

Sebiru LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang