11. Bayi Laut

98 14 6
                                    

Ah, aku kembali lagi ke tempat ini. Kembali ke tempat favorit, sesuai dengan namamu. Sayangnya, kali ini aku datang sendiri. Tidak kudapati lagi senyum yang biasa terukir di bibirku kala melihat laut. Entahlah, aku sudah tidak lagi menyukai laut. Laut itu kejam. Mengambilmu secara paksa dariku. Ataukah kamu yang memang ingin kembali padanya? Aku tidak tahu, Laut.

Kakiku mati rasa. Tanganku bergetar. Kepalaku berdengung. Keringat membasahi seluruh tubuh dan jantungku seakan berhenti berdetak. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain melihat laut luas dengan kamu yang ada di dalamnya. Kamu yang meminta pertolongan, tetapi aku tidak bisa melakukan apa-apa.

"Laut!" teriakku sambil berusaha mengerakkan tubuh yang entah mengapa terasa begitu berat.

Perhatianku seketika teralihkan pada seorang anak laki-laki yang memeluk kakiku dengan riangnya.

"Menyingkir dariku!" kataku risih dengan kelakuannya. Memangnya aku ini orang tuanya? Tidak. Aku hanyalah orang asing yang kebetulan ada di sini. Atau mungkin kamu orang asing yang menelusup masuk ke hidupku?

Anak itu keras kepala juga rupanya. Ia masih bersikeras memeluk kakiku sambil tertawa menatapku dengan mata jernihnya itu sambil sesekali merentangkan tangan. Berharap aku mengambil dan membawanya dalam gendongan.

"Laut!" Aku tersentak kaget saat melihat Laut berdiri di hadapanku. Ia lalu mengambil anak laki-laki di dekatku dan menggendongnya.

"Laut, kamu selamat!" kataku antusias lalu memeluknya. Syukurlah tubuhku tidak lagi membeku di tempat.

Laut terkekeh. "Memangnya aku kenapa, Mas? Aku akan selalu hidup di hatimu," katanya sambil mencolek gemas pipi anak laki-laki itu.

"Enggak, Laut! Kamu harus hidup. Bukan cuma hidup di hati Mas, tapi hidup di dunia. Mas mau kamu di sini, selalu menemani Mas, Laut. Tolong jangan pergi," kataku dengan nada memohon. Air mataku bahkan luruh, persis seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen pada ibunya.

"Mas." Laut mendekat lalu meletakkan tangannya di pipiku. Tangannya begitu dingin hingga membuatku terpaku di tempat.

"Aku maunya juga begitu, Mas. Tapi Mas Biru harus tahu kalau aku gak pernah mati. Anak ini membawa jiwaku bersamanya, Mas. Kuharap, Mas Biru gak membencinya. Rawatlah dia dengan baik, sebaik kamu merawat dan menjagaku selama ini, Mas. Aku mau dia memiliki keluarga yang baik. Satu-satunya orang paling baik yang pernah aku aku kenal, ya, cuma kamu, Mas," tukas Laut lalu menyerahkan anak itu yang entah mengapa kusambut dengan hangat.

Laut mengecup bibirku singkat lalu tersenyum sampai matanya hilang. "Sampai jumpa lagi, Mas."

Aku melihat bayang-bayang Laut memudar. Seakan sang laut biru menarik Lautku masuk ke sana. "Jangan pergi, Laut!" teriakku.

Aku terbangun dengan napas terengah. Sekujur tubuhku sudah basah dengan keringat dan lagi-lagi, tidak kudapati Laut tertidur di sampingku. Sesakit inikah yang namanya kehilangan? Sakit sampai rasanya aku ingin mati dan menyusul kepergian Laut.

"Laut, kamu datang ke mimpi Mas, tapi untuk mengucapkan selamat tinggal. Kamu memberitahu Mas kalau kita tidak lagi hidup di dimensi yang sama? Lucunya lagi, kamu meminta Mas merawat anak itu? Yang benar saja, Laut! Karena anak itu, kamu mati tenggelam. Menurutmu Mas bisa merawat dia? Leluconmu sama sekali gak lucu, Laut!" Aku bergumam seolah ada Laut yang bisa mendengar segala ucapanku.

Hening menyelimuti kamar ini. Tidak ada lagi tawa renyah Laut yang biasa kudengar. Tidak lagi wajah malu-malu yang dipasangnya setiap kali aku memberinya ciuman selamat pagi dan tidak ada lagi pelukan hangat darinya. Semua telah hilang dan sirna.

Desahan panjang yang keluar dari mulut mengakhiri segala ingatanku tentangnya. Aku beranjak dari tempat tidur untuk mengambil segelas air. Perhatianku seketika teralihkan kala tangis menelusup masuk ke indera pendengaranku. Ya, tangis itu berasal dari bayi yang diselamatkan oleh Laut hari itu.

Aku menatap anak itu yang tengah merengek di dalam box bayinya. Tidak ada yang kulakukan selain melihat, tanpa berniat untuk meredakan tangisnya.

"Biru!"

Panggilan dari seseorang sontak membuatku menoleh. Itu ibu membawa sebuah botol susu di tangannya.

"Kamu terganggu dengan tangis bayi Laut?" tanya ibu sembari menenangkan anak itu dan memberinya susu.

Aku berdecak kesal. "Bayi Laut? Apa maksudnya, Bu?" tanyaku dengan tangan yang sudah terkepal erat.

"Ibu menamai bayi ini Laut, karena anak ini ditemukan di laut."

"Laut itu cuma Lautku, Bu. Gak ada yang lain. Kenapa Ibu harus merawat dan memberinya nama Laut?"

"Anak ini gak punya orang tua, Biru. Kapal yang ditumpanginya tenggelam dan menewaskan orang tuanya. Ibu harap, kamu bisa menganggap anak ini sebagai anakmu juga. Ibu yakin, Laut pun menginginkan hal yang sama."

"Bagaimana bisa aku merawatnya, Bu? Setiap kali aku melihatnya, aku mengingat kejadian buruk itu." Aku berucap sebelum berlalu meninggalkan ibu.

Bagaimana bisa kamu meminta Mas merawat anak itu, Laut? Kamu mau membunuh Mas secara perlahan?

Bersambung...

Beri dukungan berupa vote dan komennya, ya 🤗❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebiru LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang