Jika bisa memutar waktu, aku tidak ingin hari itu datang. Tidak ingin sepasang suami istri itu berkunjung ke panti dan membawaku pergi dari sana. Meninggalkan keluarga, teman-teman dan Laut. Aku tidak ingin meninggalkannya.
"Selamat Mas Biru akhirnya punya orang tua."
Aku bergeming mendengar ucapan Laut. Ia tersenyum sangat lebar, tetapi aku tahu hatinya berantakan sekarang. Aku tahu ada rasa sedih yang bersarang di hatinya.
"Om, Tante, bolehkah kalian mengadopsi Laut juga?" Aku bertanya kepada calon kedua orang tuaku.
"Tidak bisa, Biru. Kami hanya akan mengadopsimu saja," jawab wanita itu lembut.
Aku menggigit bibir bawahku. "Biru gak akan pergi jika Laut gak ikut," kataku keras.
Aku senang. Yah, senang sekali, pada akhirnya ada orang tua yang ingin mengangkatku menjadi anak mereka. Tetapi, aku tidak pernah berpikir jika hari yang paling kunantikan dalam hidupku akan menjadi hari yang biasa saja, bahkan membingungkan untukku.
Entah sudah berapa lama aku menunggu datangnya hari ini, tetapi tidak kusangka jika hati kecilku sedikit pun tidak mengharapkan hari ini datang. Alasannya tidak lain adalah Laut. Aku begitu menyayangi dan tidak ingin meninggalkannya sendiri di sini. Aku ingin menjaga dirinya dan berada terus di dekatnya.
"Mas Biru tenang aja. Sebentar lagi Laut juga akan memiliki orang tua."
Ucapan Laut membuatku tersentak. "Tapi Laut...."
"Kita yang tinggal di sini menginginkan orang tua dan keluarga. Mas Biru udah mendapatkannya. Pergilah, Mas. Laut baik-baik saja di sini. Tapi Mas Biru harus janji, sering-sering datang ke sini," ucap Laut sembari menyodorkan jari kelingkingnya.
Aku mendesah panjang sebelum menautkan jari kelingking kami. "Mas janji," ucapku. Umur Laut lebih muda dariku, tetapi pemikirannya sudah sangat dewasa. Ia berhasil membuatku tenang dan membulatkan keputusanku.
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengan Laut dan mendekapnya erat. Air mata kami tidak jatuh, tetapi bukan berarti hati kami baik-baik saja. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mataku. Aku tidak ingin membuat Laut sedih dan aku pun yakin jika Laut melakukan hal yang sama. Masih dapat kuingat jelas jika bibirnya yang menempel di pundakku sedikit bergetar.
Sekarang, aku memiliki keluarga yang selama ini aku idam-idamkan, tetapi aku belum bisa menepati janjiku pada Laut. Aku belum bisa mengunjunginya, bahkan untuk sekali saja. Bukan karena tidak ingin atau melupakan janji yang sudah keluar dari mulutku, tetapi keadaan yang membuatku tidak bisa melakukannya sesegera mungkin.
Ayahku menderita sakit. Aku dan ibu fokus menyembuhkan ayah, bahkan kami sampai pindah ke luar negeri. Aku berusaha menjadi anak yang baik untuk ayah dan ibu yang telah membesarkan dan memberi pendidikan terbaik untukku. Saat itu, aku tengah menempuh pendidikan di jurusan kedokteran. Aku tidak bisa melakukan apa pun, karena belum memiliki cukup ilmu untuk menyembuhkan ayah. Itulah sebabnya aku memilih fokus dengan pendidikan dan kesembuhan ayah.
Aku berhasil menjadi seorang dokter, tetapi sayang, ayah lebih dulu mengembuskan napas terakhir sebelum melihatku benar-benar sukses. Aku dan ibu memutuskan kembali ke kampung halaman dan menetap di sana. Saat itulah aku berkunjung ke panti asuhan dengan tujuan bertemu dengan Laut, tetapi sayang, Laut sudah pergi dari sana. Ia telah diadopsi dan mendapatkan keluarga yang selama ini diidam-idamkannya. Namun, aku tidak mendapatkan informasi di mana Laut tinggal. Saat itulah aku menyadari bahwa aku telah kehilangan dirinya.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebiru Lautan
Short StoryLaut itu tenang, Laut itu candu, dan Laut itu kamu. Kisah kita bermula di sini. Dengan segala ketenangan laut dan indahnya biru yang menghiasi. Entah ke mana kisah kita akan berlabuh, tetapi biru tidak akan pergi jauh. Biru akan selalu berpulang pa...