7. Rasaku

74 13 3
                                    

Ada yang nunggu cerita ini update gak? Aku baru sadar kalau udah satu bulan sejak bab 6 di-upload 🤧 Ini karena akunya yang dibilang sibuk enggak, dibilang enggak pun enggak juga 😅😩

Baiklah, selamat membaca 🤗❤️

***

Rasanya rindu sekali. Rindu menatap matanya yang berbinar kala melihat segala keindahan. Rindu mendengar tawa bagai musik pengantar tidur yang menenangkan dan rindu melihat senyum yang terbit di kedua sudut bibirnya. Segala tentang Laut, aku merindukannya.

"Rumahnya gede, Mas," komentar Laut dengan mata berbinar.

"Gak berarti apa-apa karena rumah ini sering kosong, Laut," jawabku seraya menghampiri lelaki itu.

Laut mendesah panjang. "Kenapa Mas gak tinggal bareng ibu Mas aja?"

"Aku maunya gitu, tapi ibu yang gak mau. Katanya, rumah tempat kami tinggal dulu menyimpan banyak kenangan tentang ayah. Aku gak bisa maksa ibu untuk ikut ke sini."

Laut mengangguk. "Pada awalnya, aku pun berat meninggalkan panti, tapi aku malah gak ingat jalan pulang ke sana."

Keningku seketika berkerut mendengar cerita Laut. "Sejak kapan ingatanmu jadi memudar begitu?"

"Gak lama setelah Mas Biru pergi."

Jawaban Laut seketika membuatku terdiam. Ada banyak hal yang telah terjadi, terutama pada Laut. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menyerah karena lelah, meskipun urung dilakukan.

"Kamu banyak sekali mengalami kesulitan. Mulai sekarang, kamu sama Mas terus."

"Gak bisa, Mas." Laut menggeleng pelan. "Suatu hari nanti, Mas pasti memiliki keluarga sendiri. Aku gak mungkin bersama Mas terus."

"Kenapa enggak? Aku maunya kamu, Laut. M ... Mas …." Aku menggantung kalimatku sendiri. Takut dengan tatapan yang akan diberikan Laut padaku. Entah kekacauan seperti apa yang terjadi jika aku melanjutkan kalimatku.

"Apa, Mas? Selesaikan kalimat itu," pinta Laut penasaran.

Aku menatap dalam Laut lalu menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "M ... Mas sayang kamu, Laut. Sayang melebihi seorang kakak pada adiknya. Mas sayang kamu sebagai seorang manusia yang ingin hidup bersama orang yang dikasihinya."

"Bercandanya Mas Biru gak lucu," balas Laut disertai tawa hambar.

"Mas serius. Maaf kalau ucapan Mas membuatmu terkejut atau merasa jijik, tapi inilah perasaan Mas yang sebenarnya. Mas Biru gak bisa menutupinya lagi. Mas gak minta kamu untuk membalas perasaan Mas. Mas cuma pengen memberitahukannya padamu. Tapi Mas harap, kamu jangan pernah membenci Mas, karena dibenci olehmu merupakan hal paling menyakitkan yang pernah terjadi dalam hidup Mas Biru."

"Gimana aku bisa benci Mas? Sejujurnya aku juga punya perasaan yang sama. Aku takut Mas yang membenci aku."

"Astaga. Mana mungkin Mas benci kamu," ucapku lagi sebelum mendekap erat Laut.

Aku tidak pernah menyangka akan datang hari di mana rasa sukanya pada Laut akan terbalas. Aku juga tidak pernah menyangka akan datang hari di mana Laut dapat bercengkrama dengan asyiknya bersama seorang wanita yang telah merawatku dengan sangat baik. Wanita yang biasa kupanggil ibu.

"Biru, ngapain berdiri di sana? Ayo duduk sini. Cicipi kue buatan Ibu."

Aku menyungging senyum lalu berjalan menghampiri kedua cahayaku. "Kue Ibu selalu enak kok. Aku gak perlu cicip."

Ibu menepuk pundakku. "Tapi Ibu ini udah tua. Sering lupa juga. Siapa tahu ada takaran dari bahan-bahannya yang salah," jelas ibu.

"Tapi kuenya enak, Tante. Takarannya juga pas," sahut Laut.

"Ya ampun, bisa banget kamu mujinya. Tapi Laut, jangan panggil Tante. Panggil Ibu aja."

Laut menoleh padaku. Memberikan isyarat tanya dalam diamnya. Aku mengangguk sebagai jawaban.

"I-iya, Bu," balas Laut sedikit tergagap.

"Kenapa gugup begitu? Santai aja sama Ibu. Kamu itu adalah topik yang gak pernah bosan diceritakan oleh Biru. Tentang hubunganmu sama Biru juga Ibu udah tahu. Jadi, jangan sungkan lagi ya sama Ibu," tukas ibu sembari menepuk pelan paha Laut.

"Terima kasih, Bu. Laut boleh gak peluk Ibu?" Laut bertanya pelan pada kalimat akhirnya.

"Tentu," jawab ibu sambil merentangkan tangan.

Dapat kulihat air mata Laut jatuh ketika ibu mendekapnya. Laut tidak pernah mendapatkan dekapan hangat dari seorang ibu. Di saat dia mendapatkannya, sang waktu mulai bertindak. Merampas kebahagiaan yang dirasakannya dalam sekejap. Rasa rindu yang telah menumpuk banyak itu kini tumpah begitu saja.

Bersambung...

Sebiru LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang