3. Rumah Sederhana

110 16 0
                                    

Kisahku dan Laut bermula dari sini. Dari sebuah tempat kecil nan sederhana. Kebanyakan orang menyebutnya sebagai panti asuhan, tetapi bagiku, Laut, serta saudara-saudara yang lain, panti sederhana itu adalah rumah. Rumah yang menjadi tempat kami bernaung dari teriknya sinar matahari ataupun dinginnya rinai hujan yang jatuh membasahi bumi. Rumah yang memberikan kehangatan serta cinta kasih yang sebelumnya tidak pernah kami dapatkan. Juga, rumah yang memberikan keluarga yang selama ini kami idam-idamkan.

Aku adalah salah satu anak yang dititipkan di rumah sederhana itu.   Setidaknya, itulah pemikiran yang bersemayam di benakku. Aku percaya jika suatu hari, orang tuaku akan datang menjemput. Dengan alasan itulah aku memilih bertahan. Bertahan dengan pemikiran-pemikiran buruk yang sempat bersarang di kepalaku dan bertahan hidup bersama orang-orang yang kuanggap asing.

Aku menunggu. Terus menunggu kedatangan orang tuaku hingga rasa lelahku datang. Kutahu jika sedikit pun tidak pernah ada aku di hati kedua orang tuaku. Mereka tidak menitipkanku di panti asuhan, melainkan membuangku di sana. Mereka tidak mengharapkan hadirku di tengah-tengah mereka. Mungkin, mereka juga mengharapkan aku menghilang dari dunia.

Kukatakan sekali lagi bahwa aku hanyalah salah satu anak yang dibuang di panti asuhan itu. Termasuk Laut. Anak laki-laki itu cengeng. Berulang kali ia meminta ibu panti mengantarnya pulang. Tetapi, tidak urung dilakukan, sebab, Laut benar-benar telah dibuang.

"Mas Biru, kapan orang tua Laut akan datang menjemput?"

Laut lagi-lagi merengek. Keputusan ibu panti menitipkan Laut di ranjang yang sama denganku bukanlah keputusan yang bijak. Aku selalu terganggu dengannya. Ia terus saja menangis dan selalu melontarkan pertanyaan yang sama, yaitu kapan orang tuanya akan datang menjemput.

"Sudah Mas katakan jika orang tuamu tidak akan datang menjemput. Sudah, kamu jangan memikirkan orang tuamu lagi. Sekarang tidur dan berhentilah merengek."

Ucapanku membuat Laut terdiam. Aku mengembuskan napas lega, tetapi setelahnya ia malah menangis keras. "Mas Biru jahat! Orang tua Laut pasti akan datang," katanya keras.

Aku panik mendengar tangis Laut yang tidak kunjung reda. Kuputuskan memeluknya erat sembari mengusap-usap kepalanya. Lelah dengan tangisnya, Laut terlelap tanpa melepaskan pelukannya dariku.

"Nyatanya, kita semua yang ada di panti ini hanyalah anak-anak yang tidak pernah diharapkan oleh orang tua kita, Laut. Anak-anak yang dianggap sebagai penghalang kesuksesan mereka.  Anak-anak hasil kesalahan yang telah mereka perbuat dan anak-anak yang ingin sekali mereka musnahkan dari dunia ini."

***

"Mas Biru!"

Aku tersentak dengan panggilan keras yang masuk ke telingaku. "Ada apa, Laut? Kenapa kamu berucap keras seperti itu?" tanyaku heran pada Laut.

"Salah Mas sendiri. Kenapa melamun coba? Lagi mikirin apa?"

"Bukan apa-apa, kok," jawabku seadanya atas pertanyaan Laut.

"Jangan bohong, Mas. Aku tahu Mas kepikiran sesuatu. Apa karena ucapanku barusan? Aku cuma bercanda kok, Mas. Seberapa marahnya aku sama Mas, pasti gak akan bertahan lama. Aku juga bukannya gak memaafkan Mas, tapi aku hanya merasa sedikit sedih aja karena gak bisa berada di samping Mas terus."

"Berarti hanya Mas Biru, ya, yang merasakan kehilangan paling hebat? Mas benar-benar kehilangan kehangatan dan cahaya penerang di hidup Mas?"

Pertanyaanku seketika membuat Laut menggeleng. "Enggak. Bukan cuma Mas Biru aja yang merasa kehilangan, tapi aku juga. Mas tahu betapa hambarnya makanan yang dimasak ibu panti? Mas tahu betapa dinginnya malam tanpa rengkuhan hangat dari Mas Biru? Mas tahu betapa gak serunya bermain bola tanpa ada Mas di sana? Mas tahu betapa gak menyenangkannya hidup di panti tanpa ada sosok Mas di sana?"

Aku mengangguk paham atas ucapan yang terlontar dari mulut Laut, karena aku pun merasakan hal yang sama.

"Mas tahu aku anak yang cengeng dan penakut, tapi aku memutuskan pergi dari panti, Mas. Entah datang dari mana keberanian itu, tapi yang ada di pikiran dan hatiku hanya Mas Biru. Kakak yang selama ini aku rindukan.
Mas adalah alasanku mempertahankan hidup yang kutahu gak ada artinya lagi. Ke mana aku bisa pulang selain pada Mas Biru? Pada akhirnya, aku berpulang ke Laut, Mas. Aku hidup bersama seorang kakek yang sangat baik padaku. Namun, lagi-lagi, aku ditinggalkan, tapi kali ini lebih menyakitkan, sebab, kakek yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri pergi jauh dan gak akan pernah kembali lagi."

Buru-buru aku menutup mulut Laut dengan tangan. "Sudah, jangan diteruskan. Mas tahu apa yang terjadi setelahnya. Kamu boleh bersedih, tetapi jangan pernah lupa untuk berbahagia. Di antara banyaknya alasan yang membuatmu menangis, ada berjuta-juta alasan lain yang akan membuatmu bahagia."

Laut melepaskan tanganku yang menutup mulutnya. "Alasan-alasan apa yang membuatku bahagia, Mas?"

Sejenak, aku memperhatikan setiap jengkal wajah Laut. "Alasan yang pertama adalah Biru Langit. Alasan kedua adalah kakaknya adik Laut. Alasan ketiga adalah Mas Biru. Alasan keempat adalah dokter Biru. Alasan kelima adalah pacarnya Laut. Alasan keenam adalah belahan jiwa Laut Dalam dan alasan ketujuh adalah aku. Mas Biru yang paling kamu kenal," jawabku tanpa melepaskan pandangan dari Laut.

Jawabanku seketika memecah tawa Laut. "Mas Biru gaje amat," katanya lalu beranjak pergi.

Bersambung...

Sebiru LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang