"Diam! Diam! Diam!" Aku berteriak kesal saat tangisan bayi semakin menjadi-jadi sambil menutup kedua telinga. Akan tetapi, tangisnya tidak kunjung reda, malah semakin bertambah keras.
Aku berdecak kesal lalu melangkah meninggalkan rumah. Air mataku kembali luruh tanpa aba-aba. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku menangis, tetapi yang pasti, aku dan air mata sudah menjadi teman yang tidak terpisahkan.
"Laut, kenapa kamu pergi? Kamu meninggalkan Mas lagi," gumamku.
Aku pernah sekali kehilangan Laut dan kini, aku kembali kehilangannya lagi. Rasanya sama, tetapi kali ini, jauh lebih menyakitkan. Laut pergi, kembali pada lautnya dan meninggalkan Biru seorang diri di sini.
"Biru, mau sampai kapan kamu seperti ini?" Ibu duduk pada sebuah kursi kosong di teras.
Aku melirik sekilas ibu tanpa berniat membalas ucapannya.
"Ibu tahu kamu sedih karena kehilangan Laut, tapi kamu juga gak bisa seperti ini terus. Hidupmu harus berjalan, Biru. Bayangkan udah berapa banyak pasien yang kamu telantarkan. Kamu juga harus profesional."
Ucapan ibu sukses membuatku tertawa. "Kenapa aku harus memikirkan orang lain, di saat tidak ada satu pun dari mereka yang memikirkanku? Ibu juga termasuk di dalamnya."
Ibu mengelus punggung tanganku, tetapi dengan cepat kutepis. "Aku kehilangan seseorang yang amat berarti dalam hidupku. Ibu pasti mengetahui jelas bagaimana perasaanku karena Ibu juga pernah merasakan kehilangan. Tapi nyatanya apa? Ibu sama sekali gak paham bagaimana perasaanku. Aku kehilangan, Bu, bukan untuk yang pertama kalinya, tapi untuk yang kedua kalinya. Aku kehilangan Laut dua kali. Apa menurut Ibu aku bisa melanjutkan hidup di saat separuh hidupku pergi?" tukasku panjang lebar. Ah, lagi-lagi air mataku jatuh.
Ternyata, bukan hanya aku yang meluruhkan air mata, tetapi ibu juga. Dengan cepat ibu menghapus air matanya lalu berucap, "Ibu paham perasaanmu, tapi hidupmu juga harus berjalan, Biru. Tim SAR udah menghentikan pencarian dan saat itulah kamu harus mengikhlaskan kepergiannya. Laut pasti sedih melihat kamu seperti ini. Kamu gak seperti Biru yang Ibu kenal. Kamu jadi lebih dingin, pemarah dan gak punya semangat untuk hidup. Jika kamu benar menyayangi Laut, maka kamu harus hidup untuknya. Kamu harus hidup untuk bayi Laut juga."
"Cukup, Bu." Aku menginterupsi ucapan ibu sambil berdiri. "Sejak awal, aku gak mau menerima anak itu di sini. Karena anak itu, Lautku pergi, Bu. Dia merenggut kebahagiaanku dengan mudahnya. Kenapa dia harus ada di sana? Apakah aku seberdosa itu sampai semesta sangat membenciku dan memilih mengambil Laut dari hidupku? Mengambil Laut dan membawanya kembali ke laut, sesuai namanya?"
Aku meninggalkan ibu yang terdiam setelah mendengar ucapanku. Sedikit pun aku tidak ingin menyakiti hati ibu, apalagi sampai berucap kasar padanya. Tetapi aku bisa apa? Aku dan Laut sudah bersama sejak kami masih kecil dan rasa sayangku padanya melebihi rasa sayangku pada diri sendiri.
"Laut," panggilku lalu mengambil potretnya yang dibingkai indah di atas nakas. "Kenapa kamu melepaskan genggaman tanganmu dari Mas, Laut? Kenapa kamu menerobos dinginnya laut itu hanya untuk seorang bayi? Kenapa kamu harus mengasihaninya sedalam itu sampai rela mengorbankan dirimu sendiri? Kenapa kamu pergi meninggalkan Mas, Laut? Kenapa kamu kembali pada laut dalam dan luas? Kenapa Laut, kenapa?" Aku mengutarakan semua pertanyaan yang bersarang di kepalaku meskipun aku tahu jawaban tidak akan pernah aku dapatkan.
"Kamu tahu, kan, Laut, kalau laut itu dingin? Tapi kenapa kamu memilih tidur diselimuti dingin yang begitu menusuk? Apakah pelukan Mas Biru belum cukup menghangatkan tubuhmu sehingga kamu lebih senang tidur diselimuti dingin? Ataukah kamu begitu mencintai laut dibandingkan Mas Biru sehingga kamu memilih pergi padanya? Mungkinkah selama ini Mas terlalu memaksamu sampai kamu merasa gak nyaman dan lebih nyaman bersama laut? Apa Laut? Apa alasan yang membuatmu pergi meninggalkan Mas? Mas butuh jawabanmu, Laut."
Dadaku sakit. Seperti tertikam belati dalam jumlah yang sangat banyak sampai aku tidak dapat menghitungnya. Tikaman belati itu menciptakan luka dalam dan lebar. Sakit. Tetapi rasa sakitnya tidak hanya sampai di sana saja. Sakitnya semakin bertambah, seperti luka yang ditaburi pasir, garam atau apa pun itu. Kapan lukanya akan sembuh? Entahlah. Sepertinya luka itu tidak akan pernah sembuh sampai kapan pun.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebiru Lautan
Short StoryLaut itu tenang, Laut itu candu, dan Laut itu kamu. Kisah kita bermula di sini. Dengan segala ketenangan laut dan indahnya biru yang menghiasi. Entah ke mana kisah kita akan berlabuh, tetapi biru tidak akan pergi jauh. Biru akan selalu berpulang pa...