DUA PULUH

236 35 3
                                    

"Kau harus makan, Seonghwa." Nyonya Jung meletakkan sepiring makanan yang masih panas di depan Seonghwa, "Ayo cobalah meskipun cuma beberapa suap saja."

Seonghwa melirik makanan di piring itu. Makanan itu enak, dan kalau dia tidak sedang pusing. Aromanya yang wangi pasti akan bisa menerbitkan air liurnya. Tetapi saat itu Seonghwa merasa pusing, dan tidak ingin makan. Tetapi dilihatnya Nyonya Jung menatapnya penuh harap, wanita yang sudah seperti ibunya ini tentunya sudah repot-repot memasakkan makanan ini untuknya. Seonghwa tidak mau mengecewakannya.

Hanya demi menyenangkan Nyonya Jung, dia mengambil piring itu dan menyuap makanannya. Perutnya yang sudah seharian tidak diisi menyambutnya dengan rasa mual yang luar biasa. Tetapi Seonghwa menahannya. Dia tetap menyantap makanan itu hingga empat suap, kemudian menyerah, menatap Nyonya Jung dengan tatapan menyesal,

"Maafkan aku."

Nyonya Jung tersenyum dan mengangguk penuh pengertian, "Tidak apa-apa, yang penting perutmu terisi." Nyonya Jung menatap Seonghwa dan menarik kesimpulan, menilik dari sikap Seonghwa dan pada kenyataannya Seonghwa melarikan diri ke asrama ini, sepertinya Seonghwa masih tidak tahu bahwa Nyonya Jung ada hubungannya dengan Hongjoong. Bahwa semuanya sudah diatur oleh Hongjoong. Nyonya Jung sebenarnya sudah menimbang-nimbang untuk berterus terang kepada Seonghwa, tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Sekarang ini permasalahan antara Hongjoong dan Seonghwa sudah rumit, dia tidak mau menambahkan permasalahan baru di antara mereka. Lagipula mengenai hal ini, mungkin nanti Hongjoong sendiri yang akan menjelaskannya kepada Seonghwa, "Bagaimana perasaanmu?"

Seonghwa menghela napas panjang, "Saya baik-baik saja."

"Tamumu tadi, dia ibu Hongjoong kan?"

Seonghwa menganggukkan kepalanya. Ekspresinya tetap datar hingga Nyonya Jung harus bertanya lagi, "Apakah dia berhasil mengubah pandanganmu?"

Seonghwa merenung. Apakah Nyonya Kim berhasil merubah pandangannya? Mungkin. Nyonya Kim memberitahukan hal baru, bahwa Hongjoong hidup dengan rasa bersalah. Wanita itu juga berusaha meyakinkan bahwa Hongjoong benar-benar mencintai Seonghwa. Tetapi benarkah itu semua? Jauh di dalam hatinya, Seonghwa menyadari masih ada perasaan hangat itu ketika mengingat Hongjoong. Tetapi ada juga kebencian yang muncul ketika mengingat bahwa pria itulah yang telah menyebabkan kematian ayahnya. Hal itu membuat Seonghwa bingung dan tak tahu harus bagaimana.

.

Dini hari Seonghwa terbangun dengan rasa mual yang amat sangat. Dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Perutnya terasa sakit dan kepalanya pening.

Dengan napas terengah dia mencuci mukanya dan melangkah gontai ke kamar, lalu membaringkan dirinya di ranjang. Pusing dan mual-mual itu... apakah dia hamil?

Oh Astaga. Seonghwa mengusap perutnya dengan gugup. Bagaimana kalau dia benar-benar hamil? Mengandung anak Hongjoong? Apa yang harus dia lakukan? Kalau dia memang benar- benar ingin kabur dan pergi menjauh, dia harus mengubah semua rencananya. Kehamilan ini merupakan pertimbangan yang sangat penting. Seonghwa akan susah mencari pekerjaan kalau perutnya membesar. Dan siapa yang akan menjaganya ketika kandungannya sudah terlalu besar?

.

Hongjoong bersedekap dan menatap ibunya yang cantik, "Ibu menemui Seonghwa?"

"Ya." Nyonya Kim menatapnya meminta maaf, "Maafkan kalau ibu tidak minta izin sebelumnya kepadamu. Aku memang impulsif. Tetapi setidaknya dia mau mendengarkan penjelasan dari sisiku."

"Bagaimana keadaannya?" Hongjoong berbisik lirih, membayangkan Seonghwa membuat jantungnya berdenyut. Dia merindukan pria-nya itu, merindukan Seonghwa-nya. Setiap malam dia terbangun, berusaha mencari tubuh hangat Seonghwa untuk dia peluk, tetapi pria cantik itu tidak ada. Kemudian dia merasakan kekosongan yang sangat dalam di dalam jiwanya, dan terjaga sepanjang malam.

Unforgiven Hero | JoonghwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang