Bab 4

85 8 0
                                    

Keduanya segera mengakhiri momen intim di antara mereka, ketika layar ponsel Diola menyala dan menampilkan panggilan video call dari kontak bernama Eleanis.

Sementara perempuan itu buru-buru menjawab panggilan tersebut, Rami justru berkacak pinggang sambil menghela napas. Bayangkan saja, dirinya baru akan kembali bermesraan dengan kekasihnya. Namun, Eleanis tiba-tiba saja mengacaukannya dengan menghubungi Diola. Video call pula!

Pria itu belum ingin pergi dari tempat itu, melainkan penasaran dengan percakapan kedua sahabat tersebut. So, dirinya memilih untuk duduk bersila di hadapan Diola sambil memperhatikan perempuan itu.

Diola terlihat merapikan rambut, menyelipkan riap anak rambut di balik telinganya lalu mulai melakukan video call.

"Ninda?!" pekik Diola tak percaya. Pemandangan menakjubkan muncul pada layar ponsel miliknya. Sosok sang nenek tampil dengan kondisi di luar dugaannya—well, jauh lebih baik dari yang dirinya pikirkan.

"Ya ampun, Nin," perempuan itu mendesah lega dengan mata berkaca-kaca. "Syukurlah, Ninda sudah siuman. Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Diola.

Rami yang berada di hadapannya ikut mengulas senyum saat melihat perubahan pada diri Diola. Perempuan itu terlihat sumringah saat mendapati kondisi neneknya sudah bugar kembali.

"Sudah lebih baik," jawab Ninda juga balas tersenyum.

"Aku takut, Nin. Semalam aku dikirimi foto, dan dalam foto tersebut Ninda terlihat... uhm, sangat mengkhawatirkan."

"It's okay now," ujar wanita itu sambil membalikkan kamera. Lalu, layar ponselnya menampilkan sebuah nampan berisikan berbagai menu makanan khas rumah sakit. "Lihat, makanan ini nggak memiliki rasa sama sekali," imbuhnya.

Diola terkekeh mendengar ucapan neneknya. "Sungguh makan siang yang sangat menyehatkan ya, Nin."

Sejurus kemudian layar kembali menampilkan sosok Ninda di dalamnya. "Well, tapi, untungnya ada Lean yang berbaik hati memesankan makan siang via online."

"Oh, ya? Anyway, thanks to you, Le!" kata Diola. Kemudian kamera diarahkan oleh sang nenek kepada Eleanis yang tengah duduk di sampingnya. Sahabatnya tersebut menyeringai sambil mengedipkan mata padanya.

"Kamu di mana sekarang? Lean bilang kamu ada di Bandung."

"Mm-hmm. Aku buru-buru pulang semalam saat tahu Ninda masuk rumah sakit."

Wanita itu mengernyitkan dahi, seakan menyesali sesuatu. "Maaf kalau karena Nin seperti ini, kamu jadi repot-repot—"

"Nin, jangan bicara begitu."

"Seharusnya nanti malam kita bertemu di Semarang. Bukan justru kamu yang pulang, kan?"

Diola tersenyum pahit saat menanggapi ucapan sang nenek.

"Dan seharusnya besok kita merayakan wisuda kamu," imbuh Ninda.

"Lupakan saja wisudaku, Nin. Yang penting Ninda sehat dulu," ujar Diola meyakinkan neneknya.

Ninda mengangguk. Ekspresi penyesalannya perlahan memudar.

"Lalu, kenapa kamu nggak datang menjenguk Nin?"

Diola tercekat. Perempuan itu memilih untuk mengunci mulutnya dan hanya menundukkan pandang.

"Kamu masih mencoba menghindari Mamamu?"

"Nin, please! Jangan bahas ini lagi, okay?" sambar Diola.

Sejujurnya Diola enggan membicarakan perihal topik tersebut terus menerus. Pasalnya bukan lagi rahasia umum jika hubungannya dengan sang mama bagai dua kutub magnet yang berlawanan.

CLOSURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang