Bab 10

69 6 0
                                    

Rami menemukan Diola tengah duduk meringkuk dengan memeluk kedua kakinya. Ia duduk pada barisan tangga tepat di depan lobby utama rumah sakit. Menyendiri, menyaru dengan sebuah pot berisikan pohon palem hias dengan pelepah daun berwarna merah.

Di sanalah perempuan itu menenangkan diri, sambil menempelkan gagang ponsel di telinganya. Tersambung dengan seseorang di balik teleponnya.

Rupanya, karena itu Diola sulit dihubungi saat ia mencarinya. Well, Rami sudah dapat jawabannya sekarang.

Sambil sesekali terisak, perempuan itu berkeluh kesah dengan seseorang di seberang sana—yang ketika Rami cermati lagi orang tersebut adalah Irvin. Yup, Diola menepati janjinya untuk melanjutkan percakapannya dengan Irvin setelah tadi sempat terpotong secara tiba-tiba.

"But it's so weird, Vin. Bertahun-tahun dengan ketidakjelasan status. Sekarang, dia muncul di hadapanku begitu saja," perempuan itu mengusap wajah.

Rami menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memilih untuk berdiri tanpa suara di belakang Diola. Membiarkan perempuan itu terus terlibat pembicaraan dengan Irvin.

"I don't know, aku nggak bisa merasakan apa pun selain sesak dalam dada," pungkas Diola lalu menghela napas panjang.

"Aku ingin cepat pulang, Vin. Aku harap bagian ini nggak pernah benar-benar terjadi."

Rami memuntir bibirnya seraya mengernyitkan dahi.

"Rasanya seperti mimpi, you know?"

Perempuan itu mendesah, "dua hari yang menguras emosi."

"Semua ini terjadi begitu cepat, Vin. Kemunculan Mama. Permintaan maafnya. Sampai dengan pengakuan mengenai perceraiannya dengan Papa. Lalu, baru saja aku dipertemukan dengan ayah kandungku yang adalah suami baru Mamaku. That's insane!"

Rami tetap bergeming. Asyik menguping pembicaraan kekasihnya dengan pria lain.

"Dia? Mm, iris matanya. Ya, Tuhan—" Diola menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya.

Sejurus kemudian ia kembali mengangkat wajah, menyibakkan rambutnya, kemudian mendesah.

"Irvin, aku... apa yang harus aku lakukan?" Diola bertanya dengan penuh putus asa.

***

"Bagaimana perasaan kamu saat ini? I mean, seumur hidup tidak pernah tahu seperti apa rupanya. Lalu, tiba-tiba saja kalian bertemu," tanya Irvin penasaran. Pria itu bahkan tidak sadar jika pertanyaannya barusan menimbulkan sesuatu yang tidak biasa pada diri Diola.

"I don't know, aku nggak bisa merasakan apa pun selain sesak dalam dada," perempuan itu menghela napas, "Aku ingin cepat pulang, Vin. Aku harap bagian ini nggak pernah benar-benar terjadi. Rasanya seperti mimpi, you know?"

Irvin mendengus di balik sambungan teleponnya.

Diola tidak menyadari jika sejak tadi ia belum memutus sambungan teleponnya, meski sudah menutup percakapannya dengan Irvin. Ia lupa menekan tombol merah pada layar smartphone miliknya.

Sehingga seluruh kejadian yang ia alami, kalimat yang ia ucapkan saat adegan pertemuan tadi. Ya, semua itu. Terdengar secara langsung oleh Irvin di seberang sana.

Diola baru menyadarinya, ketika ia berhasil meloloskan diri dan berlari menuju lobby rumah sakit. Kala dirinya akan memesan taksi online. Nyatanya, ia masih tersambung dengan Irvin sejak tadi. Hingga mau tak mau, ia pun menceritakan lebih detail mengenai apa yang baru saja terjadi padanya. Dan lupa dengan rencana kaburnya.

CLOSURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang