Bunyi air yang ditumpahkan ke dalam secangkir gelas memenuhi pendengaran Niskala.
Seperti biasa akan terasa hening dan tak ada yang memulai perbincangan diantara dirinya dan ayahnya.
Seorang wanita paruh baya berpakaian kebaya membawa sebuah nampan berisi roti isian selai coklat kemudian membagikannya pada Dewa dan Niskala.
"Ini pak, Den rotinya" ucapnya lalu berlalu.
"Makasih bi"
Keduanya makan dengan hening.
"Masih belum ketemu?" Tanya Dewa seraya menatap putra tunggalnya, memulai perbincangan.
Pemuda itu menghela nafas panjang kemudian menggeleng menanggapi pria yang berada di depannya.
"Udahlah, mungkin dia udah nggak ad—"
"Vanilla masih ada"
"Ya mana, berapa tahun kamu terus cari cari dia tapi nggak ketemu juga kan" bantah Dewa.
"Masih belum" ucapnya datar.
"Kejadian itu pernah gempar satu dunia Kala, memakan banyak korban termasuk mama kamu dan anak sekecil dia bisa selamat?, Itu mustahil"
"Nggak ada yang mustahil, semuanya bisa terjadi sesuai rencana Tuhan, Vanilla masih hidup"
Niskala yakin gadisnya itu masih hidup, ia dapat merasakan keberadaannya. Tak jauh darinya.
"Kala pamit" Lelaki berperawakan tinggi itu beranjak dari duduknya dan menyalami Dewa.
~~~
Nevara mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Suasana pagi ini lebih cerah dengan udara yang segar.
Beberapa anak anak tengah berlarian dan saling merangkul membuat Nevara tersenyum sendu, mengingat kenangan beberapa tahun yang lalu.
Dimana Niskala, apa lelaki itu masih berada di daratan yang sama dengannya, apa kabar dengannya?. Sungguh, rasa rindu Nevara sangat berat terhadap lelaki itu.
Tanpa sadar seseorang dengan kendaraan yang sama juga melintas di belakang gadis itu, memperhatikan gadis itu dengan seksama dari belakang.
Nevara menurunkan kakinya saat kendaraan di depannya berhenti, celingak-celinguk penasaran apa yang terjadi di depan sana. Akhirnya gadis itu turun dari sepedanya dan melihat seorang wanita buta yang berjalan sangat pelan menyebrangi jalanan membuat jalanan macet.
Dengan cepat ia berlari dan menuntun wanita buta itu, menggandeng tangannya dan memberi tanda pada mobil di belakang untuk berjalan.
Senyum tipis terukir di bibir Niskala saat menyaksikan aksi gadis itu.
"Cantik ya dia—" ucap Zidan, yang tiba-tiba muncul dari belakang sepeda Niskala. Lelaki itu memandangi gerak gerik Nevara sambil menopang dagunya diatas stir sepedanya.
"Ngangetin aja lo" sinis Niskala.
"Siapapun kamu saya sangat ber terima kasih karena telah menolong saya" ucap wanita itu sembari tersenyum.
"Sama-sama, ibu hati-hati saya pamit"
Senyum tipis itu kembali menjadi datar saat perempuan yang menyebabkan ia tersenyum, kembali.
Tak peduli dengan tatapan datar lelaki itu Nevara kembali menaiki sepedanya dan melaju agar tidak terlambat.
~~~
Kotak bekal bercover warna merah muda Neta letakkan tepat diatas meja milik Niskala.
"Asik buat gue ya, Net?" Celetuk Zidan
"Ck, bukan buat lo"
"Buat kamu"
"Kasi yang lain aja" lelaki itu mendorong pelan kotak bekal tersebut.
Air muka Neta berubah menjadi sedih, tidak bisakah Niskala menerima pemberiannya sekali saja. Mengapa dia selalu di tolak, apa pemuda itu peramal yang meramal rasa masakannya se tidak enak itu.
"Sekali aja terima ya—" gadis itu kembali mendorong kotak bekalnya kearah Niskala.
"Ambil bekal lo atau gue lempar?!"
"Terserah, yang penting bekal ini nggak kembali ke aku kayak kemarin kemarin"
Prang
Semuanya tersentak mendengar suara berisik itu, Neta menatap sendu isi bekal itu yang kini berhamburan di lantai.
"T—thank you Kala" lirihnya.
"Weh Kal parah lo" teriak Zidan.
Niskala memijit pelipisnya kemudian beranjak meninggalkan ruangan kelas. Sedangkan Neta, gadis itu kini memungut makanan yang berhamburan.
Beberapa orang turun menghampiri gadis itu seraya menenangkannya.
Entah apa yang membawanya untuk ke perpustakaan, ia bukan tipe orang yang suka membaca ia lebih suka mendengar kecuali Vanilla nya, gadis itu lebih suka membaca buku bahkan sampai lupa waktu.
Perpustakaan di sekolahnya memang luas, selain buku pelajaran disana juga ada banyak genre buku fiksi. Bahkan karya para siswa juga di pamerkan disana.
Seperti halnya Nevara yang kini sedang memperhatikan bangunan istana yang terbuat dari stik ice cream.
"Nanti kalau aku udah gede, aku bakal ngajak Vanila ke istana beneran"
Nevara tersenyum manis mengingat janji anak laki-laki yang terus bersarang di pikirannya.
"Kok rak ini kayak mau roboh ya—"
Seorang siswi yang mengambil sebuah buku namun perasaannya tak enak mengenai rak buku tersebut yang bergerak seperti tidak seimbang.
"Kak kak awas!!"
Mendengar teriakan histeris itu membuat Nevara menoleh ke belakang dan melihat rak buku yang terbuat dari besi jatuh dan mengarah padanya.
Spontan gadis itu membulatkan matanya dan pada detik itu juga seseorang menariknya hingga rak buku itu mengenai beberapa karya yang di pajang di atas meja. Beberapa karya siswa disana juga ikut rusak.
Secara perlahan Nevara membuka matanya dan menemukan mata hazel yang ia lihat kemarin. Sebuah tangan kekar memeluk pinggang kecilnya untuk menahan berat gadis itu.
Mata keduanya seperti terkontak, dengan posisi seperti sekarang, Niskala memeluk Nevara.
"Eh maaf—" Nevara melepas pelukan lelaki itu sambil sedikit menundukkan kepalanya.
"Lo nggak papa?"
Jadi seperti ini suaranya, ia pikir lelaki itu bisu.
"I—iya, makasih udah nolongin"
"Hm, lain kali hati-hati"
"Omo istananya—" Gadis itu menatap sendu bangunan istana yang ia lihat tadi kini telah hancur.
Niskala ikut menghampiri gadis yang kini duduk terdiam, menatap beberapa potongan castle itu.
"Lo suka istana?"
Nevara mengangguk kecil. Sangat menggemaskan di mata Niskala, seperti anak kecil yang sedih melihat mainannya hancur.
"Gue Niskala"
Tangan kekar itu terulur di hadapan Nevara.
"Nevara"
"Nama aku nevala"
"Aku panggil kamu Vanilla aja ya"
"Vanilla?" Gumam Niskala membuat Nevara menoleh.