Bab 2 - Sekantung Cookies

1.1K 42 0
                                    

Berkat kepiawaian Shin dalam membereskan barang-barang, semua peralatan yang tampak berat sudah tersusun rapih di dalam cafe. Ia juga tampak cekatan memasang semua bohlam, begitu menemukan kotak penuh bola lampu khusus dekorasi cafe.

Aku tidak bisa menyangkal, kalau aku sangat mensyukuri hal ini. Bertemu calon konsumen baik hati yang memiliki kekuatan fisik dan sangat cekatan dalam menyusun barang.

Aku jadi merasa berdosa tidak bisa menyajikan apa pun untuk pria ini.

Saat membuka sebuah kardus besar berisi macam-macam kemasan plastik kebutuhan cafe, juga pernak-pernik lucu yang kubeli secara implusif. Melihat gulungan plastik lucu ini seketika membuatku teringat suatu hal.

Aku bergegas mencari ransel yang kubawa dari rumah lama. Senyumku merekah begitu menemukan benda yang kucari.

Untunglah aku sempat memanggang kukis 3 hari sebelum pindahan.

Ya, aktivitas tidak penting yang dilakukan oleh seseorang yang hendak pindahan ini ternyata memiliki manfaat juga.

Jika saja aku tidak membuka kerdus penuh kemasan tadi, pikiranku yang lelah ini juga pasti telah melupakan salah satu ciptaan terbiakku.

Kukis kopi bertabur choco chips di atasnya dengan hint vanilla yang semakin menggoda hidung saat kita mulai mengunyahnya.

Mungkin rasanya seperti ... menggabungkan moccacino dan vanilla latte dalam kukis? Ntahlah, itu hanya pikiranku saja. Karena siapa sangka, perpaduan ini sangat cocok untuk sebuah kukis.

'Andai saja aku bisa menyajikan ini hangat-hangat. Pasti rasanya lebih enak,' pikirku.

Kugunting secukupnya gulungan plastik bergambar teddy bear menggemaskan. Lalu menyusun beberapa kukis di atas potongan plastik dan membungkusnya dengan pita merah muda.

Membayangkan laki-laki segagah Shin membawa pulang sekantung kukis menggemaskan ini spontan membuat tawa kecilku keluar.

Sambil menggeleng, kuraih sekantung kukis itu.

Shin yang kini telah duduk di kursi area out door cafe langsung berdiri, begitu melihatku menghampirinya.

"Apa ada hal yang bisa kubantu lagi?"

Kugelengkan kepala. Sikap sopan laki-laki ini jelas menghadirkan senyum di bibir. "Tidak ada. Terima kasih atas kebaikanmu, Tuah Shin."

"Oh, ayolah ...." ia tampak memalingkan wajah, tapi kurasa itu bukan karena kesal atau marah. Melainkan malu.

Kuletakkan sekantung kukis di mejanya. "Maaf tidak bisa menyajikan makanan yang layak. Hanya ini yang bisa kuberikan sebagai ucapan terima kasih."

Untuk beberapa saat, ia mengamati kukis yang kuberikan. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Shin akhirnya tersenyum dan memutuskan untuk pamit karena hari mulai sore.

"Jam berapa kamu akan mengambil kopinya, Shin?" tanyaku sebelum laki-laki itu meninggalkan cafe.

"Pukul 6."

"Oke, sampai jumpa besok." Aku tersenyum sambil melambaikan tangan saat Shin keluar dari cafe.

Setelah memastikan sosoknya sudah benar-benar jauh, tak terlihat pandangan. Aku akhirnya bisa beristirahat sejenak.

Bukannya aku tidak bisa beristirahat saat Shin masih di sini. Hanya saja aku merasa malu saat hampir semua pekerjaan berat ia yang menangani, sementara aku yang hanya melakukan hal-hal ringan sudah mati rasa akibat kelelahan.

"Tapi ya ... tidak buruk juga," gumamku sambil memikirkan sosok Shin yang kokoh, tapi memiliki hati lembut bak Purin. Japanese custard pudding kesukaanku.

COOKIES & HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang