Bab 19 - Dia dan Masa Lalunya

233 13 0
                                    

Melihat rumah hitam putih dengan sentuhan lampu bernuansa hangat, menambah kesan klasik rumah Shintarou yang siapa sangka, sangat cocok dengan pemiliknya.

Penataan rumah yang tampak sederhana menunjukkan bahwa sang pemilik rumah cenderung menghabiskan waktu di luar rumah, dibanding menciptakan tempat ternyamannya sendiri di rumah.

Setelah berjalan melewati ruang tamu bersama si pemilik rumah yang sudah tampil menawan sejak pagi, aku baru mengetahui kalau ada satu ruangan yang ia tata sedikit lebih rinci dibanding ruang lain yang kulewati, yaitu ruang kerjanya.

Terdapat rak buku besar di ujung dinding belakang kursi meja kerja Shintarou. Dinding kanan-kirinya ada lemari kaca yang menjadi koleksi prestasi Shintarou selama ini.

"Padahal prestasimu sebanyak ini. Kenapa aku bisa tidak mengenalmu sama sekali, ya," gumamku yang kagum pada koleksi jejak perjuangan Shintarou sebagai atlet.

"Entah...." Ia pun memasang ekspresi terheran. "Seseorang mungkin terlalu tenggelam dalam dunianya sendiri?"

Aku hanya bisa tersenyum kecil menanggapi komentar Shintarou. Tidak ada yang salah dari hal itu, mengingat semua yang ada di sekitarku terasa menyibukkan. Mulai dari menjadi pelajar yang baik, sampai pekerja yang bertanggung jawab sambil menjalankan hobi yang menghasilkan, seperti menulis sebuah novel.

Ya... semua kegiatan itu cukup membuatku tertutup dari informasi luar. Apalagi jika novel yang kutulis bergenre fantasi yang tidak menggunakan bumi sebagai latar dunia dalam novelku.

"Setidaknya aku bisa bersyukur sekarang. Karena wanita cantik ini baru muncul di waktu yang tepat," gurau Shintarou yang kini mencubit pelan pipiku.

"Mau sekarang ataupun setahun yang lalu, kamu masih berbahaya, Shin," balasku.

Shintarou pun mencolek hidungku. "Jangan menggodaku, Fia. Aku sudah berusaha keras untuk tampil serapih mungkin saat menghubungi Okaasan."

Aku pun spontan berusaha menutupi bagian dadaku dengan tangan yang menyilang di depan dada. "Maksudku bukan seperti itu. Kamu kan petarung MMA!"

"Baiklah... baiklah... aku akan mengambil proyektor dan kursi lainnya. Kamu tunggu di sini, aku akan memulai panggilan videonya mungkin...." Shintarou melirik ke arah jam dinding, "lima belas menit lagi."

Dan begitulah caraku bisa menyusuri rak buku Shibtarou seorang diri.

Selain buku yang berkaitan dengan medis dan olahraga, aku cukup terkejut mendapati beberapa buku manajemen, juga keuangan di rak buku ini. "Memangnya dia mau bekerja di kantor saat pensiun di MMA? Atau... Shintarou berencana membangun bisnisnya sendiri, makanya ia membaca semua buku ini?" gumamku saat melihat beberapa buku manajemennya cukup banyak. Bahkan aku cukup familiar dengan beberapa buku yang pernah kubaca selama berjam-jam demi menyelesaikan kuliah yang menghabiskan uang, juga tenaga.

"Ada buku yang kamu suka, Fia?" Suara Shintarou berhasil mengejutkanku yang terlalu fokus pada buku-buku yang terpajang di ruangan ini.

"Ah, tidak. Hanya merasa familiar saja dengan beberapa buku," ungkapku.

"Jangan ragu untuk mengambilnya, jika ada 1 buku yang menarik minatmu. Karena aku akan senang menyambutmu tiap kali mengembalikan buku."

"Dasar. Kamu hanya ingin menggodaku, kan?"

Senyuman lebar itu sebagai ganti jawaban kalau ia membenarkan perkataanku.

Setelah cukup lama berbasa-basi dengan Shintarou, akhirnya panggilan video pun dimulai.

Seorang wanita cantik yang tampak anggun dengan balutan blouse kuning tampak membuat wanita paruh baya berambut panjang ini, makin bercahaya dan elegan.

Shintarou menyapa mamanya menggunakan bahasa Jepang untuk beberapa saat. Aku hanya berusaha tersenyum manis sampai akhirnya pria itu mulai bercakap dalam bahasa yang aku mengerti. "Bukankah Fia sangat manis, Okaasan? Kurasa kalian akan akrab jika Okaasan di sini."

"Sepertinya Fia sangat pandai memasak, ya. Aku sering menerima beberapa foto dari Shin kalau ia sedang memakan makanan dari wanita yang ia sukai."

Keningku mengerut sambil memandang Shintarou penuh tanya. Selama ini ia bercerita sedetail itu dengan ibunya?

Shintarou hanya tersenyum. "Jadi Okaasan tidak keberatan dengan pernikahanku, kan?"

Aku belum mengucap sepatah kata pun, tapi laki-laki ini langsung melempar pertanyaan inti dari panggilan video ini.

"Shin... Okaasan tahu kamu sangat menyukak Fia, tapi kamu juga harus memberinya waktu sedikit berbicara. Dia terlihat bingung saat kamu berkata seperti itu," ungkap wanita paruh baya berparas cantik itu. "Jangan-jangan kamu memaksa melamar dengan cara seperti ini?"

Aku spontan menggeleng. "Tidak, Tante. Saya juga memiliki perasaan yang sama dengan Shin. Makanya saya ingin meminta restu Tante untuk menjalani sisa hidup bersama Shin."

Senyum lebar memancarkan kelegaan terukir indah di bibir wanita itu. "Fia juga boleh panggil Okaasan. Bagaimanapun juga, kamu akan menjadi anak perempuanku bila Fia menikahi Shin."

Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Entah kenapa, hawa di sini terasa sedikit panas.

Setelah bercakap-cakap dengan perempuan yang melahirkan Shintarou, akhirnya aku baru mengetahui sedikit masa lalu laki-laki yang kelak menjadi suamiku.

Terutama mengenai alasan Ikeda Haruhi-mamanya Shintarou-menetap di Jepang. Semua itu disebabkan oleh perceraian mereka, dan Ikeda-san yang merasa lelah dengan keegoisan mantan suaminya sendiri sampai membuatnya memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Indonesia. Salah satu alasan terbesarnya adalah ia yang tidak bisa menemui Shintarou.

Hal yang paling mengejutkan dari percakapan ini adalah identitas ayah Shintarou yang merupakan pemilik DG Group, perusahaan multi nasional yang membuat Aditya Dirgantara menduduki posisi pertama sebagai orang terkaya di Indonesia.

"Aku hanya berniat mengenalkanmu pada Okaasan, jadi kamu tidak perlu khawatir tentang pertemuan dengan orang itu," ucap Shintarou setelah kami menyelesaikan panggilan video dengan mamanya.

"Tidak bisa begitu, Shin. Bagaimanapun juga, beliau itu orang tuamu...." Aku bangkit dari duduk saat melihat Shintarou hendak ke luar ruangan.

Shintarou yang sudah jalan mendahuluiku mendadak berhenti, membalikkan badan, membuatku tidak sengaja menabrak tubuh atletisnya yang keras.

Saat mencoba mengambil langkah mundur, Shin malah memelukku erat. Aroma tubuhnya yang segar nan maskulin pun semakin memenuhi indra penciumanku. "Aku lapar. Tidak bisakah kamu memasak sesuatu untukku?"

"Memang kamu mau makan apa?"

Cukup lama aku menunggu jawaban laki-laki ini. Pikiranku bahkan sudah berkelana mengenai, kira-kira bahan makanan apa saja yang mungkin tersimpan di lemari pendingin seorang pria? Aku mencoba mencocokkan perkiraan itu dengan menu yang mungkin bisa kubuat jika Shin masih bingung mengenai apa yang mau ia makan.

"Kamu. Tidak bisakah aku memakanmu?"

***

COOKIES & HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang