Bab 1 - Butuh Bantuan?

1.6K 43 0
                                    

Entah aku harus bersedih atau besyukur atas tanah yang sudah lama dimiliki oleh alm. Ibuku. Tanah yang dulu tidak begitu mahal, kini mengalami pertumbuhan pesat, setelah daerah itu menjadi salah satu komplek perumahan elit di Jakarta.

Sejak ditinggal Ayah yang memilih untuk menikahi selingkuhannya, aku dan Ibu mencoba membangun masa depan baru, dari tanah yang pernah Ayah beli atas nama Ibu.

Kami rutin menyisikan pendapatan tetap yang tak seberapa ini, demi mewujudkan impian sederhana kami. Mengelola sebuah cafe rumahan saat Ibu pensiun.

Semua desain cafe kami rancang bersama berdasarkan kesukaan. Ibu yang mencintai tanaman tentu akan menghiasi cafe dengan berbagai macam tanaman. Seperti pohon yang kini telah berdiri kokoh di dalam area out door cafe. Entah apa nama pohon ini, yang jelas, pohon yang Ibu dapat dari salah satu petinggi yayasan sekolah tempat Ibu mengajar dulu, kini telah tumbuh menjulang, menimbulkan kesan sejuk yang rimbun pada cafe.

Sedangkan aku yang menyukai hal-hal berbau seni, memilih memenuhi cafe dengan ornamen kayu. Warna cokelat yang kental ini, seolah berpadu oleh nuansa alam yang timbul dari pohon dan beberapa tanaman hias di sekitar cafe.

Lampu gantung pada tiap meja dalam ruangan pun semakin menambah kesan antik pada cafe ini.

Perlahan, siapa pun yang mengunjungi cafe ini pasti merasa, bahwa cafe ini dibangun penuh harapan dan cinta. Perasaan itu dipupuk secara perlahan dari waktu ke waktu, sampai menghasilkan bangunan indah penuh perasaan nyaman.

Terselip perasaan sesal dan sedih dalam hati tiap memandang bangunan cafe yang akhirnya rampung ini.

"Maaf Bu ... sepertinya mulai hari ini hanya Fia yang akan menghidupkan impian masa tua Ibu. Fia janji, Fia akan merawat kenangan kita dengan baik," gumamku saat memandang bangunan cafe yang akhirnya siap untuk dibuka.

Di siang yang damai ini, suara deru mesin dan klakson khas mobil truk terdengar jelas. Membuatku bergegas mengusap air di sudut mata yang telah menggenang. Aku tidak ingin orang menyalah pahami air mata ini.

Aku bergegas ke luar untuk membukakan gerbang agar para pekerja ini bisa langsung memasukkan semua barangku.

"Untuk kardus yang sudah saya beri label merah, bisa langsung taruh di atas saja ya, Pak. Kamar saya di atas soalnya," pesanku pada kurir jasa pindah rumah.

"Untuk barang di luar kebutuhan kamar dan yang tidak diberi label, harus saya taruh mana ya, Mbak?" tanya Bapak berambut ikal yang telah mengeluarkan dokumen penyelesaian jasa.

"Untuk barang-barang lainnya bisa disusun saja di bagian dapur. Karena itu peralatan cafe saya. Hati-hati ya, Pak."

Kuterima dokumen yang diberikan Pak Kurir, sementara beliau sibuk mengomandu rekan lainnya untuk membawa barang-barangku dengan penuh kehati-hatian karena harganya tidak murah.

"Baik, Pak. Dokumennya sudah saya periksa. Nanti saya tanda tangan kalau pekerjaannya sudah selesai, ya?" Senyumku ramah.

Bapak yang mendengar ucapanku itu tampak kesal, mengambil alih lagi dokumen itu dariku dan mulai ikut mengangkut beberapa barang.

Ey ... enak saja. Masa aku disuruh tanda tangan, padahal pekerjaan belum selesai. Bagaimana nanti kalau ada barang yang jatuh atau pecah? Aku kan tidak bisa menuntut ganti rugi.

***

Akhirnya setelah 1 jam, semua barang berhasil dipindahkan, sesuai permintaan. Walau masih ada beberapa mesin dan barang yang tergeletak di dapur, tapi biarlah, toh lebih aman ketimbang ditaruh di atas dan tidak sengaja tersenggol.

Setelah menandatangani dokumen penyelesaian jasa, aku memberi tip beberapa lembar uang biru, sebagai permintaan maaf karena tidak bisa menyugukan makanan atau minuman saat proses pindah rumah.

Ya ... mau bagaimana lagi. Aku juga baru pindah ke sini. Belum ada persediaan dapur yang bisa kusugukan ke mereka.

Walau begitu, mereka juga tampak senang dengan permintaan maaf secara tidak langsungku ini, dan bergegas kembali ke tempat kerja.

"Nah ... saatnya beres-beres!" Aku menepuk kedua tangan beberapa kali, berharap mendapat energi semangat dari gerakan sederhana yang kulakukan.

"Apa akhirnya cafe ini dibuka?"

Aku dikejutkan oleh kehadiran seorang pria tinggi, bertubuh atletis yang mengenakan jaket abu-abu bertudung dan celana basket merah.

"Ah, iya Mas. Kemungkinan 2 atau 3 hari lagi baru buka." Aku mencoba beramah tamah. Ia mungkin merupakan calon pelanggan setiaku. Jadi aku harus menunjukkan citra positif dari si pemilik cafe ini.

Mata hooded laki-laki berkulit putih ini tampak menyapu sekeliling penampilan luar cafe.

"Jika aku membantumu sekarang, apa aku bisa membeli americano dan roti isi saat pagi?"

Keningku mengerut. "Apa?"

"Kamu butuh bantuan? Kelihatannya barang-barangmu cukup banyak dan berat."

Walau suaranya terdengar cukup dingin dan datar. Tapi aku tahu bahwa laki-laki ini memiliki niat baik. Terlihat dari sorot mata yang tampak sedikit khawatir.

Ya ... mungkin ia tipe pria yang tidak bisa membiarkan seorang perempuan mengurus pekerjaan seorang diri. Apalagi jika melihat bentuk tubuhku yang sangat tidak atletis ini. Ia pasti berpikir kalau ototku akan terpelintir jika merapikan semua barang ini sendirian.

Walau tidak salah, tapi jika dipikir, terasa menyebalkan.

"Jika Anda tidak keberatan, Tuan. Karena aku tidak bisa menyajikan makanan apa-apa, selain air mineral, jika Anda memaksa membantu."

Entah disebabkan berlari atau apa, tapi kulihat wajah pria di hadapanku ini memerah.

"Maaf, aku tidak bermaksud memaksa. Hanya aja aku ada latihan pagi besok, dan mesin kopiku di rumah baru saja rusak. Jadi ... aku sedikit kesulitan jika tidak meminum kopi sebelum beraktivitas," terangnya tampak sedikit malu-malu. Terasa dari suara yang terdengar lebih kecil dibanding sebelumnya.

Aku tersenyum lega mendengar itu. Setidaknya ia tidak berniat buruk, bahkan sekedar kopi gratis. Tapi karena kejujuran dan ketulusannya ini, tentu aku harus memberinya hadiah kecil.

"Kabari aku saja, kopinya harus siap jam berapa." Kugeser sedikit tubuhku, mengisyaratkan untuk masuk saja ke cafe, jangan sungkan.

Pria itu pun mengangguk dan berjalan mendahului.

"Mohon bantuannya, Tuan," ucapku yang berjalan di belakang.

Langkahnya berhenti mendadak. Mengejutkanku yang berjalan di belakang.

Untung saja aku tidak sampai menabrak laki-laki ini.

"Kamu bisa memanggilku Shin. Tolong jangan panggil aku dengan sebutan Tuan."

Kumiringkan kepala untuk mengintip ekspresi wajah laki-laki di depanku. "Loh, kenapa? Bukankah itu terdengar sopan?"

"Hanya saja ... sedikit memalukan."

Celaka. Bagaimana ini?

Bagaimana bisa, pria bertubuh tinggi bak atlet ini menunjukkan ekspresi seperti itu? Kenapa pria yang mengeluarkan aura semenyeramkan ini, bisa terlihat begitu menggemaskan?

Tuhan, apa aku sudah mulai terlalu banyak bekerja?

Kurasa otakku sudah mulai kacau.

***

COOKIES & HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang