Bab 14 - Pertemuan yang Tidak Terduga

590 20 2
                                    

Pesta semalam bagaikan ilusi menyenangkan yang sempat hadir dalam kehidupanku yang mulai terasa hampa.

Biasanya saat Kaiden dan Julian bekerja, aku mencoba menyibukkan diri dengan apa pun. Mulai dari membaca buku, mencoba masakan baru, atau mulai menyusun novel yang sempat lama kutinggalkan, sampai menonton beberapa pertandingan terbaru Shintarou yang entah mengapa, terlihat semakin brutal.

"Akhir-akhir ini permainannya terkesan buru-buru dan brutal," pikirku saat menonton pertandingan terbaru Shintarou semalam melalui ponsel pemberian Julian.

Pria favoritku ini memang selalu lincah dan tegas dalam memberi serangan. Namun kali ini, serangan Shintarou tampak tidak memiliki irama pasti. Lebih terkesan buru-buru, seolah ia sedang meluapkan seluruh amarah pada lawan.

Melihat lawan Shintarou yang kalah telak, sampai tak sadarkan diri dengan wajah berlumuran darah, aku sampai beegidik ngeri dan bertanya-tanya.

Siapa yang berhasil membuat Shintarou seemosional ini dalam pertandingan? Apakah sebelum pertandingan ada hal yang mengganggu pikirannya?

Semua pertanyaan tentang Shintarou yang mulai terlihat semakin bringas ini menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku.

Tubuhku terperanjat begitu mendengar suara bel rumah yang ditekan secara tidak sabaran.

"Iya, sebentar!" seruku sambil sedikit menggerutu. Siapa sih yang memencet bel rumah sekasar itu di siang yang terik ini?

Tadinya ingin kuluapkan emosiku pada si pemencet bel ini. Namun, begitu kubuka pintu gerbang, sosok yang sangat familiar di mataku terlihat telah berdiri di depan gerbang rumah Julian, membuat tubuhku kaku terdiam seketika.

Mataku bergetar menatap sosok tinggi yang memiliki beberapa luka gores di wajah.

Kenapa ... dia bisa ada di sini? Pikirku yang masih tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat.

Tubuh gempalku langsung terhuyung ke depan. Menabrak dada bidang nan kokoh pria tampan di hadapanku.

"Ke mana saja selama ini? Aku sangat merindukanmu, Fia ...." Di tengah pelukan yang cukup erat ini, terdengar suara baritonnya sedikit bergetar.

"Shin, kenapa kamu bisa sampai di sini?"

Kutepuk-tepuk punggung Shintarou, berusaha memberi isyarat untuk melepas pelukan ini sejenak. Namun bukannya terlepas atau semakin melonggar, Shintarou malah makin menguatkan pelukannya.

Leherku terasa sedikit tergelitik saat pria itu membenamkan wajahnya di lekukan leherku.

Aku cukup terkejut saat Shintarou menghirup napas dalam-dalam ketika ia masih membenamkan wajah wajahnya masih di sana.

Ia seperti sedang mengumpulkan kepikan ketenangan yang sempat hilang. Terlihat dari napasnya yang semula tampak memburu, kini sudah semakin stabil.

"Shin, kamu membuatku kesulitan bernapas," keluhku yang masih berusaha sedikit melonggarkan pelukan Shintarou.

"Dan kamu berhasil membunuhku," ucapnya begitu melepaskan pelukan, dan mata kami saling bertukar pandang.

"Bukan seperti itu, Shin ...."

"Lalu apa?" Sorot matanya tajam, penuh amarah yang sejak tadi tertahan di dalam saja.

"Saat kukira hubungan kita akan berjalan ke arah yang lebih serius, kamu malah pergi dengan laki-laki lain. Apa menurutmu perasaanku sedangkal itu padamu, Fia?" Matanya bergetar. Amarah yang semula terlihat meledak-ledak dalam sana, kini mulai tergantikan oleh sorot kata penuh kerinduan.

"Maaf Shin, semua berada di luar kendaliku."

Aku memang menyesalkan hal ini, tapi mau bagaimana lagi. Julian bukanlah sosok yang bisa kulawan. Baik dulu, maupun sekarang. Entah kenapa aku tidak bisa menentang perintah atau keinginannya. Mungkin itu karena masa laluku dengan Julian yang cukup membekas sampai saat ini.

Bagiku, Julian adalah sahabat sekaligus sosok pria paling menyeramkan yang sebisa mungkin kuhindari untuk berkonflik dengannya.

"Sahabatku hanya terlalu posesif karena sebelum kepergian Ibu, aku dititipkan pada mereka, terutama Julian." Aku berusaha menjelaskan semampuku. Namun, Shintarou malah meraih pergelangan tanganku.

"Kamu bukan anak kecil, Fia. Sudah bukan waktunya lagi mereka mengontrol kehidupanmu. Kamu bebas memilih jalan hidupmu," tegas Shintarou.

Tidak ada yang salah dengan perkataannya. Hanya saja aku suah terlalu terbiasa hidup bersama mereka.

"Ayo pulang. Bukan di sini tempatmu." Shintarou menarikk pergelangan tanganku.

Celaka. Jika Shintarou benar-benar membawaku pulang saat Julian dan Kaiden tidak ada di rumah, itu akan menjadi bencana besar.

Mereka sangat membenci Shintarou sejak mengetahui insiden aku tidur dengan lelaki ini. Mereka menganggap Shintarou telah menghancurkan usaha mereka dalam melindungiku dari segala hal buruk di dunia.

Kucoba untuk menenangan sosok laki-laki bertubuh kekar ini. Setelah beberapa kali percobaan, bujuk rayu, akhirnya ia mau mendengarkanku untuk membicarakan lebih banyak hal di cafe, dan tidak lagi memaksaku pergi dari sini.

Jika aku benar-benar ingin pergi, aku harus membicarakan hal ini baik-baik pada keduanya agar tidak berujung pada bencana lebih besar.

Shintarou dengan kemampuan petarung MMA yang ia miliki, jelas secara mental ia tidak akan takut berhadapan dengan Julian. Namun aku yang sudah lebih lama mengenal Julian pun tahu, segila apa laki-laki itu dalam menggenggam hal yang ia sudah anggap telah berada dalam pengawasannya.

"Aku ambil tas dulu. Kamu tunggu di sini," ucapku lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Saat memastikan pintu telah tertutup, aku langsung menghubungi Julian. Berhubung laki-laki itu sudah mengizinkanku untuk ke luar dengan syarat memberinya kabar terlebih dahulu, aku akan menggunakan alasan 'mencari inspirasi ide novel baru di cafe.'

Untunglah takdir berpihak padaku. Julian terdengar seperti sedang berada di tengah-tengah rapat penting. Ia bahkan langsung mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut, cafe mana yang aku tuju.

Setelah mengambil tas dan perlengkapan menulis, aku langsung berlari kecil menuju Shintarou.

"Pelan-pelan, nati kamu jatuh," ucapnya sambil membukakan pintu di sebelah pengemudi.

Aku hanya tersenyum lebar, sebelum akhirnya duduk manis di kursi penumpang.

Shintarou tampak lama memandangiku, membuatku sedikit kebingungan. "Ada apa? Apa ada yang salah dengan pakaianku?"

Pria itu menggeleng. Kini senyum manis yang telah lama kurindukan telah merekah dengan indahnya di wajah Shintarou. "Aku tidak menyangka kalau aku akan merindukan suara dan senyummu seberat ini."

Ucapan penuh rayuan yang terdengar tulus itu spontan membuatku mengalihkan pandangan. Kupikir saat ini wajahku sudah benar-benar memerah akibat perkataan Shintarou barusan.

"Kawaii ne."

Kepalaku langsung menoleh begitu mendengar sesuatu yang diucapkan Shintarou, namun tidak kumengerti. "Apa Shin?"

Masih memasang wajah tersenyum dengan sorot mata yang lembut, ia tampak menggelengkan kepala, "Tidak
.. tidak apa."

Tanpa memberiku kesepatan untuk bertanya lagi, Shintarou langsung menutup pintu dan beralih ke kursi mengemudi.

Selama perjalanan menuju cafe, entah mengapa hanya suara musik saja yang menemani kami. Walau begitu, satu tangan Shintarou tampak setia menggenggam erat tanganku tiap kali ada kesempatan.

Perjalanan yang cukup hening, namun sangat mendebarkan.

***

COOKIES & HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang