Bab 9 - Menjadi Partner Seksmu?

1.6K 32 0
                                    

Tubuhku meringkuk kesakitan. Terutama di area bawah yang masih berdenyut, nyeri, dan sedikit perih.

Sebuah belaian lembut di area kepala berhasil membuat mataku terbuka.

“Morning.” Suara serak bariton yang disertai senyum sehangat mentari, berhasil membuatku tersipu.

Kenangan kejadian semalam langsung membanjiri ingatan.

Ingin rasanya aku masuk bersembunyi di lubang tikus. Atau sekalian saja tenggelam dalam samudra.

Rasa malu yang bertumpuk ini, membuatku kesulitan bertukar pandang dengan Shintarou yang masih setengah telanjang.

Otot perut dan lengannya yang terbentuk sempurna. Hasil kerja keras sebagai petarung MMA sangatlah berbeda dengan mereka yang hanya hobi pergi ke gym untuk membentuk tubuh.

Ah, tahu lah!

Kutarik selimut hingga menutupi kepala.

“Kamu tidak akan beralasan kalau semalam hanyalah sebuah kesalahan, kan?”

Kurasakan beban tubuh Shintarou yang sepertinya telah memelukku erat di balik selimut.

“Tapi semalam kamu kan mabuk,” elakku. “Jadi sebaiknya kita—”

“Menjadi sepasang kekasih,” timpal Shintarou sebelum aku berhasil menyelesaikan ucapanku.

Pernyataan mengejutkan itu spontan membuatku menyibakkan selimut. “Apa!?”

Kening Shin mengerut. Matanya tampak bergetar, memandangku penuh ketidak percayaan. “Jadi kamu akan meninggalkanku begitu saja, setelah berhasil tidur denganku?”

Aku lebih terkejut lagi mendengar perkataan Shintarou. “Hah?”

“Pantas saja, dua pria itu tampak sangat dekat denganmu.” Shintarou semakin mengeratkan pelukannya. “Ternyata kamu tidak hanya menggoda satu pria saja.”

“Tunggu.” Aku berusaha keluar dari pelukan Shin, tapi pada akhirnya sia-sia melawan kekuatan petarung MMA yang tengah memelukmu erat. “Apa maksudmu dengan aku menggoda banyak pria?”

“Laki-laki cantik yang tampak akrab denganmu? Bukankah kalian tampak terlalu intim, jika hanya dibilang teman? Lalu, pria yang mengantarmu dengan mobil mahal itu? Bukankah mereka adalah pria yang kamu goda?” tuduh Shintarou yang anehnya malah kini menyandarkan kepalanya di bahuku.

Pria cantik? Mobil mahal? Apa yang ia maksud itu Kaiden dan Julian?

“Mereka teman dekatku.”

“Tapi teman tidak saling mencium dan memandang seintens itu, Fia.”

Bagaimana cara menjelaskan sifat overprotektif mereka pada Shintarou yang tidak mengenal Kaiden atau pun Julian dengan baik. “Mereka hanya terlalu khawatir padaku yang tinggal sendirian di sini,” terangku. “Dibandingkan hubungan aneh yang kamu tuduhkan itu, aku lebih merasa seperti anak perempuan mereka.”

“Anak perempuan?” Bisa kurasakan suara Shintarou yang kebingungan mendengar jawabanku.

Memang terdengar sangat tidak masuk akal untuk orang seusia kami. Namun nyatanya memang begitulah yang terjadi antara aku dan mereka.

“Kaiden dan Julian itu gay. Mereka pacaran. Tidak mungkin aku bisa memacari salah satu sahabat yang sudah kukenal sejak lama.”

Shin mulai melepaskan pelukan. Matanya memandang penuh selidik. “Benar begitu?”

“Kamu mau kutunjukkan akun instagram private mereka?”

Akun instagram khusus yang dibuat Kaiden untuk memposting momen kemesraan mereka. Di mana followersnya hanya aku dan Olla.

Mungkin hanya akun itu yang bisa benar-benar membuktikan ucapanku tanpa harus melanjutkan perdebatan lebih panjang.

“Tapi kenapa mereka selalu begitu padamu?”

Aku menggeleng. Hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu. “Ntahlah. Kaiden dari dulu sudah seperti itu. Sementara Julian hanya mengikuti permintaan kekasihnya agar kami tidak canggung.”

Walau sudah dijelaskan bagaimanapun, Shintarou masih memandangiku seperti itu.

“Oh, ayolah Shin ... akh!” Aku menjerit kesakitan saat berusaha duduk.

Kemaluanku langsung berdenyut perih saat bergerak.

Dengan sigap, Shintarou langsung menghampiri dan memelukku. “Maaf, semalam aku pasti berlebihan.”

Kupukul sekencang mungkin tubuh laki-laki itu.

Sial. Aku tidak tahu akan seperih ini. Rasanya seperti tubuhku dirobek dari bawah.

“Kamu bebas meluapkan kekesalanmu. Karena aku tidak bisa berjanji kalau aku tidak akan melakukannya lagi padamu. Aw!”

Bukannya menenangkan, ia malah mengucapkan hal yang cukup mengesalkan. Kugigit saja sekalian lengannya.

“Tapi aku serius, Fia. Aku tidak ingin ini hanya berakhir satu malam saja.” Dikecupnya pipiku.

“Maksudmu, kamu ingin aku menjadi partner seksmu?”

Shin menghela napas panjang. “Dari mana kamu mendapat ide gila seperti itu?” Ia melepaskan pelukan dan memandang tepat ke arah mataku.

“Bukankah semua seperti itu?”

“Kita tidak dalam usia untuk hubungan seperti itu,” tegas Shintarou. “Setidaknya jika kamu belum siap menikah denganku, kita harus berpacaran.”

“A-apa kamu bilang? Me-menikah!?”

“Kita tidak menggunakan pengaman semalam. Bagaimana kalau kamu tiba-tiba saja hamil?”

Maksudnya, kamu tidak ingin karirmu hancur karena menghamili seorang wanita di luar nikah?

“Tidak. Aku tidak akan hamil.” Susah payah aku berusaha bangkit dari kasur sambil membawa selimut yang dililitkan pada tubuh telanjangku. “Kalau hamil pun, aku tidak akan repot-repot meminta pertanggung jawabanmu.”

Shintarou meraih pergelangan tanganku. Mencengkram, lebih tepatnya. “Tidak. Kamu harus meminta pertanggung jawaban. Bagaimanapun, itu juga anakku.”

Aku berusaha lepas dari genggaman Shintarou, tapi malah berakhir dalam dekapan laki-laki itu hanya dalam sekali tarikan.

“Aku tidak akan hamil, Shin. Siklus menstruasiku buruk. Mungkin aku menderita PCOS.”

Shintarou langsung menggendongku.

Gila! Bagaimana bisa, aku yang beratnya 100kg ini ia bopong semudah itu. Seakan aku seperti wanita bertubuh ramping lainnya. “Shin! Turunkan aku! Turunkan! Nanti jatuh!”

“Mau hamil, atau penyakit apa pun. Kita harus ke dokter kandungan sekarang.”

Tanpa mau mendengar protesku, Shintarou langsung mengantarkanku ke kamar mandi. Saat mandi, ia juga yang menyiapkan semua pakaian ganti untukku dan dengan tegas untuk jangan membuka cafe hari ini, karena ia akan kembali membawa kendaraan untuk mengantarkanku ke dokter kandungan.

***

COOKIES & HIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang