10. Alone

66 4 0
                                    

Wushhhh....

Zyan tersenyum lega kala melihat anak panahnya tertancap di salah satu pohon yang menjadi sasarannya. Akhirnya setelah beberapa kali percobaan yang gagal, Zyan berhasil menancapkan anak panah miliknya. Ia sendiri heran dengan kemampuan memanahnya hari ini. Tidak biasanya anak panah miliknya sulit untuk mengenai sasaran. Mungkinkah itu semua karena dirinya yang semakin payah atau karena pikirannya yang saat ini sedang kacau.

Kemudian Zyan kembali melesatkan anak panah miliknya. Kali ini anak panah itu gagal mengenai sasaran. Zyan menggeram frustasi. Tangannya langsung melepaskan busur panah miliknya dan membiarkan busur panah itu tergeletak di tanah begitu saja. Ia lalu membalikkan badannya. Matanya memandang deretan pohon-pohon hutan yang menjulang tinggi. Tempat yang tak jauh dari balik deretan pohon-pohon itulah penyebab kacaunya pikiran Zyan hari ini. Tempat dimana semua siswa tingkat satu Zeostone Academy melakukan latihan untuk mengendalikan kekuatan mereka. Ya, semuanya kecuali dirinya.

Bohong kalau Zyan merasa senang karena mendapat kesempatan untuk membolos. Nyatanya ia sangat ingin mengikuti latihan itu. Tapi ia sadar bahwa tidak ada yang bisa dilatih jika ia mengikutinya. Bahkan Raja Dalbert melarangnya keras untuk mengikuti latihan itu dan memintanya untuk izin dengan alasan sakit. Hah. Mengingat hal itu seketika membuat Zyan tersenyum miris. Ayahnya itu benar-benar tidak ingin semua orang tahu tentang kelemahannya.

Sejenak Zyan menimang-nimang. Haruskah ia pergi ke tempat itu? Ia sangat ingin melihat kedua temannya saat menunjukkan kekuatan mereka. Shion dengan kekuatan apinya dan Tristan dengan kekuatan teleportasinya. Kemudian Zyan mulai mengambil busur panah yang ia jatuhkan tadi. Mungkin tidak ada salahnya ia pergi untuk melihat sebentar. Namun baru saja ia menunduk untuk mengambil busur panah miliknya, sebuah suara datang dan mengambil alih atensinya.

"Seumur hidup belum pernah aku melihat orang seberani dirimu,"

Zyan menatap jengah pada sumber suara itu. Dalam hati ia menggerutu. Masalah apa lagi yang akan terjadi setelah ini. Sungguh sebuah kesialan ia bertemu dengan Marsen di tempat ini.

"Cukup berani untuk ukuran pecundang sepertimu datang ke tempat ini," tutur Marsen yang diiringi dengan tepuk tangannya.

Oke. Zyan akui Marsen memang juaranya dalam urusan menyulut emosi. "Apa maumu?" tanya Zyan ketus. Saat ini dirinya benar-benar lelah untuk sekedar bersabar menanggapi Marsen. Sudah cukup kesabarannya diuji dengan insiden anak panahnya yang beberapa kali meleset tadi.

"Tidak tidak. Pertanyaan itu harusnya aku yang mengajukan. Apa maumu datang kemari? Untuk ikut latihan?" tutur Marsen yang langsung tertawa keras. "kau mau melatih apa? sedang kekuatan saja kau tidak punya," sambung Marsen yang membuat Zyan sontak membulatkan matanya.

Tidak mungkin.

Bagimana bisa Marsen tahu jika Zyan tidak memiliki kekuatan. Sejauh ini Zyan merasa tidak pernah memberitahukan fakta itu pada siapapun. Tidak mungkin Marsen memiliki kekuatan membaca pikiran sama seperti Ren, sedangkan Zyan tahu pasti jika kekuatan Marsen adalah es.

"Kenapa? Heran aku bisa tau semuanya?" ucap Marsen yang kemudian berjalan mendekati Zyan.

"Tidak perlu sibuk memikirkan darimana aku bisa tahu semua itu," ucap Marsen yang kali ini ia ucapkan tepat di wajah Zyan. "lebih baik kau pikirkan bagaimana pendapat orang-orang di sana setelah tahu kebenaran tentangmu itu," sambung Marsen lalu mulai mengalihkan tatapan matanya ke arah lain. Saat itulah Zyan sadar bahwa tidak hanya ada mereka berdua di sana.

Kemudian Zyan mengikuti arah tatapan Marsen. Terlihat beberapa siswa Zeostone Academy yang kini telah berdiri di tempat yang tak jauh darinya. Mereka semua kompak menatap ke arah dirinya dan Marsen.

All About MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang