Ternyata sampai pukul Sembilan malam, Pramuda belum pulang juga. Verra sudah gelisah karena tak sabar lagi. Ia menghubungi Pram melalui Handphone, tapi agaknya saat itu Pram sengaja mematikan Handphone-nya sehingga tak bisa di hubungi oleh siapa pun.
"Kalau begitu Pram sedang asyik dengan gadis itu. Buktinya ia mematikan Handphone nya, berarti ia tak mau diganggu oleh siapapun!" pikir Verra, karena ia sering melihat Pram melakukan hal itu.
Jika Pram sedang berdua di dalam kamar dan menikmati cumbuan Verra, Pram selalu tak lupa mematikan Handphone-nya supaya tak ada yang menghubunginya melalui handphone tersebut.
Pram pernah berkata kepada Verra, bahwa ia paling jengkel apabila kemesraan yang sedang dinikmati terputus oleh suara Handphone. Maka, malam itupun Verra menduga bahwa Pram sedang berada di dalam sebuah kamar hotel dan sedang menikmati hangatnya cumbuan Kumala Dewi.
Verra tak yakin dengan apa yang di katakan Mak Supi. Menurutnya, Kumala bukan saudarinya Pramuda. Pasti teman kencannya yang baru. Karenanya, Verra pun segera pulang dan merasa sia-sia jika harus menunggu Pram pulang. Ia Yakin, Pram tak akan pulang. Pasti bermalam di suatu Villa atau Hotel.
"Brengsek!!! Kalau tau begini mendingan aku pulang dari tadi!! Ngapain menunggu orang yang lagi kencan!! Puih!!" geram hati Verra seraya meninggalkan rumah Pram dengan mengemudikan mobilnya sendiri.
Saat ia pulang kepada Mak Supi, ia sempat berkata. "Pram dan Kumala pasti sedang kencan!! Jadi untuk apa aku menunggu mereka??!! Buang-buang waktu saja!! Aku yakin kau membohongiku, Mak!! Kumala bukan saudari misannya Pram. Mereka sekarang sedang bercumbu dan saling menikmati kemesraan di suatu tempat!!"
Karena itulah, ketika Verra telah meluncur dengan mobilnya, Mak Supi masih tertegun di depan pintu dan hatinya bertanya-tanya.
"Benarkah mereka sedang bercumbu dengan mesra?"
****
Rembulan mengintip separuh bagian di balik awan. Cahaya pucat menyiram permukaan bumi. Termasuk menerangi pantai dalam keremangan yang romantis.
Dipantai itulah, Pramuda membawa Kumala Dewi sepulangnya dari membeli beberapa potong pakaian untuk si cantik yang memiliki senyum bidadari itu.
"Terang Bulan?" gumam Kumala bernada aneh.
Seraut wajah cantik itu menyembunyikan ketegangan tak jelas, sehingga sepasang mata Pramuda tak bisa memandang jelas adanya ketegangan tipis itu. Hanya dari nada suara si gadis saja, Pram mengetahui ada sesuatu yang menggelisahkan.
"Kenapa gelisah, Mala? Apakah kau tak suka ku bawa ke pantai dan menikmati keindahan malam seperti ini?!" tegur Pram. Keduanya masih sama-sama di dalam mobil.
"Aku senang," jawab Kumala pelan, tapi terdengar datar. Tidak seperti saat di Plaza.
"Kita turun, yuk? Duduk di bangku sebelah sana," ajak Pramuda, tapi Kumala menolak dengan gelengan kepala.
"Aku lebih suka duduk di dalam mobil saja. Angin malam terkadang lebih jahat dari seorang perampok."
Pram tak mau memaksa. Ia segera membuka kaca dan menyalakan rokok. Tiba-tiba gadis itu berkata,
"Boleh aku merokok juga?"
Pram merasa heran dan menatapnya dengan senyum tipis.
"Dari kemarin kulihat kau tak pernah merokok. Mengapa sekarang kau ingin merokok?"
"Karena tadi di pusat perbelanjaan kulihat ada perempuan yang merokok."
"Apa sebelumnya kau tidak pernah melihat perempuan merokok?"
Kumala Dewi menggeleng. "Aku ingin mencobanya."
Sebatang rokok di tonjolkan dari bungkusnya. Pramuda menyodorkannya dan Kumala segera mengambilnya. Pram menyodorkan korek apinya yang sudah menyala. Kumala menyulut rokok tersebut. Asap pun mengepul dari bibir ranum yang bersih dari nikotin. Pram merasa heran dalam hatinya.
"Menurutku dia bukan gadis perokok seperti Verra. Tapi mengapa dia tak tersedak atau terbatuk-batuk saat menghisap rokok tersebut? Ia seperti gadis yang sudah biasa merokok. Aneh, mengapa ia tiba-tiba menjadi gadis perokok begitu? Oh, mungkin hanya sekedar rasa kepingin saja."
Pramuda menghentikan kecamuk hatinya, karena saat itu Kumala Dewi menatapnya dengan senyum mengembang kecil di sudut bibirnya. Senyum itu adalah senyum bidadari yang sangat di kagumi Pramuda.
"Kau tak suka melihat aku merokok?"
"Suka." Jawab Pramuda bernada sabar.
"Tapi apakah kepalamu tak menjadi pusing?"
"Tidak, kenapa kau bertanya begitu?"
"Karena sejak tadi di Plaza ku lihat kau sering memegangi kepalamu. Kau sering memijat pelipis kananmu dengan kedua telunjuk. Kau pasti sakit kepala, bukan?"
Kumala menggeleng dengan senyum kian mekar, kian cantik pula raut wajah berkulit putih tersebut.
"Begini maksudmu?" Kumala Dewi meletakkan kedua jari di pelipis kanannya.
"Ya, begitu. Kau sering lakukan hal itu sejak kita keluar dari rumah."
"Ini bukan berarti aku sakit kepala."
"Lalu...??"
"Aku menyerap kepandaian orang."
Dahi pemuda tampan tanpa kumis itu berkerut menandakan tak jelas maksud Kumala. Tapi ia sempat terbayang saat pertamakali bertemu dengan Kumala. Hujan mengguyur tubuh gadis yang berdiri di seberang pintu mobilnya. Ketika Pram menurunkan kaca pintu, Kumala juga memegangi pelipisnya dengan kedua jari dan menatapnya tak berkedip. Apakah saat itu Kumala juga merasa sakit kepala?
Perbuatan itu juga dilihat Pram ketika Kumala bertemu dengan Mak Supi. Tapi Pramuda tak terlalu menghiraukannya. Kesimpulan yang ada di hati Pramuda adalah bahwa Kumala sedang sakit kepala. Karenanya pada waktu itu, Pram menyuruh Mak Supi mencari obat flu agar di berikan kepada Kumala.
"Aku tak akan mengerti tentang duniamu jika aku tidak menyerap ilmu kalian. Dengan menyerap ilmu seseorang, maka aku dapat mengerti kepandaian yang dimiliki oleh orang tersebut." Kata Kumala Dewi, kemudian menghisap rokoknya kembali.
"Jadi kau juga mengerti apa yang ku bisa?"
"Tentu saja," jawab Kumala tanpa ragu-ragu.
"Aku mengerti tentang pekerjaanmu sebagai seorang sarjana teknik. Aku mengerti tentang elektronik, karena itu memang bisnismu. Aku mengerti seleramu dalam menikmati sarapan pagi, karena aku menyerap pengetahuan yang ada dalam otak Mak Supi."
"Benarkah begitu?" pramuda setengah tidak percaya.
"Sekarang pengetahuanku sudah banyak. Termasuk pengetahuan berbahasa Inggris dan Belanda, karena tadi saat keluar dari butik aku menyerap pengetahuan dari dua orang bule yang berpapasan dengan kita."
"Hmm... ya, aku ingat! Ketika kita keluar ada dua orang bule; pria dan wanita."
"Yang pria orang Inggris, yang wanita orang belanda. Sekarang aku bisa berbahasa mereka."
"Sebelumnya...??"
"Sebelumnya aku hanya mengenal bahasamu; bahasa Indonesia dan dialektikal Jakarta."
"Tapi aku bukan orang Jakarta asli."
"Aku tahu kalau kau adalah orang Jawa dari daerah Magelang. Aku juga bisa berbicara dengan bahasa Jawa karena pengetahuan bahasa Jawa yang kau miliki sudah ku serap dalam otakku."
Pramuda tersenyum lebar sambil menarik nafas sebagai tanda kagum. Tetapi dia masih belum percaya penuh dengan pengakuan itu. Diam-diam ia ingin menguji kebenaran kemampuan Kumala dalam menyerap kemampuan orang.
"Apa kau tahu apa yang di maksud dengan Tryxomedie sebab aku punya pengetahuan tentang tryxomedie dan aku ingat betul apa itu??!!"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Roh Pemburu Cinta✓
ParanormalSilakan follow saya terlebih dahulu. Serial Dewi Ular Tara Zagita 1 Ketika langit terbuka bagaikan terbelah, sinar hijau itu memancar ke bumi dalam cuaca amat buruk; hujan lebat dan angin badai seakan ingin menggulingkan permukaan bumi. Gadis canti...