09. Can I Get Your Permissions?

111 25 8
                                    

Malam ini langit tampak cerah. Bulan dan Bintang bersinar bersama di atas sana. Sama halnya dengan duo sejoli yang tengah menikmati sebuah perasaan bahagia yang mengembara. Bintang terus memegang gas motornya membelah jalanan kota yang cukup padat. Senyum pemuda itu tidak luntur dari balik helm full face nya.

Tangan kiri Bintang beranjak dari tempatnya, mengelus sepasang tangan lain yang melingkar manis pada pinggangnya. Bulan sedikit tersentak ketika merasakan suhu hangat yang menyentuh kulitnya. Sedikit salah tingkah ketika menyadari itu adalah tangan Bintang yang sedang mengusap hangat punggung tangannya.

"Bulan," Bintang sedikit berseru mengingat lalu lintas jalan yang lumayan padat malam itu.

Mendengar itu, Bulan sedikit maju merapatkan tubuhnya dengan tubuh Bintang dengan tujuan agar dapat mendengar pemuda itu hendak bicara apa. Gerakan refleks Bulan membuat Bintang tergagap, pasalnya posisinya seperti tengah di dekap oleh sang gadis dari arah belakang.

"I-itu, tadi aku mau ajak kamu ke bukit bintang, tapi kayaknya kamu kedinginan. Kamu mau pulang atau beli makan?" Bintang meruntuk dalam diam, bicaranya benar-benar belepotan.

Bulan geming untuk beberapa saat. Memang benar, udara malam ini seakan menusuk kulitnya. Terlebih lagi Bulan hanya mengenakan kardigan tipis. Gadis kembali berpikir, ini adalah kali pertama ia duduk di jok belakang Bintang. Mimpi yang ia idam-idamkan dari kelas satu SMP. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi di kemudian hari.

"Enggak dingin. Ayo ke bukit aja, kebetulan aku belum pernah ke sana."

Mendengar jawaban gadis itu, Bintang sedikit menyeringai. Mungkin Bulan lupa kepada siapa ia sedang melabuhkan kebohongan. Ia mungkin lupa jika Bintang adalah mahasiswa kedokteran yang kini masuk semester 5. Namun Bintang tetap menurut membawa motornya melaju ke tempat yang semula ia janjikan.

Penyinaran temaram di dekat bukit membuat kedua insan itu mau tak mau harus menajamkan penglihatannya. Bintang merengkuh tangan Bulan untuk ia genggam. Gadis itu sedikit tersentak, ia tidak bisa lagi menyembunyikan senyumannya ketika ibu jari pemuda itu mengelus lembut punggung tangannya yang sedikit dingin.

"Sorry for holding your hand, gelap banget takut nanti kamu jatuh," ujar pemuda itu.

"It's ok," jawab Bulan. "Aku suka kok." lanjutnya dengan suara yang sangat lirih hampir tak terdengar karena tumpang tindih dengan suara mesin kendaraan yang tengah berlalu.

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya mereka sampai di puncak yang orang-orang sering menyebutnya sebagai puncak gemintang. Dari atas mereka bisa melihat kerlipan lampu-lampu kota juga padatnya arus lalulintas malam ini. Tempat itu tidak terlalu ramai, hanya ada enam pasang kekasih yang sedang menghabiskan akhir pekannya bersama pasangan masing-masing.

Mereka duduk di hamparan rumput yang cukup luas, Bulan dan Bintang memilih duduk di tempat yang agak memisah dengan pasangan-pasangan lainnya. Keheningan lantas menerpa keduanya, hanya ada suara hembusan angin yang menyugar surai kedua insan itu dengan bebasnya.

"Suka gak?" tanya Bintang sembari menoleh kearah gadis yang tengah duduk di sampingnya.

Bulan masih terpaku dengan pemandangan di depannya. Bukit bintang adalah pilihan terbaik untuk sekedar mendinginkan otaknya yang sedang penat akhir-akhir ini. Gadis itu tersenyum lebar, "Suka, cantik banget." ujarnya.

Perasaan lega menyelimuti hatinya. Ia pikir Bulan tidak terlalu menyukai hal-hal seperti ini, tapi dugaannya salah, tidak seharusnya pemuda itu menarik kesimpulan tanpa melihat fakta terlebih dahulu. Angin cukup kencang malam itu, mengingat kebohongan yang dilontarkan sang gadis semenjak perjalanan tadi, Bintang memilih untuk melepas kemeja flanelnya dan memakaikannya pada tubuh Bulan.

Gadis itu sontak menatap Bintang bingung. "Anginnya kenceng." Dua patah kata yang tidak cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala gadis itu.

"Just use it. Dingin, baju kamu tipis."

Keheningan melanda keduanya. Bulan dan Bintang sibuk dengan isi kepala masing-masing. Gadis dengan kardigan putih itu tentu menyembunyikan seribu kebahagiaan yang siap meledak, mengingat Bintang sekarang duduk di sampingnya. Hanya berdua. Menikmati dinginnya malam dan sejuknya angin hari itu. Aroma jagung bakar menguar, menciptakan suasana syahdu pada hari kencan mereka.

Angin kencang meniup rambut Bulan menjadi sedikit berantakan. Namun gadis itu acuh, ia memilih untuk menikmati rengkuhan sejuk di atas puncak gemintang. Melihat itu Bintang tersenyum dalam diam. Tangan kanannya beringsut untuk merapihkan anak rambut yang sekiranya mengganggu pandangan gadis itu. Bulan menegang, bahkan sentuhan Bintang terasa hangat walaupun telapak tangannya dingin.

Mata mereka bertemu untuk beberapa menit. Dunia keduanya seakan berhenti berputar. Tangan Bintang masih tertahan dengan manis pada pelipis gadis itu. Sejenak mereka terdiam, menikmati bagaimana jantung mereka berpacu diluar kendali.

Tangan Bintang yang semula masih berusaha untuk merapihkan rambut sang gadis akhirnya turun untuk menangkup rahang Bulan. Susah payah gadis itu menelan salivanya karena kerongkongannya seakan terhimpit. Napasnya tertahan, dan matanya seolah enggan berkedip.

Keheningan diantara mereka berdua terpecah ketika Bintang membuka mulutnya terlebih dahulu.

"Bulan, can I get your permission?" ujar pemuda itu.

Dahi Bulan mengernyit bingung, "Buat?"

"I want to know you more. I want to keep you close. I want you to spend more time with me. I want you, Bulan."

Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Matanya tak sanggup berpaling dari netra gelap yang tengah ia tatap. Kerlipan pupil Bintang membuat waktu seakan berhenti berputar. Hatinya menghangat, tampaknya ribuan sel yang ada di tubuh gadis itu sedang berpesta merayakan kemenangan.

Laki-laki yang ia kira tidak akan pernah menjadi miliknya, ternyata menyimpan rasa yang sama.

Belum sempat gadis itu menjawab, ponsel yang ada pada saku celana Bintang bergetar. Pemuda itu kontan merogoh sakunya untuk mengeluarkan benda pipih itu. Nama Tara terpampang jelas pada layar ponselnya.

"I'll be right back." katanya dan langsung berlari menjauh meninggalkan Bulan sendirian.

Kepergian Bintang ia gunakan untuk meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Pipinya memanas, dan bibirnya seolah tersenyum di luar kendali. Bulan rasanya ingin berteriak dari atas bukit, menyerukan pada semesta jika Bintang juga menyukainya. Ia tidak jatuh cinta sendirian, dan fakta itu membuatnya senang.

Beberapa menit kemudian, Bintang kembali. Namun wajah panik dari pemuda itu membuat dahi Bulan berkerut bingung.

"Bulan, is it okay to go home right now?" ujar Bintang.

"Of course, tapi kenapa kak? Did something bad happen?" tanya Bulan.

"Ibuku masuk rumah sakit."

...

A.N :

Anyone miss Bulan dan Bintang? I'm so sorry. Writers block menghambat aku meneruskan ini buku. Chapter ini juga agak sedikit maksa dan pembangunan suasananya jelek banget T-T

But, i hope u enjoy ya. Jangan lupa votement! Good night ^^

Jejak Aksara || Sung Hanbin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang