BAB 2 - It's Not Sunday Morning

18 2 0
                                    

Alarmnya berbunyi pukul empat pagi. Kimmy mematikannya dengan hati dongkol. Matanya berat karena ia baru tidur jam satu pagi. Namun Kimmy memaksakan diri dengan cara berguling-guling di atas ranjang agar ia segera sadar dan pergi ke kamar mandi.

Menoleh ke kanan, jendelanya masih tertutup gorden putih dan tidak ada cahaya yang masuk. Artinya, matahari pun belum menampakkan sinarnya, tapi Kimmy sudah harus bersiap-siap untuk mengejar kereta pagi ini. Ke stasiun Pasar Senen yang akan sampai dengan tiga kali transit dari Stasiun Serpong.

Jika boleh, Kimmy ingin sekali mengajukan lembur untuk pekerjaan ini. Ia berharap arwah Katrina mendengarnya dan membisiki Jared agar pekerjaan ini termasuk pekerjaan lembur. Lagipula, apa pula yang dipikirkan Bosnya soal memandikan jasadnya? Tidak cukupkah Katrina memberi pekerjaan mengepel ruangan ya, membuatkan teh bahkan sampai mengantar nenek-nenek tujuh puluh tahun itu check up setiap bulan. Memangnya sebenarnya posisi Kimmy ini apa?

Mengembuskan napas, Kimmy mengumpulkan niat untuk bangkit, lalu berdiri, lalu berjalan ke arah kamar madi. Ia hanya mandi ular, tak sampai lima menit lantaran airnya dingin. Bersiap-siap, lalu berangkat ke stasiun menggunakan jasa taksi online dan turun tepat di pintu masuk Stasiun Serpong.

Ia melirik jam tangannya. Masih jam lima pagi. Dari Timur, Kimmy melihat cahaya oranye kecokelatan. Bahkan sampai stasiun, ia lebih cepat daripada matahari. Saat sedang meratapi pekerjaan yang tidak masuk akal ini, ponsel Kimmy berdering. Menampakkan sederet nomor yang belum ia simpan. Ia mengenali nomor itu sebagai milik Jared.

" Kimmy, kamu sudah jalan?" tanya suara yang sudah Kimmy kenal, tanpa bada-basi.

" Saya sudah di stasiun, Bos." jawab Kimmy sembari berjalan memasuki stasiun. Pagi-pagi begini, stasiun cukup becek karena berada dekat pasar. Membuat sepatu kates putihnya kotor.

" Oke. Lima menit lagi saya sampai di Stasiun Senen."

Kimmy baru saja ingin menjawab, sambungannya diputus secara sepihak oleh Jared. Wanita itu memandangi ponselnya seperti orang bodoh. Lalu melanjutkan perjalanannya masuk ke area stasiun.

Padahal Kimmy punya mobil, kenapa ia malah menurut saja saat Jered bilang naik kereta paling pagi? Seharusnya, jika Kimmy naik menyetir sendiri, ia tidak harus balapan bangun dengan Matahari, bukan? Kenapa Kimmy sebodoh ini, Tuhan...

**

Saya sudah sampai di depan gerbang Stasiun Senen.

Itu pesan dari Jared yang baru saja Kimmy baca. Menoleh ke kanan-kiri, Kimmy tidak melihat adanya tanda-tanda kereta akan tiba. Lalu, pandangannya ia alihkan pada papan elektronik yang menunjukkan jam tiba kereta menuju Stasiun Pasar Senen mengalami keterlambatan. Kemungkinan akan tiba lima menit lagi.

Perempuan itu mengeratkan sweaternya. Angin Stasiun terasa dingin menusuk. Entah karena masih terlalu pagi, atau karena Stasiunnya sepi. Dari tempatnya berdiri, Kimmy menghitung orang-orang yang berdiri satu peron dengannya. Tidak sampai dua puluh orang. Semuanya tampak lemas, beberapa lainnya malah kepergok menguap.

Kimmy membuang napas, lantas membalas pesan Jared. Rasanya ingin sekali memaki lelaki itu lewat pesan singkat.

Wah, cepat sampai juga ya. Tapi maaf, kereta dari Stasiun Serpong ke Tanah Abang terlambat lima menit.

Kirim.

Jared mengetik...

Keretanya atau kamu yang terlambat?

Lelaki itu cepat sekali mengetiknya. Cepat juga membuat Kimmy naik darah. Bangun pagi, seharusnya Kimmy bisa membuat otaknya jernih. Tapi Jared malah membuat hati dan jiwa Kimmy kotor.

Sabar Kimmy... Sabar...

Lalu, ia mengambil foto papan elektronik yang tadi ia lihat, dikirimkannya foto itu kepada Jared, tanpa menambahkan kalimat apapun.

Kimmy tidak bisa membiarkan dirinya emosi pagi-pagi begini. Ia mengatur napas, memejamkan mata sembari mengelus dada. Lalu, terdengar pengumuman jika kereta menuju Stasiun Tanah Abang akan segera tiba. Disusul suara klakson kereta dan suara berisik mesinnya.

Sebelum kereta itu sampai, Kimmy mengecek ponselnya lagi.

Kalau begitu, saya jemput kamu di Stasiun Jatinegara saja.

Kereta berhenti. Kimmy tidak langsung naik karena membiarkan orang-orang keluar lebih dulu. Lagipula, gerbongnya tidak ramai. Ia bahkan sempat membalas pesan Jared.

Bapak keberatan kalau jemput saya di Stasiun Tanah Abang? Untuk sampai ke Stasiun Jatinegara, saya harus transit dulu loh di Tanah Abang.

Terkirim.

Kimmy masuk ke gerbong campuran, karena terlalu malas berjalan menuju gerbong wanita yang ada di ujung kereta.

Baru saja duduk, ponselnya berdering. Di layarnya menampakkan sederet nomor yang membuat Kimmy memutar bola mata. Wanita itu menerima panggilan dari nomor tersebut, karena masih perlu bekerja.

" Jadi kamu mau saya jemput dimana?" tanya Jared tanpa basa-basi. Sepertinya anak mendiang bosnya memang tidak suka berbasa-basi. Sama seperti Bu Katrina.

Kalau dia bertanya begitu, kenapa tidak tanya saja dari semalam? Kan Kimmy bisa jawab, jemput di loby apartemen saja, Bos.

" Kimmy..." Jared memanggil nama Kimmy.

" Ya," jawab Kimmy.

" Ya sudah, saya ke Stasiun Tanah Abang sekarang."

Sambungan diputus secara sepihak. Kimmy memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan warna hitam yang ia bawa. Selain tidak suka berbasa-basi, Jared juga tipe orang yang tidak sabaran. Kimmy bersandar pada kereta sembari mengamati kebun-kebun yang tampak seperti dalam layar proyektor dan digeser kesamping dengan cepat. Ia masih tidak menyangka jika Katrina Moorati, orang yang paling banyak menghabiskan waktu dengannya telah tiada. Parahnya, Kimmy sejak pertama kali mendengar kabar itu hingga sekarang, tidak merasa berempati sama sekali.

Sebenarnya Kimmy agak sedih menyadari hal itu. Karena tidak punya empati rasanya tidak seperti manusia.

***

The Mooraty's SecretaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang