Pemakaman sudah selesai. Mobil-mobil yang mengiringi kepergian Katrina Moorati harus kembali pulang. ada sekitar sepuluh mobil, semuanya milik keluarga dan kerabat dekat Moorati.
Keluarga itu memang tertutup untuk publik. Orang-orang yang dapat masuk ke area rumah gedong empat lantai itu hanya keluarga dan kerabat dekat saja. Makanya, meskipun keluarganya punya nama di mata publik, tidak ada satu media pun yang mendatangi rumah itu untuk meliputi prosesi pemakan Katrina. Pun dengan orang-orang kantor yang tahu berita ini. Mereka tidak punya izin untuk datang kemari.
Makanya, saat mendengar kabar kalau Mamanya meminta Sekretaris bernama Kimmy itu untuk memandikan jasad, Jared terkejut bukan main. Ia berpikir jika kakaknya berbohong. Bisa saja Kimmy adalah teman dekat Jeane. Lalu, kakaknya butuh diberi semangat oleh temannya. Tetapi, saat tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Jeane dan Kimmy di teras tadi, Jared tidak yakin dengan asumsinya.
Jeane dan Kimmy jelas berbicara formal. Mereka tidak satu kantor, tapi beberapa kali bertemu. Dari sanalah mereka saling kenal. Itu memang masuk akal, mengingat Kimmy berkerja untuk Mamanya.
Tapi, kenapa Mama meminta Kimmy datang ke rumahnya? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya sejak kemarin. Ia bahkan sampai tidak bisa tidur saat menyadari jika dirinyalah yang akan menjemput Kimmy.
Dari spion, Jared melirik Kimmy yang duduk di kursi belakang, bersama Venus, anjing kesayangan Mamanya. Perempuan itu tampak menguap berkali-kali.
" Jared, lagunya boleh ganti yang Indonesia aja, nggak?"
Suara Jeane memecah keheningan antara mereka bertiga. Lagu Edith Piaf yang sejak tadi mengalun, harus absen sementara dari pendengaran Jared.
" Ganti aja."
Lelaki itu menjawab kakaknya hanya dengan dua kata. Lalu tidak bicara lagi, bahkan saat Jeane mengganti lagu Edith Piaf menjadi lagi Tipe-X yang bagi Jared sangat berisik.
" Loh, Kak Jeane, lagunya tua banget sih." Dari kursi belakang Kimmy berkomentar.
" Karena lagi kangen saja sama lagu-lagu zaman saya sekolah."
Jared mengamati Kimmy lagi lewat spion. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala, seolah menikmati lagi up beat yang sedang berputar. Sesekali ia juga mengelus bulu-bulu Venus yang berwarna putih gading, dan memeluknya.
" Kak, siapa band favorit kamu waktu sekolah?" Kimmy bertanya.
Dari cara Kimmy bertanya saja, Jared sudah bisa menyimpulkan jika gaya bicara mereka memang formal, tapi mereka cukup dekat.
" Wali kali ya, soalnya lagu-lagu mereka kan booming semua waktu itu. Kalau kamu, Kim? Harusnya sih generasi kita tidak beda jauh ya."
Kimmy tampak berpikir, lalu ia menunjuk kayanya, " Armada Kak."
" Kenapa Armada?"
" Karena mereka pekerja keras."
" Sok tahu kamu, Kim. Dari mana kamu tahu kalau mereka pekerja keras?"
Kimmy tertawa. Ia berusaha menahannya agar bisa percaya, " karena mereka punya lagu yang judulnya Pergi Pagi Pulang Pagi. Kakak nggak lihat tulisan di kausku?"
Jeane tidak sadar. Ia kemudian menengok ke belakang dan membaca tulisan di kaus hitam yang Kimmy kenakan. Lalu tertawa terbahak-bahak, " ya ampun. Kamu kok alay banget sih, Kim!"
Dari tempatnya duduk, Jared kaget mendengar Jeane tertawa sampai sebegitunya. Penasaran, ia melirik lagi Kimmy lewat spion. Pandangannya langsung tertuju pada tulisan di dada Kimmy.
Pergi Pagi Pulang Pagi.
Tetapi, bukan hanya tulisan itu yang Jared lihat. Lelaki itu seperti melihat sesuatu di balik kaus hitam yang dikenakan Kimmy. Begitu jelas dan membuatnya tidak bisa tidur semalaman.
Jared menggeleng, berusaha mengalihkan pikirannya saat tubuhnya berdesir-desir. Aliran darahnya mendadak tidak normal. Namun, Jared malah melirik Kimmy lagi. Matanya mengamati posisi yang sama.
" Jared, kalau kamu waktu sekolah suka lagu apa?"
Jared nyaris kehilangan kendali saat mendengar pertanyaan Jeane. Mobilnya sempat oleng. Lalu, Jared mendapatkan keseimbangannya lagi dalam waktu kurang dari dua menit.
" Jared! Astaga, hati-hati," pekik Jeane yang panik. Ia lupa jika bertanya mengenai lagu kesukaan kepada Jared tadi.
***
Ada dua hal yang Kimmy benci di dunia ini; Pertama hari Senin, lalu bekerja. Tapi kalau tidak bekerja, ia tidak bisa bayar cicilan apartemennya yang masih tersisa tiga belas tahun lagi.
" Mbak Kimmy? Ada perlu dengan Bu Jeane ya?" tanya si penjaga keamanan dengan name tag Edi Setiadi saat kaca mobil Kimmy diturunkan.
Kimmy tidak suka dipanggil Mbak, tapi ia tidak protes. Karena Pak Edi jauh lebih tua darinya. Bahkan bisa jadi Pak Edi seusia papanya yang sudah hampir enam puluh tahun.
" Iya, Pak Edi. Bu Jeane sudah datang?"
" Bu Jeane sudah datang dari jam setengah tujuh, Mbak. Silakan masuk."
Setengah tujuh? Gila. Rajin sekali bos barunya.
Kimmy menganggukkan kepala, tersenyum, lalu melajukan mobilnya menuju area parkir kantor yang berada di gedung belakang. Ia melewati bundaran yang terdapat air mancur, di tengahnya tertulis kata Moora yang akan menyala dalam keadaan gelap.
Perempuan itu bersenandung lirih. Perusahaan barunya tidak sebesar Mooraties yang punya pabrik dan kantor terpisah. Moora menyatu dengan pabrik. Jadi, Kimmy bisa melihat proses produksi Parfum dengan brand Moora kapan saja.
Setelah mendapatkan tempat parkir, Kimmy sempat bercermin sebentar menggunakan spionnya. Merapikan rambut sepunggungnya yang terurai. Lalu, keluar. Ia menepuk-nepuk kemeja krem polos yang kancing atasnya ia buka satu, celana kulot hitam, heels lima sentimeter krem dan tas tangan hitam.
Ia memandangi sekeliling ruangan sebelum benar-benar meninggalkan parkiran yang kendaraannya tidak sebanyak di Mooraties. Barangkali karena perusahaan ini masih tergolong baru, makanya karyawannya juga tidak terlalu banyak. Kimmy memutuskan masuk ke kantor barunya. Mengabaikan beberapa orang yang melirik, mencuri pandang, bahkan terang-terangan mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
" Kayaknya saya baru liat kamu. Kamu orang baru ya?" ucap seseorang yang tiba-tiba sudah berjalan sejajar dengan Kimmy.
Kimmy menoleh. Seorang perempuan dengan blouse biru muda dan rok span hitam selutut. Ia mengenakan flat shoes hitam, rambutnya ikal, berwarna blonde, terurai sepinggang. Dari wajahnya, dia tampak dewasa. Entah efek riasan atau memang sudah dia sudah dewasa.
" Iya, saya baru di sini," jawab Kimmy seadanya.
" Oh, posisi apa? Kok saya nggak tahu ya kalau di sini lagi butuh orang."
" Saya Sekretaris, Mbak."
Perempuan itu berhenti beberapa detik, mengamati Kimmy dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, kembali berjalan di sebelah Kimmy.
" Sekretaris siapa ya?" tanyanya penasaran.
" Kak Jeane."
Perempuan itu jelas terkejut. Ia lalu mengambil ponselnya di tas tangan dengan logo LV, menempelkan ponsel itu di telinga. Ia tak diam saja. Dari tempatnya, Kimmy dapat mendengar dering menunggu panggilan diangkat.
" Jeane, kamu ada ngerekrut Sekretaris baru?" perempuan itu bicara di telepon. " Oh, kirain. Aku ketemu dia di parkiran. Aku antar ke ruangan kamu aja ya?"
Kimmy tidak mendengar suara orang di telepon. Namun, Kimmy tahu perempuan di sebelahnya sedang membicarakannya.
" Siapa nama kamu?" tanya si perempuan dengan intonasi lebih bersahabat.
" Kimmy Mbak. Kimmy Anastasia."
" Jangan panggil saya Mbak ya. Panggil saja saya Adel."
Kimmy mengangguk, " Oke Adel. Salam kenal," ucap Kimmy berusaha mengakrabkan diri.
" Ayo saya antar kemu ke ruangan Jeane."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mooraty's Secretary
ChickLitMeskipun cerewet, banyak mau dan sering menceramahi Kimmy, kematian bosnya sangat mengejutkan. Entah harus sedih atau bahagia, yang jelas Kimmy tidak perlu lagi mengantar berobat, membuatkan teh dan mengepel ruangan bosnya setiap pagi. Memangnya Kim...