"Kata anak perempuan cinta pertanyaannya adalah seorang ayah, tapi berbeda denganku, ayahku malah menjadi luka pertama dalam hatiku"
By: Inaya Hilya Zea Nisa Farah“Cukup mas! Aku capek, kamu memang tidak akan pernah bisa berubah, kamu tidak pernah introveksi. Kalau kamu emang ingin bertahan dengan pelakor itu silahkan, tapi ceraikan aku dan kamu pergi dari rumah ini karena rumah ini milikku. Kamu tidak punya apa-apa tanpa aku mas, selama ini aku yang selalu banting tulang, sedangkan kamu hanya menikmatinya saja, dasar brengsek!!”
“Hentikan farah, aku baru pulang tapi kamu malah marah-marah tidak jelas,”
Aku menutup telingaku, agar pertengkaran ayah dan bunda tidak sampai digendang telingaku, sungguh aku sangat muak dengan pertengkaran itu. Aku yang satu bulan yang lalu boyong dari pesantren Nurul Jannah, karena sudah lulus dan aku berniat untuk melanjutkan pendidikan di mesir, bukan untuk kuliah tapi aku ingin lebih memperdalam ilmu agama dan melanjutkan hafalan al-quran yang kurang 7 jus. Namun, aku tak berani mengutarakan keinginan itu, karena pertengkaran ayah dan bunda yang tiada kata akhir,aku kira ayah dan bunda hidup rukun selama aku di pesantren, tapi nyatanya semua berbanding terbalik dengan yang kupikirkan.
Aku tidak tahu siapa yang berkata jujur, karena aku tak berani untuk ikut campur dalam pertengkaran itu, aku tumbuh menjadi gadis polos yang begitu penurut, aku tidak memiliki keberanian untuk membantah. hingga akhirnya, pernyataan ayah meruntuhkan pertahananku.
“Iya, aku memang sudah menikah lagi, dengan seorang perempuan yang jauh lebih baik darimu,” akui ayah
“Tidak ada pelakor itu baik mas, yang ada dia perempuan murahan!” tutur ibu dengan suara yang menggelegar
Cplas ... cplas ...
Dua tamparan itu, membuat langkahku menuju ke kamar orang tuaku, entah keberanian dari mana itu.
“Bunda!”teriakku dengan air mata yang berlinang disaat ayah menarik rambut bunda dengan dahi yang berlumur darah, yang pastinya telah ayah benturkan ke dinding.
“Masuk kamar Inaya, jangan ikut campur urusan orang tua,” bentak ayah padaku, dan itu bentakan pertama ayah padaku.
“Pergi nak, jangan ke sini,” Pinta bunda tapi aku menggeleng, hatiku begitu sesak melihat kejadian itu. Aku tarik tangan ayah yang memegang rambut bunda yang tanpa berperikemanusiaan, tapi tenagaku tidak sebanding dengan tenaga ayah, hingga aku terjatuh ke lantai dan ayah mulai membebaskan bunda, tapi aku mulai meringis, di saat ayah memukul punggungku dengan ikat pinggangnya.
Cplas ... cplas ...
“Sakit ayah, sakit,” rengekku, entah berapa kali pukulan itu mendarat di punggungku
Bunda berusaha bangkit menolongku, tapi tiba-tiba bunda tak sadarkan diri dengan darah yang terus mengalir dari dahinya. Semua itu membuat ayah menghentikan pukulannya dan langsung pergi meninggalkan kami dengan mengendarai mobil. Manusia yang tidak punya hati.
“Bunda ... bertahanlah kita akan ke rumah sakit,“ ucapku, yang pastinya dengan air mata yang dengan bebas mengalir ke permukaan.
Di rumah sakit aku tiada hentinya menangis mengucap asma allah, dalam pelukan mbak Kamila, yang merupakan saudaraku. Kini beliau sudah hidup berumah tangga dengan dikarunia satu putri. Waktu itu kebetulan mbak dan suaminya lukman sedang berkunjung ke rumah dan langsung disuguhkan dengan pemandangan yang menyesakkan.
“Ayah memang sudah keterlaluan, bukan hanya batin bunda yang dia sakiti tapi fisiknya juga,” ucap mbak Kamila tiba-tiba, membuatku bingung dann langsung menatapnya dengan penuh tanda tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN
Teen Fiction"Setidaknya katakan sesuatu pada saya gus," ucapan Hilya bagaikan angin lalu, Gus Aydan mulai mengotak atik ponselnya. "Gus, saya tahu, ada sesuatu yang terjadi di sini, jangan hanya diam gus saya butuh penjelasan," pinta Hilya tapi dengan respon y...