Apa ini, kenapa dunia seakan mempermainkan hidupku, tidak ada yang mau bertanya padaku, seakan keputusanku tiada artinya
Inaya Hilya Zea Nisa Farah
Hari yang dinantikanpun telah tiba, para tamu sudah mulai berdatangan, tokoh agama, para kiai, masyrakat, dan teman-teman Aydan mulai berdatangan, sedangkan si calon suami mondar mandir di kamarnya dengan setelan jas hitam, sarung, dan kopiah hitam membuat ketampananya semakin berlipat ganda.
Gugup, itulah yang sedang iya rasakan, kenapa tidak, statusnya sebentar lagi tidak lagi lajang, iya akan mengucapkan janji suci yang akan menggetarkan singgasana arsi, bukan hanya disaksikan oleh puluhan tamu undangan, akan tetapi para malaikatpun juga ikut menyaksikan.
Brak
“Widih, sepertinya udah gak sabar banget ni buat jadi suami,” olok seseorang yang tiba-tiba memasuki kamar Gus Akhtar.
Dia Rafka Arsha Fathan, sepupu Gus Aydan dari belah Nyai Rusydah yang tinggal di jakarta bersama keluarganya, profesinya saat ini sebagai dokter bedah
“Kebiasaan,” kata Gus Aydan seraya memutar bola matanya malas, Arsha itu berbeda dengan sepupu yang lain, dia memiliki sifat yang random.
Sedangkan di ruangan yang berbeda, seorang gadis cantik dengan gamis putih khimar dan niqob senada, menambah keanggunan gadis tersebut, siapa lagi kalau bukan ning Zaila. Pernikahan itu memang diputuskan akan dilaksakan ditempat mempelai pria dan selat dua hari akan dilanjutkan di memplai wanita.
“Masya Allah, ning Zaila cantik banget,” ucap Hilya, kebetulan iya yang menghias pengantian perempuan dikarenakan tukang hiasnya mendadak tidak bisa hadir, entah apa alasannya. Untungnya Hilya memiliki tangan yang ajaib, apapun yang tangannya lakukan akan pasti akan menghasilkan yang terbaik, meskipun tidak sebaik perias ahlinya. Sedangkan Hilya memakai gamis warna sage senada dengan kerudungnya, terlihat sederhana namun tak bosan tuk melihatnya, wajahnya yang natural, hidung mancung, dan bibir pink dengan polesan lipblam, karena akhir-akhir ini iya selalu merasa bibirnya terlihat pucat, padahal dalam keadaan baik-baik saja. Begitulah penampilan ustadzah muda itu.
“Terima kasih ustadzah, ini berkat tangan kamu,” balasnya dengan ramah.
Setelah Hilya izin untuk keluar ruangan, Ning Zaila bergegas mengambil ponsel di atas ranjang, tersirat kegelisahan di matanya.
“Iya, aku sudah siap,” ucapnya pada orang di balik ponselnya.
“Bismillahirrahmanirrahim, semoga lancar ya Allah,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu, Gus Akhtar dengan gagahnya duduk di depan penghulu dan kiai Yusuf dengan di dampingi kiai Abdullah.
“Mempelai perempuan silahkan dipanggil,” Suruh penghulu, Nyai Fatimah dan Nyai Rusydah menjemput Ning Zaila ke kamarnya.
Tidak beberapa lama
“Kiai Abdullah, Kiai Yusuf dan gus Aydan di minta Nyai Rusydah ke kamar ning Zaila sekarang,” beritahu Yasmin yang baru datang.
Tanpa berfikir panjang tiga lelaki itu beranjak dari duduknya membuat para tamu yang hadir merasa bingung, dan bertanya –tanya apa yang terjadi.
“Semoga gak ada hal buruk yang terjadi,”
“ Apa akan terjadi seperti kisah di novel-novel, dimana mempelai perempuan lari dari pernikahannya akan terjadi di pernikahan Gus Akhtar,”
“Kalau itu memang terjadi, aku siap jadi penggantinya,”
Bisak-bisik tamu undangan yang terdengar jelas di pendengaran Hilya yang duduk bersama para ustadzah, sebenarnya iya juga merasakan ketakutan itu karena saat dia menghias ning Zaila, dia terlihat murung tidak terpancar kebahagiaan di wajahnya, awalnya Hilya berfikir ning Zaila merasa gugup, tapi entahlah.
“Semoga semua baik-baik saja,”
Mas Aydan, maaf aku harus pergi. Aku sangat mencintaimu, hari ini adalah hari yang aku tunggu. Tapi ada seorang yang menerorku mas, semenjak waktu pernikahan kita diputuskan orang itu selalu menerorku untuk pergi di saat pernikahan. Aku tidak tahu maksudnya. Awalnya aku melawan, tapi dia mengancam akan membunuhmu dan orang tuaku, aku tidak bisa mengadu pada kalian, karena di pesantren Nurul Jannah ini, ada mata-mata yang merupakan putrinya, dan jika aku bertindak putrinya itu akan dengan mudah membunuh mas Aydan.
Salam
Zakia Fatimah Zaila
Bola mata Aydan memanas, ada amarah di sana, yang ditakutkan nyai Rusydah benar-benat terjadi. Nyai Fatimah pingsan sedangkan dua kiai dengan umur yang sepuh itu mencoba menacari jalan keluar, Aydan hanya diam fikirannya hanya tertuju pada Zaila, apa dia baik-baik saja di sana.
“Assalamualaikum, Kiai, Nyai Gus,” sapa Ustadz Ya’kub dengan napas tersengal-sengal, iya memang diperintah untuk mencari keberadaan Ning Zaila.
“Waalaikumsalam,”
“Begini kiai, dari berita salah satu warga, ning Zaila pergi dengan seorang laki-laki kira-kira umurnya 40 an, dengan mengendarai mobil, mobil tersebut datang dari arah pintu belakang pesantren, awalnya saya tidak percaya kalau itu ning Zaila, karena pintu tersebut, adalah pintu rahasia, yang hanya beberapa orang saja yang mengetahui. Tapi setelah warga tersebut mengatakan kalau perempuannya menggunakan gaun pernikahan putih, saya mulai percaya, apalagi mereka sempat mengambil gambarnya, ini gambarnya kiai,” jelas ustad Ya’kub, sembari memberikan ponselnya pada kiai Fahri.
Dalam gambar tersebut, Zaila memasuki mobil putih dengan seorang laki-laki.
“Fauzi,” kata Nyai Rusydah, badannya hampir jatuh tapi Gus Aydan dengan sigap menahan pundak uminya. “Dia benar-benar menepati janjinya,” lanjutnya membuat gus Aydan mengerutkan keningnya begitupun dengan orang tua Zaila, berbeda dengan kiai Fahri dia terus menatap gambar di balik ponsel tersebut. Matanya tertuju ke sana, akan tetapi pikirannya berlawanan.
“Kiai Fahri, saya harus mencari putri saya dan menangkap pelaku yang berani meneror putri tersayang kami,”
“Saya ikut sampeyan kiai,” pinta Aydan
“Jangan Gus, kamu harus mengurus pesantrenmu, saya tahu saat mereka mengetahui jika mempelai perempuan lari dari pernikahannya itu akan menjadi bahan gosipan yang akan berpengaruh dengan pesantren ini, kamu bantu abahmu. Saya memilki anak buah yang bisa diandalkan, semoga Allah mempermudah,” jelas Kiai Yusuf
“Ayo umi,” Dua suami Istri itupun pergi melewati pintu rahasia pesantren dengan diantar ustad Ya’kub, tinggallah Gus Aydan dengan kedua orang tuanya.
“Apa yang harus Aydan lakukan abah, Aydan tidak bisa diam saja disini,”
“Tetap menikah Aydan, itu yang harus kamu lakukan sekarang,” jelas Kiai Fahri
“Mas, jangan bilang mas akan menikahkan Aydan dengannya,” kata nyai Rusydah, membuat Aydan semakin bingung dengan arah pembicaraan orang tuanya itu.
“Aydan, jika pernikahan ini tidak terjadi maka akan memberikan dampak buruk pada pesantren Nurul Jannah, semua orang menganganggap pesantren Nurul Jannah sebagai panutan. Bukannya abah tamak dengan dunia, tapi abah tidak bisa melihat pesantren ini jatuh, karena kalau semua ini bisa terjadi, abah akan menghianati perjuangan kakekmu, semua yang terjadi ini adalah keentengan dari abah nak,”
“Lalu siapa yang akan Aydan nikahi abah, pengantin Aydan sudah pergi entah kemana, dan Aydan tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Jika Aydan menikah dengan gadis lain itu sama saja Aydan menghianati dik Zaila,” kata Gus Aydan dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu harus melakukannya Aydan, apapun konsekuensinya kamu harus mengahadapinya," jelas kiai Fahri dengan mempertegas semua kalimatnya.
“Umi, telepon keluarga calon menantu kita,” suruh kiai Fahri dengan tegas, kalau seperti ini tidak ada yang berani membantah ucapan kiai Fahri.
Di ruang tamu
“Akadnya kita mulai sekarang pak penghulu,” suruh kiai Fahri yang sudah ada di ruang tamu bersama istri dan putranya, Gus Aydan duduk di depan penghulu dengan pandangan datar, iya masih tidak tahu dengan perempuan yang akan dinikahinya, karena kiai Fahri tidak memberi tahu nama gadis tersebut dan iyapun tidak peduli.
Menolak, ya, gus Aydan ingin menolaknya, tapi iya tidak berdaya jika pernikahannya gagal, bukan hanya dia yang menanggung malu tapi keluarga dan pesantren Nurul Jannah juga terkena dampaknya.
“Apa mempelai perempuannya tidak ingin dipanggil untuk menyaksikan acara akad ini kiai,” tanya penghulu
“Mempelai perempuannya sudah ada disini, dan ustad Ya’kub diminta oleh keluarga pihak perempuan yang akan menjadi wali,”
“Baik kiai,” ucap ustad Ya’kub sekaligus suami dari ustadzah Sakinah.
Awalnya keadaan menjadi riuh, karena mempelai wanita yang dalam undangan tidak hadir di tempat dan ditambah lagi pernikahan itu tetap berjalan apalagi dengan wali dari pihak perempuan ustad Ya’kub, ustad senior di pondok pesantren Nurul Jannah. Suasana kembali normal saat gus Aydan menjabat tangan ustad Ya’kub, masih ada kegugupan dalam diri gus Aydan karena iya akan mengucapkan janji suci untuk seorang perempuan yang entah siapa, dan iya tidak tahu bagaimana kelanjutan pernikahan ini. Kejadian itu seakan mempermainkan perasaan dan mental gus Aydan.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Aydan Alaudin Akbari Syafi’i bin Kiai Alfiansyah Fahri Syafi’i dengan seorang gadis yang bernama Inaya Hilya Zea Nisya Farah binti Muhammad Fauzi dengan mas kawin berupa surah ar-rahman dan emas 40 gram , tunai,” suara lantang ustad Ya’kub mengejutkan seisi ruangan, terutama sang pemilik nama. Iya seakan ditampar oleh keadaan, tanpa ada pemberitahuan namanya disebut dalam janji suci tersebut, Hilya hanya bungkam dengan menatap punggung gus Aydan, pantas saja nyai Rusydah duduk di samping Hilya dengan terus memegang tangannya. Namun, tak berani mengeluarkan sepatah katapun karena semua mata tertuju pada Hilya. Sedangkan Gus Aydan yang mendengar nama orang tua calon istrinya sangat terkejut. Muhammad Fauzi, seseorang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahan bersama gadis dambaan hatinya, lalu kenapa iya dipaksa menikah dengan putrinya, penghianat, penghancur kebahagiaan, kata itu lah yang muncul di benak Gus Aydan.
“Gus, tolong fokus, akan saya ulangi langi,” pinta ustad Ya’kub.
Mendapat pelototan dari sang abah membuat Gus Aydan mengangngukann kepala. Dia harus melakukan demi pesantren Nurul Jannah.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Aydan Alaudin Akbari Syafi’i bin Kiai Alfiansyah Fahri Syafi’i dengan seorang gadis yang bernama Inaya Hilya Zea Nisya Farah binti Muhammad Fauzi dengan mas kawin berupa surah ar-rahman dan emas 40 gram , tunai,”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Inaya Hilya Zea Nisya Farah binti Muhammad Fauzi dengan mas kawin tersebut, tunai,” suara lantang gus Aydan membuat sang pemilik nama tak bisa menahan sesak dihatiya, hatinya bergemuruh entah apa yang sedang dirasakan, iya ingin marah tapi tak bisa, iya menangis sekencang-kencangnya tapi juga tidak bisa, suara lantang gus Aydan membuat hatinya merasakan sesuatu yang berbeda, entah itu apa.
“Bagaimana para saksi,”
“Sah,” balas semua serempak
“Silahkan kepada saudari ning Hilya untuk duduk di samping suaminya,” suruh penghulu
Merasa namanya dipanggil, spontan Hilya menatap Nyai Rusydah dengan mata berkaca-kaca seakan meminta pertologan pada ibunya. Namun, nyai Rusydah hanya tersenyum dengan tatapan teduh sambil mengelus tangan yang sudah resmi menjadi menantunya itu. Karena tidak ada pergerakan dari Hilya, membuat nyai Rusydah menuntun Hilya untuk duduk di depan suaminya. Hilya dengan gugup duduk dengan jarak sangat dekat, ini kali ke dua Hilya berdekatan dengan gus Aydan.
“Cium tangan suamimu nak,” suruh nyai Rusydah sedangkan Hilya tak mau melepas genggaman tangan nyai Rusydah. Iya memang tidak mengucapakan sepatah katapun tetapi nyai Rusydah paham, menantunya itu sedang ketakutan, tragedi pernikahan paksa lima tahun yang lalu membuat Hilya trauma dengan pernikahan hingga akhirnya iya sangat susah untuk menerima laki-laki yang ingin mengkhitbahnya, tapi sekarang tanpa ada persetujuan sang pemilik nama, tiba-tiba namanya terucap dalam janji suci yang sudah di dengar oleh para malaikat.
“Ini jalan Allah nak,” bisik nyai Rusydah pada Hilya, membuat air mata itu tumpah setelah berusaha Hilya bendung sedangkan gus Aydan hanya melihat dengan tatapan datar.
Dengan gemetar Hilya menjulurkan tangannya di depan gus Aydan, kenapa tidak, dia tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, gus Aydan mulai mengangkat tangannnya dengan rasa bersalah karena sudah menyebut nama gadis lain dalam janji suci pernikannya, harusnya nama Zakia Fatimah Zaila yang ia sebut bukan nama Inaya Hilya Zea Nisya Farah. Saat tangannya akan bersentuhan Hilya menarik tangannya kembali, iya masih tidak percaya kalau iya sudah menjadi seorang istri. Semua itu membuat yang hadir merasa gemas dengan ke dua pasutri itu, dengan dituntun nyai Rusydah kedua tangan suami Istri yang baru sah itu sudah besentuhan, dengan gemetar Hilya mencium tangan gus Aydan yang tiba-tiba menjadi suaminya. Gus Aydan memegang ubun-ubun Hilya dengan membaca doa.
Apa ini, kenapa dunia seakan mempermainkan hidupku, tidak ada yang mau bertanya padaku, seakan keputusanku tiada artinya, batin Hilya
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN
Teen Fiction"Setidaknya katakan sesuatu pada saya gus," ucapan Hilya bagaikan angin lalu, Gus Aydan mulai mengotak atik ponselnya. "Gus, saya tahu, ada sesuatu yang terjadi di sini, jangan hanya diam gus saya butuh penjelasan," pinta Hilya tapi dengan respon y...