Aku Takut
Inaya Hilya Zea Nisa Farah
H
appy reading
Gus Aydan duduk di atas sajadanya dengan pakaian salat yang sudah lengkap, setelah mengusir paksa Hilya dari kamar gus Aydan langsung melaksakan salat taubat, dalam keadaan pencahayaan kamar yang setengah gelap.
“Astarfirullahel’adzim,” iya terus berzikir menyebut nama Allah dengan air mata yang berlinang. Iya begitu takut dengan azab Allah karena sudah berlaku kasar pada seorang wanita yang saat ini sudah menjadi istrinya. Ini adalah kali pertama dalam hidup gus Aydan menyakiti seorang perempuan. Iya tak pernah menyentuh kulit perempuan kecuali umi dan adiknya ning Lulu.
“Ampuni hamba ya Allah, ampuni semua kesalahan hamba, hamba tidak bisa mengontrolnya ya Allah, hamba sudah menyakiti satu hambamu, yang baru saya hamba sebut namannya dalam ikatan janji suci, dan engkau lebih tahu segalanya. Hamba sangat membencinya ya Allah, hamba benci dengan wajah polosnya yang dibaliknya menyembunyikan kelicikannya. Untuk mengakui sebagai istri saja hamba malu ya Allah. Tolong permudahkan semua permasalahan ini, sesungguhnya tanpa ada campur tanganmu hamba bukanlah apa-apa, hanya kepadamu hamba meminta dan memohon pertolongan, Amin ya Rabbal Alamin,”
Tepat jam 3 dini hari, Hilya mulai sadar dari tidurnya, usapan lembut di kepalanya membuat Hilya enggan membuka mata, iya masih tidak siap menghadapi hari harinya, wajah keluarga dalem adalah hal yang juga membuat hatinya sesak, mereka harus menerima resiko karena menjadi pelindung Hilya.
“Ayah akan menghancurkan pesantren ini jika kamu tidak ikut ayah Inaya, Kiai dan Nyai tersayangmu itu akan ayah hancurkan,” peringat Fauzi lima tahun yang lalu, tidak lama setelah tragedi paksa nikah itu. Fauzi dan Afifah kembali ke pesantren dengan tujuh anak buahnya yang membuat keributan di pesantren. Namun tidak memakan korban karena keamanan pesantren dengan cepat menelpon polisi, dan mereka di tangkap, akan tetapi, mereka masih sempat memberi ancaman pada Inaya dalam keadaan tangannya diikat.
“Selalu ingat ada Allah Inaya, kamu harus tetap di pesantren ini,” peringat kiai Fahri.
“Benar nak, umi tidak rido kalau kamu ikut dengan ayahmu, karena jika kau ikut dengannya kau akan dibawa ke jalan yang salah nak, umi menyayangimu,”
“Ha-ha-ha ..., baiklah kau tetap di pesantren ini, tapi kami bukan orang sembarangan yang akan lama mendekam di penjara, kapanpun itu kami akan kembali, bersiaplah menghadapi kehancuran Fahri, Rusydah, karena kamu sudah menampung anak sial itu di tempat kotor ini,” balas Afifah dengan penampilan rambut di ikat menjadi sanggul ke belakang dan hiasan yang sangat menor.
Hiks hiks hiks hiks, Hilya kembali menagis mengingat kejadian terakhir di tahun yang lalu itu.
“Astarfirullaheladzim, astarfirullaheladzim, ada Allah nak,” bisikan nyai Rusydah membuat HIlya membuka mata. Wajah teduh, usapan di kepala yang mengahangatkan terus membimbing Hilya untuk berzikir kepada Allah, Hilyapun mengikutinya dengan suara gemetar setelah merasa tenang Hilya mulai duduk dari pangkuan Nyai Rusydah.Waktu itu, saat Nyai Rusydah pergi ke dapur, iya mendengar suara tangisan dari kamar Yasmin, betapa terlukanya dia melihat anak didik yang baru sembuh dari traumanya itu harus kembali merasakannya. Sedangkan Yasmin sudah terlelap di kamar pengabdi yang lain karena nyai Rusydah meminta untuk meninggalkannya berdua bersama Hilya.
“Aku bukan penghianat umi, aku tidak tahu, maaf dia kembali membuat kekacauan,” mendengar perkataan Hilya membuat nyai Rusydah membawa dalam pelukannya.
“Umi mempercayaimu nak, kamu tidak salah, Allah sedang merasa rindu padamu, makannya Allah memberimu ujian itu lagi, umi yakin ustadzah Hilya sekaligus menantuku bisa menghadapinya,”
“Tapi aku takut umi,”
“Jangan takut Inaya,” panggilan Inaya dari nyai Rusydah membuat Hilya melepas pelukannya, iya mengerutkan kening.
“Kok Inaya umi,” sambil sesegukan.
“Iya, karena umi tidak pernah melihat Hilya seterpuruk ini,” jawab nyai Rusydah sambil menaik-naikan alisnya membuat Hilya mengahapus air matanya.
“Aku tidak suka dipanggil Inaya umi, panggil Hilya,” beritahu Hilya dengan mengerucutkan bibirnya seakan mengadu pada ibunya.
“Baiklah Ning Hilya,”
“Kok ning Hilya sih umi,” protes Hilya lagi
“Kan menantu umi,” balas nyai Rusydah dengan mengedipkan matanya, tawapun pecah diantara mereka. Tidak lama wajah Hilya kembali murung dengan menundukkan kepala.
“Ning Zaila sudah bersama keluarganya, sekarang sedang di rumah sakit, dia baik-baik saja jangan terus merasa bersalah nak,” beritahu nyai Rusydah sambil mengelus bahu Hilya.
“Pernikahan ini harus segera diselesaikan umi, karena kalau tidak ada banyak hati yang akan terluka,” pinta Hilya sambil memegang tangan nyai Rusydah.
“Apa kamu percaya dengan takdir Allah nak?” tanya nyai Rusydah membuat Hilya mengangguk.
“Terkadang rencana Allah itu yang terbaik meskipun diawali dengan air mata, pernikahan bukan sesuatu hal kecil, kamu tidak bisa mengakhiri dengan semudah itu,”
“Aku tahu umi, itu sebabnya aku selalu menolak laki-laki yang datang mengkhitbahku. Dan sekarang aku mengambil posisi ning Zaila sebagai suami gus Aydan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana terlukanya dia umi, dan gus Aydan, yang selalu berkata sopan pada semua orang, tidak banyak bicara, malam itu aku menyaksikannya umi bagaimana terlukanya dia, ada kebencian dimatanya yang tertuju padaku, bagaimana kami akan membina rumah tangga,” jelas Hilya
“Apa luka ini karena putraku Hilya,” tanya nyai Rusydah dengan memegang kening Hilya yang sudah di obati oleh Yasmin. Nyai Rusydah menitikkan air mata, tidak menyangka putra yang selalu dibanggakan itu akhirnya menyakiti seorang perempuan.
“Ini sakitnya tidak seberapa umi, dibandingkan gus Aydan dan ning Zaila yang menantikan hari bahagianya malah berakhir menyakitkan,” balas Hilya dengan senyuman yang di paksa.
“Bisakah kamu memikirkan dirimu sebentar saja nak, bukan hanya mereka yang terluka, kamu lebih terluka,” Nyai Rusydah membawa tangan Hilya ke atas kepalanya, membuat Hilya bingung.
“Kalau kamu menganggap umi sebagai pengganti bundamu, kalau kamu memang menyayangi umi, berjanjilah kamu akan tetap bertahan menjadi istri Aydan putraku, kamu akan meluluhkan hatinya, kamu akan membangun masjid bersama suami dengan anak-anakmu menuju surga Allah, berjanjilah Ustadzah Inaya Hilya Zea Nisya Farah,” tekan nyai Rusydah membuat Hilya menangis kembali, tangisan pilu yang menyayat hati siapun yang melihatnya.
“Apa Hilya bisa umi?” lirih Hilya
“Ada Allah, kamu pasti bisa,” semangat dari nyai Rusydah membuat Hilya dilema, ini pilihan yang paling sulit dalam hidupnya, karena setiap keputusan yang dia ambil akan memberi luka pada orang disekitarnya.
“Bismillahirrahmanirrahim, dengan izin Allah di malam ini sampai ajal menjemput aku akan selalu berada di samping gus Aydan sebagai suamiku,” ungkap Hilya dengan bibir gemetar, membuat nyai Rusydah langsung memeluknya.
Di pagi hari, keluarga dalem sedang melakukan kebiasaanya, yaitu sarapan pagi dengan koki , siapa lagi kalau bukan Yasmin dibantu Hilya. Setelah mengucapkan janji itu Hilya menguatkan dirinya untuk bangkit dan tidak mudah menangis, iya sungguh malu saat menangis di kamar gus Aydan, pasti gus Aydan berfikir Hilya gadis lemah. Hilya menyiapkan makanan ke piring gus Aydan, sedangkan gus Aydan merasa jengah dengan keberadaannya, tapi karean ke dua orangtuanya iya harus menjaga sikap.
“Apa kamu ingin membuat saya muntah dengan porsi sebanyak ini,” protes gus Aydan melihat nasi memenuhi piringnya dengan sayur lode dan paha ayam goreng
“Afwan gus, saya kira semua porsi laki-laki sebanyak ini, soalnya saya pernah melihat pak Tolib makan sebanyak ini,” beritahu Hilya yang menyamakan porsi makan gus Aydan dengan supir keluarganya yang memilki perut seperti orang hamil 4 bulan. Gus Aydan hanya bernafas kasar. Sedangkan nyai Rusydah dan Kiai Fahri tersenyum melihat suami istri itu. Sedangkan ning Lulu tak memperdulikan dengan drama kecil di meja dapur, akhir-akhir ini dia memang banyak diam. Nyai Rusydah merasa banggga dengan perubahan Hilya, nasihatnya sudah diterapkan oleh menantunya itu.
“Suamimu itu luarnya aja yang terlihat keras, kalau dilihat tidak ada ramah-ramahnya, tetapi sebenarnya dia itu berhati lembut, jangan pernah kamu merasa takut padanya ya, katakan aja apa yang ingin kamu katakan di depannya selagi itu tidak menyinggung hatinya,”
Setelah acara sarapan, nyai Rusydah membantu Hilya membereskan pakaianya di lemari yang sudah di siapkan gus Aydan untuk ning Zaila, kerena lemari pakaian gus Aydan sudah tidak muat. Ternyata sudah sampai di sini persiapannya, batin Hilya.Awalnya Hilya menolak untuk tinggal di kamar gus Aydan tapi nyai Rusydah terus memaksa, tahukan kalau perempuan separuh baya yang masih terlihat cantik itu sudah turun tangan. Sedangkan gus Aydan tidak menghiraukan manusia yang berbeda generasi itu mengatur kamarnya, iya sudah bosan untuk berucap, pun tak diikuti. Iya sibuk dengan laptopnya, memeriksa tugas makalah mahasiswanya, kebetulan iya sudah diterima menjadi dosen di kampus ternama di jakarta.
“Gus tidak mau ikut ke rumah sakit?” tanya Hilya yang baru keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi, gamis armi dan kerudung lebar dengan warna yang senada. Setelah merapikan pakaianya nyai Rusydah keluar dan Hilya memutuskan untuk mandi, kebetulan hari ini iya akan ikut pergi kerumah sakit menjenguk ning Zaila.
Gus Aydan bergegas menutup laptopnya menuju kamar mandi, karena terlalu fokus di depan laptop iya lupa kalau akan menjenguk ning Zaila di rumah sakit. Hilya hanya menggelengkan kepala, iya merasa senang karena bisa mengingatkan suaminya, memang kata nyai Rusydah gus Aydan terkadang akan melupakan banyak hal jika sudah ada di depan laptop dan harus ada yang mengingatkannya. Hilyapun membereskan meja belajar suaminya, hatinya merasakan sedih saat melihat foto ning Zaila di mejanya, cantik, itulah yang Hilya sematkan dalam foto gadis bercadar dengan kerudung ping dan cadar senada itu, meskipun wajahnya setengah tertutup itu tidak mengurangi aura cantinya.Bersambung
Menurut teman teman yang paling terluka diantar mereka bertiga siapa?
Gus Aydan
Ustadzah Hilya
Ning Zaila
????
Jangan pernah bosan untuk meninggalkan vote ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN
Teen Fiction"Setidaknya katakan sesuatu pada saya gus," ucapan Hilya bagaikan angin lalu, Gus Aydan mulai mengotak atik ponselnya. "Gus, saya tahu, ada sesuatu yang terjadi di sini, jangan hanya diam gus saya butuh penjelasan," pinta Hilya tapi dengan respon y...