Setelah melaksanakan salat magrib keluarga dalem kembali duduk di meja makan yang sudah dihidangkan berbagai menu makanan. Setelah membatalkan puasa dengan meminum air dan makan kurma keluarga itu langsung melaksanakan salat magrib, setelah itu baru mulai menyantap makanan. Itulah kebiasaan keluarga dalem yang lebih mengutamakan panggilan tuhannya dari pada panggilan cacing di dalam perutnya.
“Gawat Hilya!” suara cempreng Yasmin lagi-lagi mengejutkan Hilya yang sedang makan di dapur dalem.
“Bisa ngak kamu ini biasa aja, untung aku gak punya penyakit jantung.”
“Helleh, kamu gak tahu sih, apa yang barusan aku lihat dimeja makan. Aku tuh barusan nganter makanan, dan di sana ada ...”
“Pasti makanannya enak-enak kan, tenang aja itu aku yang masak dan aku juga masak buat kamu juga, rendang ayam,” kata Hilya dengan bangganya sambil mengangkat rendang ayam tepat kewajah Yasmin. Yasmin yang kesal karena kalimatnya dipotong, langsung mengambil piring itu dan menyimpan lagi di meja.
“Bukan, aku yakin jika kamu melihatnya kamu pasti bisa jantungan, sekarang kamu berada dalam masalah besar Hil dan aku tidak mau ikut campur, aku sudah menghentikanmu tadi, tapi kamu masih keras kepala,” jelas Yasmin, terlihat kekawatiran di wajahnya, tapi Hilya masih terlihat santai dengan terus menyantap makanannya.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikum salam ning Lulu,” Jawab Hilya dan Yasmin serempak.
“Ustadzah Hilya, setelah makan, ustadzah di suruh umi ke ruang tamu,” beritahu Hilya.
“Engge ning, sebentar lagi saya selesai,”
“Santai aja ustadzah, umi masih belum selesai buka puasa,”
Ning Lulu Hafiza Zakiya Syafi’i, adalah anak bungsu dari pemiliki pesantren Nurul Jannah, dia adalah gadis baik yang masih dalam proses hafalan Al-Quran 25 jus dan saat ini sedang sibuk dalam tugas kuliah untuk menyelesaikan S1 nya. Ning Fiza memang tidak seperti saudara laki-lakinya yang memilih melanjutkan pelajarannya di negeri orang, iya lebih memilih kuliah di tempat kelahirannya karena tidak ingin lagi berjauhan dengan orang tuanya usia yang lebih dewasa dari pada Hilya dan Yasmin, tapi tidak membuatnya semena-mena pada santri di pesantrennya itu.
“Besok pagi ikut umi ke Surabaya ya, ada undangan mengisi kajian, umi mau kamu yang ngisi,” beritahu umi pada Hilya. Namun, yang diajak bicara hanya diam tak berani untuk mengangakat pandangannya di saat nyai Rusydah menyebut kota Surabaya, sebuah kota yang menyimpan banyak luka di hati gadis itu.
“Umi tahu yang kamu rasakan Hilya, tapi sampai kapan kamu akan lari dari kenyataan, jika ingin menunggu siapmu itu tidak akan terjadi, di sana banyak yang menantikan hadirmu, ingat, kamu bukan santri di lima tahun yang lalu, kamu adalah seorang ustadzah panutan bagi mereka. Umi yakin ustadzah cantik ini bisa melewati semuanya. Jujur, kamu sudah umi anggap seperti putri umi, kedudukanmu dihati umi sama dengan kedudukan Lulu di hati umi, kalian adalah putri umi. Umi takut, di saat Allah memanggil umi, putri umi yang satu ini, masih terjebak dalam masa lalunya,” Hilya langsung memeluk nyai Rusydah, kehangatan, itulah yang dia rasakan. Adanya nyai Rusydah membuat kerinduan pada bundanya sedikit terobati.
“Bismillah, akan Hilya coba umi, doakan Hilya ya umi, semoga Allah memberi kelapangan pada hati Hilya,” ucap Hilya dalam pelukan nyai Rusydah sembari elusan lembut dipunggungnya.
Seperti di malam biasanya, masjid Nurul Jannah kembali melakasakan salat terawih, bedanya malam ini, masjid tidak sepenuh dengan malam sebelumnya hanya ada sebagian ustadz dan ustadzah, Yasmin, beserta keluarga dalem. Lantunan surat-surat pendek yang dilantukan oleh imam, membuat hati para jemaah terasa begitu damai, salah satunya Hilya yang sampai meneteskan air mata karena merdunya bacaan yang di baca oleh imam. Dia Gus Aydan Alaudin Akbari Syafi’i, putra pertama dari kiai Fahri dan nyai Rusydah. 15 tahun lamanya, iya hidup di negeri orang untuk menuntut ilmu di negeri tarim.
Gus Aydan, begitulah orang-orang memanggilnya, hafizh Al-Quran 30 jus, dan jangan di tanya kemampuannya dalam memahami kitab-kitab yang tanpa harakat, di kota tarim, iya menjadi dosen di fakultasnya, iya juga pernah ditawarkan untuk meneruskan salah satu pesantren yang ada di kota tarim. Namun, iya menolak karena iya juga akan meneruskan pesantren milik orang tuanya. Di usia usia muda yang masih 27 tahun gus Akhtar sudah menyelesaikan S3 nya jurusan Tafsir Al-Quran. Siapa yang tidak menegenal Gus Akhtar Farzan Alaudin Syafi’i, namanya menyebar di kota tarim, ada yang mengenal sebagai ustadz muda, dosen muda, sehingga Gus Aydan menjadi lelaki idaman bagi perempuan untuk menjadi imamnya. Tapi siapa sangka, gus Aydan yang berwatakan dingin itu, tidak mudah menampakkan senyumnya, sudah menemukan dambaan hatinya dan sekarang dalam proses taarruf.
“Laki idaman banget, Hil menurutmu imam misterius saat terawih itu siapa ya, aku penasaran banget, pasti wajahnya tampan, jiwaku meronta-ronta ingin natap wajahnya,” cerocos Yasmin sambil memotong sayuran, persiapan untuk nanti sahur.
“Astarfirullahel’adzim, Yasmin tidak boleh membayangkan yang bukan muhrim seperti itu,” nasihat Hilya menggelengkan kepala yang sedang membuat jus mangga.
“Iya-iya ustadzah,”
“Eh sejak kapan kamu suka minum jus mangga,” tanya Yasmin
“Ini buat umi, malam ini umi mau bantuin aku menyiapkan materi untuk kajian nanti,” beritahu Hilya. “Malam ini, tidur aja dulu ya, takutnya aku kelamaan,”
“Ala ... gak ada teman gosib ni,” kata Yasmin dengan wajah memelas membuat Hilya terkekeh dengan sahabat satunya ini.
Persahabatan yang sudah terjalin sejak lama, Hilya yang pintar, ahli dalam bidang ilmu agama, dalam bidang perdapuranpun tidak perlu ditanyakan lagi, perfect itulah yang Yasmin lekatkan dalam diri sahabatnya itu. Sedangkan Yasmin, berbanding terbalik dengan Hilya, 8 tahun menjadi santri, ternyata tidak menentukan ilmunya dalam pelajaran. Yasmin yang memang terkenal nakal sejak menjadi santri, malas belajar, namanya tanpa absen dalam buku hukuman, tapi di balik semua itu ternyata Yasmin mempunya keahlian dalam bidang perdapuran. Cita-cita sebagai koki terkenal harus iya kubur di saat dadinya memaksa Yasmin untuk belajar di pesantren. Namun, kepekaan nyai Rusydah membuatnya membawa Yasmin tinggal di dalem untuk membantu memasak untuk keluarga dalem dan sering mengajak Yasmin ke kajian, dari situlah Yasmin mulai belajar meskipun dengan terpaksa. Ya mau bagaimana, mau lari tidak bisa, karena Nyai Rusydah selalu memintanya untuk selalu di dekanya. Yasmin seakan sudah menjadi koki yang bisa dihandalkan di pesantrennya, setiap ada acara Yasmin di percayakan untuk memimpin urusan perdapuran dengan para santri yang di percaya. Hingga akhirnya Yasmin merasa berat untuk meninggalkan pesanren karena iya sangat bahagia dengan tugasnya, pun keluarganya tidak mempermasalhkan hal itu.
Di ruang tamu, Nyai Rusydah sedang mengobrol dengan putranya gus Aydan, membuat Hilya ragu untuk mengahampiri Nyai Rusydah.
“Hilya,” suara Nyai Rusydah menghentikan langkah Hilya yang ingin kembali ke dapur.
“Mau kemana, umi udah nungguin dari tadi loh,”
“Afwan umi, Hilya takut mengganggu umi,” beritahu Yasmin dengan kekehannya. Ucapan Hilya dan Nyai Rusydah yang terdengar santai tidak seperti santri dan bu Nyai pada umumnya, membuat gus Aydan menatap Nyai Rusydah dengan tatapan tanda tanya.
“Dia Ustadzah Hilya, sekaligus putri umi,” jawab Nyai Rusydah yang paham dengan kebingungan putranya itu.
“Sejak aku di yaman umi hamil lagi,” tanya gus Aydan dengan polos membuat Nyai Rusydah dan Hilya terkekeh.
“Dia putri angkat umi Aydan, kamu ini ada-ada aja,” jelas Nyai Rusydah membuat Aydan menganggukkan kepala. “Sini Hilya, jangan berdiri di situ,”
Hilya pun mengahapiri Nyai Rusydah di sofa dan menyimpa jus buatannya di meja
“Kenalin, ini putra Umi Gus Aydan Alaudin Akbari Syafi’i, dan Aydan, kenalin dia Ustadzah Inaya Hilya Zea Farah, sekaligus putri umi, tapi kalau kalian dinikahkan tetap sah kok,” akhir dari perkatan Nyai Rusydah membuat Gus Akhtar dan Hilya menatapnya dengan tatapan tajam.
“Becanda,” tambahnya dengan kekehannya.
Pandangan Gus Aydan bertemu dengan Hilya, membuat Hilya terkejut, kenapa tidak, dia sudah lancang memarahi putra pemiliki pesantren ini sedangkan Aydan hanya diam dengan pandangan datar, tetapi iya tidak habis fikir, kenapa uminya mau mengangkat Hilya sebagai putrinya mengingat Hilya gadis yang tidak ada lembut-lembutnya.
Tepat jam 10.15 Hilya sudah kembali ke kamar, iya sudah tidak sabar ingin bercerita padaYasmin dengan rasa bersalahnya dengan gusnya itu, kenapa tidak, setelah perkenalan itu gus Aydan langsung pergi dengan ekspresi datar, padahal sebelum iya bergabung di ruang tamu, Hilya mendengar suara tawa yang terdengar begitu merdu di telinganya. Masya allah, tawanya aja merdu, apalagi jika melantunkan ayat suci Al-Quran.
“Aku udah dosa Yasmin, bagaimana jika umi dan abi tahu, aku sudah berkata tidak sopan pada putranya itu, mereka pasti kecewa padaku. Aku bisa menerima marahan semua orang, tapi kalau umi yang marah, aku bisa hancur Yasmin,” jelas Hilya pada Yasmin yang mulai sesegukan dengan air mata yang sudah berlinang. Sedangkan Yasmin mulai terkekeh dengan sikap sahabat yang terkenal jarang menangis itu, meskipun ada rasa kasihan di benaknya.
“Jalan satu-satunya kamu harus meminta maaf sama gus Aydan,” saran Yasmin sedangkan Hilya hanya diam mencerna saran sahabatnya itu. Iya tidak berani untuk berhadapan dengan gusnya itu, apalagi harus memulai percakapan.
“Makannya Hilya, kalau jadi perempuan itu dilembutin sedikit, kamu kalau marah lebih menakutkan dari pada Ustadzah Nur,” lanjut Yasmin, yang mulai membanding-bandingkan sahabatnya itu dengan ustadzah keamanan di asrama putri.
Begitulah, para santri mengenal Ustazah Hilya, ustadzah muda yang ditakuti para santri putri maupun putra, jika Ustadzah Hilya sudah marah maka tidak akan ada yang berani menyela, baik itu para pengajar senior kecuali pemilik pesantren Nurul Jannah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HILDAN
Teen Fiction"Setidaknya katakan sesuatu pada saya gus," ucapan Hilya bagaikan angin lalu, Gus Aydan mulai mengotak atik ponselnya. "Gus, saya tahu, ada sesuatu yang terjadi di sini, jangan hanya diam gus saya butuh penjelasan," pinta Hilya tapi dengan respon y...