Kajian

605 20 0
                                    

"Dia yang selalu terlihat tangguh dihadapan semua orang, nyatanya iya sangat rapuh dihadapan Tuhannya"

Di pagi hari, Hilya menunggu Nyai Rusydah di teras dalem untuk pergi ke Surabaya, setengah jam lamanya Hilya menunggu, entah apa yang membuat nyai Rusydah begitu lama dalam bersiap, tiba-tiba pandangan Hilya tertuju pada sosok laki-laki berbadan tinggi, seperti tokoh atletis, siapa lagi kalau bukan putra dari pemilik pesantren Nurul Jannah, dia berjalan dengan gagahnya menuju dalem, membuat Hilya gelagapan, untuk saat ini ia belum berani untuk bertatapan dengan Gus nya itu. Namun, ternyata allah memiliki jalan lain.


'Aku harus bagaimana, gak mungkin aku kembali ke kamar Yasmin, nanti umi datang, ya Allah bantu hambamu ini,' gumamnya


Langkah kaki gus Aydan semakin dekat, iya berjalan dengan muka datar tanpa berminat untuk melihat ke arah Hilya.


Tak


Tak


Tak


"Assalamualaikum Gus," akhirnya Hilya memberanikan diri setelah berdebat dengan hati dan fikirannya.


"Waalaikumsalam," Jawabnya tanpa menoleh pada Hilya, dengan ekspresi yang sama.


"Mohon maaf mengganggu waktunya gus, saya mau minta maaf soal yang ke ..."


"Sudah saya maafkan," balasnya tanpa menunggu Hilya menyelesaikan ucapannya.


"Akhtar ngapain di sini," tanya Nyai Rusydah tiba-tiba yang baru datang dengan suaminya.


"Ngak ngapa-ngapain Umi, Akhtar baru pulang dari masjid, umi benaran mau ke surabaya?"


"Iya, maaf ya, umi gak bisa ikut kalian ke yogyakarta, umi gak bisa membiarkan Hilya sendirian ke sana," beritahu Nyai Rusydah.


"Kenapa tidak minta yang lainnya aja umi, untuk nemenin dia, lagi pula dia kan ustadzah masa gak bisa mandiri ke sana," kata Aydan dengan entengnya.


"Benar kata Gus Aydan umi, aku bisa ke surabaya sendiri, jalannya masih ingat kok,"


"Tidak, Umi mau ke surabaya nemenin kamu Hilya," putus Nyai Rusydah membuat semua bungkam. Sebenarnya gus Aydan kurang suka dengan ustadzah Hilya yang berbicara santai dengan uminya itu tidak seperti santri pada umumnya. Sedangkan Hilya merasa kesal dengan Gus Aydan yang bicara tanpa disaring terlebih dahulu, tapi iya juga merasa tidak enak, karena Nyai Rusydah tidak bisa ikut ke jogaja karena memilih menemaninya.


"Abah, umi berangkat dulu ya, salam nanti pada calon besan,"


Ba'da Zuhur mereka sudah menginjakkan kaki di kota surabaya, mereka di sambut ramah oleh masyarakat. Tepat jam 8 malam Nyai Rusydah dan Hilya pergi ke tempat acara dengan di dampingi tuan rumah, yang merupakan ustadzah di desa itu. Kebetulan acara tersebut ada di perdesaan bukan di perkotaan. Hal itu membuat Hilya merasa lega, karena jika diperkotaan iya merasa takut bertemu dengan masa lalunya.


Acara tersebut adalah acara tahunan haul yang ke 26 salah satu tokoh agama di desa itu, sehingga tidaklah heran jika banyak warga yang mengahadiri acara tersebut. Setelah mc membacakan susunan acara, berbagai sudah dilewati hingga sampailah di acara inti yaitu kajian.


"Memasuki acara selanjutnya, pengajian inti yang akan disampaikan oleh Ustadzah Inaya Hilya Zea Farah, pengajar di Pondok Pesantren Nurul Jannah, kepada beliau dengan hormat saya persilahkan.


Merasa namanya dipanggil dengan begitu hormat, membuat hilya gugup, iya yang duduk di baris paling dengan tempat khusus untuk tamu yang khusus pula, ini adalah pengalaman pertama iya mengisi kajian di tempat orang, biasanya iya mengisi kajian hanya di dengar para santri dan para tetangga pesantren. Namun, saat ini banyak masyarakat yang hampir mencapai ratusan yang akan menjadi pendengarnya.


"Bismillah, ini langkah awalmu untuk menjadi pendakwah, katanya mau mengikuti jejak umi, putri umi pasti bisa," ucapan semangat dan usapan lembut nyai Rusydah di tangannya membuat Hilya merasa tenang, dan iya membalasnya dengan anggukan.


Hilya menaiki panggung, dengan anggunnya. Gamis hitam dengan khimar senada tak lupa kaos kaki yang selalu menutupi kaki mulusnya, semua yang hadir terpana dengan ssosk ustadzah yang berdiri di atas panggung itu, wajahnya menunjukkan kedamaian. Awalnya merekla kira yang akan mengisi kajian adalah ustadzah yang sudah sepuh, tapi perkiraannya salah, dia gadis remaja dengan wajah sinarnya membuat siapa saja yang melihat akan terkagum-kagum kecuali Gus Aydan yang tak berminat melihat wajah Ustadzah muda itu.


"Assalamualaikum wr wb," Ucap Hilya dengan takzimnya


"Waalaaikum salam wr wb"


Setelah memberi penghormatan, Hilya menyampaikan kajian yang bertema kematian, suara yang lembut, penjelasan yang detail di selingi dengan candaan dan lagu yang membuat para tamu yang hadir merasa puas dengan penjelasan Hilya, ada yang sampai menangis karena merinding dengan penjelasan Hilya, Nyai Rusydah yang melihat santri didiknya dengan lembut mengisi kajian dan di terima oleh masyarakat menitikkan air mata, iya merasa sudah berhasil mendidik santrinya itu. Sedangakan dibarisan pertengahan ada seorang perempuan tersenyum ke arah Hilya, iya juga merasa bangga melihat adik yang dulunya begitui polos tak berani berbicara di depan orang, kini sedang berbagi ilmu kepada banyak orang yang lebih dewasa dibandingnya, siapa lagi kalau bukan Kamila, saudara Hilya.


"Masya allah adikku," ucap Kamila.


Satu jam lebih Hilya menyampaikan kajiannya, acara demi acara telah berlalu, tamu undangan mulai bubar dengan membawa bingkisan yang sudah disiapkan panitia, ada yang memilih untuk menemuai Nyai Rusydah dan Hilya hanya sekedar untuk bersalaman dan ada para remaja yang meminta berfoto denga Hilya, mereka seakan termotivasi dari ustadzah muda itu untuk menuntut ilmu.


"Amel juga mau berfoto dengan bibi," suara cempreng anak kecil mengejutkan Hilya, iya pun menghentikan sesi foto dengan para jemaah, kakinya melangkah dengan mata berkaca-kaca, Amel, Kamila, lukman sedang berdiri tidak jauh darinya, Kamila tidak bisa menahan tangisnya melihat adik yang sudah dua tahun tidak pernah bertemu berada di depannya. Awalnya iya ingin marah pada adiknya itu karena begitu egois meninggalkannya, membiarkannya menahan rindu, tapi Kamila sadar Hilya pergi memilki alasan, dan iya memaklumi itu.


"Mas, lihatlah adik kita, bukan hanya nama panggilan saja yang iya rubah tapi kepribadiannya juga, dia sudah jadi orang hebat mas, aku sampai tidak mengenalinya karena yang aku tahu adikku begitu polos, tidak berani bicara dikeramaian, cengeng. Tapi sekarang dia berubah drastis, aku bangga padanya. Tapi apa dia masih mengingat aku adalah mbaknya yang selalu menantikan kepulangannya," ucap Kamila, pada suaminya sedangkan Lukman menatap istrinya sembari mengelus pundaknya. Hilya yang mendengar ungkapan kakaknya itu tak mampu berkata, iyapun langsung memeluk Kamila. Tangispun pecah diantara kakak adik itu yang lama menahan rindu, semua orang yang melihat merasa terharu dan terkejut.


"Ternyata ustadazah Hilya adik ipar ustad Lukman," gumam mereka


"Maaf mbak," tutur Hilya


"Mbak sangat merindukanmu dik, bunda pasti bangga pada adik"


"Amel juga merindukan bibi, Amel juga mau peluk bibi," ungkap Amel dengan memanyunkan bibirnya yang dari tadi merasa diabaikan, membuat mereka terkekeh dan melepas pelukannya. Hilyapun memeluk Amel, keponakan yang semakin cantik dengan gamis hitam dan Khimar senada, begitupun dengan kedua orang tuanya.


"Kalian kok bisa ada si sini," tanya Hilya


"Apa kamu lupa, kalau kamu punya abang ipar yang serba bisa, selain ceo dia dikenal ustad loh dek oleh masyarakat, pastinya kami salah satu tamu kehomatan di sini,"

Sorry ya, udh dua hari author gak update, tapi hari ini author double update kok.

HILDAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang