Sudah dua hari Belly di rawat di rumah sakit. Ia tidak diperbolehkan pulang oleh Arland, meskipun dokter sudah memperbolehkannya untuk rawat jalan. Arland sengaja, karena jika belly kembali ke apartemennya, maka ia tidak akan bisa lagi merawat istrinya itu. Oleh karena itu, ia menjadikan alasan belly yang masih lemas dan butuh perawatan ruma sakit agar ia bisa mengambil hati istrinya kembali.
"sayang buka mulutnya, aaa?".
"Arland!, aku bisa sendiri. Kamu tidak perlu menyuapiku".
"kamu masih lemas sayaangku, aa?".
Dengan kesal belly membuka mulutnya. Ia tidak akan menang melawan pria di hadapannya ini. Setelah selesai menyuapi istrinya, Arland kembali menbawa kursi roda."Untuk apa ini?."
"kita akan jalan-jalan ke taman".
"gak perlu pakek kursi roda juga Ar."
"nanti kamu lemas terus jatuh, gimana?."
"ck, iya-iya."
Belly sudah duduk manis di atas kursi roda. Ia tersenyum melihat anak-anak yang bermain di taman rumah sakit. Tiba-tiba ia tersenyum sendu. Arland yang melihatnya pun berlutut di depan belly. Ia menggenggam tangan belly.
"Sayang, kamu jangan khawatir, aku bakal jagain kamu dan anak kita."
Belly tersenyum simpul. Ia tidak benar-benar percaya apa yang dikatakan oleh Arland."aku sedikit lelah, ayo kembali."
Dengan terpaksa Arland melepaskan tangannya dan mendorong kursi roda istrinya.Ponsel Arland bedering, ia melihat nama Sabrina disana. Arland memilih untuk mengabaikannya.
"kenapa gak diangkat?".
"gak pa pa". Ayo aku bantu naik ke atas brankar. Belly memilih menuruti arland, ia tidak ada tenaga untuk berdebat lagi. Lalu ponsel Arland kembali berdering.
"Sabrina ya?".
"Hm."
"angkat aja gak pa pa. Dia gak akan berhenti nelfon kamu kalau gak kamu angkat."
"Halo."
"..". Belly mengernyit, kenapa Arland diam saja.
"sayang, aku sakit, tolong ke sini."
Wajah arland berubah jadi panik. Belly tidak ingin sedih lagi, tapi melihat paniknya wajah arland, hatinya tetap saja sakit. Belly memilih untuk membelakangi arland.
"aku pergi sebentar ya sayang". Arland mencium puncak kepala istrinya dan berlalu dari sana.
Seketika tangis belly meledak. Nafasnya tersendat-sendat karena menahan ledakan emosi. Ia berusaha untuk menahan emosinya. Ia tidak ingin hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada kandungannya.
Pintu ruang rawatnya terbuka. Ia menghapus air matanya. Ia tidak ingin dokter maupun perawat melihatnya menangis. Belly membalikkan badannya. Ia melihat pemandangan yang membuatnya ingin menangis kembali. Ia melihat Arland bediri tidak jauh dari pintu ruang rawatnya. Suaminya kembali, atau apa ada yang tertinggal. Belly berusaha untuk duduk. Perkataan Arland membuatnya menangis kembali.
"Aku gak jadi pergi, aku mau nemenin kamu disini." belly semakin terisak. Arland panik dan berjalan mendekat ke istrinya. Arland ingin memeluknya tapi ia tidak berani, takut belly semakin membencinya. Hingga Tiba-tiba belly merentangkan kedua tangannya. Arland yang melihat itu langsung tersenyum senang. Ia bergerak memeluk belly dengan lembut, takut akan menyakiti kehidupan baru di perut istrinya.
"udah sayang, jangan nangis lagi. Aku gak akan pergi." arland mengusap rambut belly untuk menenangkan istrinya.
"ayo tidur lagi, kamu harus banyak istirahat." Arland mengurai pelukannya dan mengusap pipi istrinya. Ia membersihkan sisa-sisa air mata di pipi istrinya, lalu membantu belly untuk berbaring. Arland terlihat lelah, karena semalam ia tidur karena menjaga belly.
"Kamu mau kemana?".
"mau duduk ke sofa."
"tidur disini aja". Belly menepuk sisi di sebelahnya. "sofanya sempit gak akan nyaman tidur disana". Arland yang mendengarnya pun tak kuasa manahan kebahagiannya. Ia bersyukur karena istrinya masih mau menerimanya. Ia sadar akan perbuatannya yang telah benar-benar menyakiti istrinya. Wanita mana yang tidak akan sakit hati jika suaminya secara terang-terangan ingin menikah lagi. Arland menangis haru, ia memeluk istrinya sambil menangis. Jadi mereka manangis bersama di atas brankar hingga tertidur.
***
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Belly's World
Romance"Belly, Aku menyukai wanita lain." ibarat bom yang meledak, Isabel kaget dengan penuturan suaminya. Ia tidak menyangka ternyata suami yang hanya di atas kertasnya itu bisa menyukai seorang wanita. Isabel berdiri dengan tenang. "Let's Divorce".