(Chapter ini sudah tersedia versi booknya)
Seorang mahasiswi jurusan magister psikologi, sedang menyusun proposal pengajuan penelitiannya. Telah tiga judul ia berikan pada pembimbing, namun ditolak karena variabelnya terlalu umum dan sulit dimaterialisasikan. Tak habis akal, (Nama) pindah haluan tema.
Ia ingin mengangkat karya ilmiah dengan kesulitan sampling tinggi. Rela mengorbankan waktu liburnya untuk observasi lapangan, kini (Nama) terpaksa bergabung dengan rombongan koas stase jiwa di rumah sakit jiwa Pulau Rintis demi ACC tesis dari profesor tercintanya.
Terbilang muda, punya otak cemerlang, (Nama) cukup diperbincangkan di grup itu. Tak sulit untuk akrab dengan orang-orang di rumah sakit, (Nama) pun banyak diberikan nasehat.
Satpam di pos jaga bilang begini, "Nak (Nama), kamu cantik. Hati-hati ya kalau malem-malem disini. Soalnya di bangsal A banyak penunggunya."
Dan dokter dines siang juga ikut-ikutan berceramah, "Kalau pulang malem. Jangan lupa baca doa."
Lalu, ada perawat ramah bernama Yaya, yang menjadi teman curhat (Nama) selama masa orientasi, membenarkan cerita-cerita urban itu telah dipercaya banyak pihak.
(Nama) merinding sendiri dengan stetmen itu. Niatnya ingin mencapai gelar magisternya, (Nama) malah terjebak penelitian di rumah sakit jiwa berhantu.
Rumah sakit ini jauh dari sentral keramaian, terletak di distrik penghasil komoditi sayur-mayur pada pucuk bukit dalam naungan kotamadya kecil. Tidak ada banyak pasien, namun bangunannya seluas istana presiden; karena katanya, dulu ini bekas kastel penjajah. Menjelajah ke bukaan-bukaan yang mengelilingi halaman tengah, (Nama) menjumpai pondasi dinding disini masih seratus persen dibuat dari susunan semen mentah dengan cat mengelupas.
Sebagai mahasiswa psikologi yang aktif dalam banyak kegiatan sosial, terlebih karena (Nama) mantan ketua divisi Pengabdian Masyarakat pada himpunan kampusnya, (Nama) sudah banyak bertamu ke berbagai fasilitas kesehatan jiwa. Tapi rumah sakit jiwa Pulau Rintis ini, terasa agak berbeda. Perasaan buruk melingkupi radar keamanan dalam insting (Nama).
Lorong gelap, dinding lumutan, lantai kayu berdecit karena permukaannya telah lapuk digergoti rayap, dan sel-sel berkarat kosong di kanan kirinya tak luput menjadikan jantungnya berdisko-disko dibalik thorax.
Sempat bertanya mengapa rumah sakit jiwa Pulau Rintis terlihat seperti tak dapat jatah subsidi pemerintah, Yaya malah bilang kalau fasilitas ini dipegang oleh perusahaan swasta yang nyaris gulung tikar karena wabah COVID-19.
(Nama) tidak bisa apa-apa, kecuali berdoa supaya jangan diganggu kuntilanak atau sejenisnya kala ia bertugas.
(Nama) dibantu banyak oleh dokter bernama Fang. Fang menyuguhkan profil-profil pasien di arsip, meminta (Nama) memilih pasien mana yang akan menjadi sampel tesisnya. Kebanyakan dari pasien mengalami gangguan kecemasan, berkolaborasi dengan penyimpangan tertentu, hingga mereka dirawat inap disini.
Namun ada satu map pasien yang pada kertasnya bercetakkan nomor rekam medik E-3.70, tak dilengkapi oleh foto. Tak juga diisi kolom biodata identitasnya; mengenai siapa namanya, berapa umurnya, atau nama penanggung-jawabnya. Tidak ada status triage pada lembar register. Ada lima lembar kertas yang dihekter pada map itu, satunya hasil cek dari ruang radiologi berupa foto USG bagian mulut dan ekstremitas; bagian ini pudar dan usang sehingga tidak bisa dibaca sedikitpun, lembar tindakan seklusi, dan kertas aneh-aneh lainnya. Dia sakit apa? Perawatannya tidak jelas.
"Yang ini, diagnosanya apa dok?" (Nama) bertanya pada sosok di sebrangnya. Fang menyingkirkan cup espresonya ke samping, lalu membaca map dari (Nama).