"Jadi dulunya, kamu bekerja di kapal pesiar?" Tanya Ying.
(Nama) mengangguk, "bukan pengalaman yang menyenangkan. Aku bekerja dua belas jam per hari, tanpa libur selama delapan bulan. Cara memasaknya agak rumit, karena kapal tidak menyediakan api di dapurnya. Sallarynya tidak ada premi, atau bonus, atau tunjangan ini itu. Kalau aku dikontrak oleh kapal pesiar, biasanya bilamana ada badai, air seringkali merendam lambung kapal—dan itu normal terjadi!"
Kaki (Nama) bergetar kedinginan, merasakan jejak-jejak psikologis dari pengalamannya di kapal laut itu, selama berbulan-bulan lamanya tanpa sehari pun menghirup udara daratan. Bahkan (Nama) pernah sampai membantu housekeeping kapalnya untuk mengeruk keluar air pasca terjadinya badai yang menerobos masuk lewat dek.
(Nama) mengalami seasick selama hampir tiga tahun terombang-ambing di lautan lepas.
"Dan bagian yang paling menyebalkan, kalau aku dapat jatah bekerja di kapal dengan kru-kru orang luar negri berbahasa non-Inggris; komunikasi kami terhambat." (Nama) melepas toque dari rambutnya, dan bersandar di meja kompor. "Aku harus bertahan sampai kontraknya habis ... itu melelahkan, Ying."
BRAKKKK!
Pintu stainless steel dari unit main kitchen dibuka.
Dan tampaklah sosok sang pramusaji, Yaya, yang pakaiannya berantakan karena dia berlari tunggang-langgang dari ruang makan kemari. Pita kupu-kupu di kerah kemeja Yaya miring, bajunya kusut, keringat bercucuran dari dahinya, dan kerudungnya agak kusut. Apron pada pinggangnya pun talinya lonsor ke dekat paha. Dia tampak kacau, padahal ini baru jam sembilan pagi, dimana seharusnya, semua orang masihlah berperangai bugar.
Karena gebrakan yang ditimbulkan oleh paniknya bahasa tubuh Yaya, sebanyak enam belas koki spontan menoleh padanya.
Seorang koki asal Pakistan sedang mengobarkan api sautering di kompor gasnya, tapi dia menengok pada Yaya, mencari tahu kenapa perempuan berkebangsaan Malaysia itu tergopoh-gopoh datang tanpa salam, sampai si koki lupa membalikkan steik wagyunya dari pemanggang—dan oleh sebabnya, steiknya hangus.
Aktivitas para koki itu terpenggal di tengah jalan. Gopal berhenti mengiris mentimun untuk acar Thailand pesanannya, (Nama) terkesiap dan hampir melompat, Ying membalikkan badan dan mengira ada peringatan kebakaran, sebagian besar koki juga meninggalkan blendernya, choppernya, penggiling dagingnya, dan kompor menyalanya, karena mereka terkejut.
BRRRRRR!
Api menghanguskan steik milik Sai, karena Sai bengong saat melihat kehebohan Yaya.
"KRITIKUS MAKANAN DATANG!" Yaya berteriak nelangsa, mengumandangkan pengumuman pentingnya pada koki-koki hotel itu. "DAN DIA MEMESAN SEMUA MENU MAKANANNYA!"
Sontak saja, semua koki-koki di sana ikut berteriak panik, dan langsung kocar-kacir mempersiapkan segalanya, tanpa ada aba-aba apapun.
Koki satu dan koki lainnya bertabrakan, panci-panci jatuh dari almari karena seorang koki tak berhati-hati, banyak juga yang hanya memegang kepalanya, karena berita itu cukup mengejutkan.
Gopal buru-buru menyusun acarnya di wadah plastik, dan memasukkannya ke rak kulkas, mempending pesanan satu itu, berniat berkonsentrasi memenuhi pesanan si kritikus makanan. Gopal jelas tahu, hotel ini tiada memiliki satu pun review buruk dari para kritikus, dan mereka sudah memperoleh banyak pengakuan Michelin Star karena kualitas bahan, harmoni rasa, penguasaan teknik memasak, pelayanan, dan konsistensi menu hotelnya terjaga baik-baik, juga lolos pemeriksaan higienitas oleh badan pengawas edaran makanan di setiap tahunnya.
Gopal terbiasa menangani masakan India yang kebetulan juga ditampilkan di menu. Jadi, Gopal tahu apa jobdesknya, serta darimana dia harus memulai. Gopal perlu mengolah bahan masakan yang sulit matang dan memerlukan waktu lama untuk menghidangkannya—ayam. Semua ayamnya perlu dikeluarkan dari freezer, dan agar bumbunya menyerap maksimal, ayamnya dapat dimarinasi selama beberapa saat sebelum akhirnya, ayam-ayam itu akan dibuat ke berbagai masakan.