Anggota kelompoknya diundi, jadi Halilintar tidak bisa menentukan siapa saja mitra kerjanya. Dan berakhirlah Halilintar dengan Pangeran Negri Musim Dingin, Ice, putra dari seorang Marquess bernama Sai, dan seorang penyihir kampung yang jika dia melepaskan sepatu dengan hak tingginya, jubah beledunya akan terseret ke lantai, barangkali menyapu semua daun mapel di atas tanah vulkanik itu.
Si penyihir bertopi kerucut memungut kepingan batu yang tak bermakna, menelitinya dengan kaca pembesar, dan menghirup aromanya.
Halilintar tidak tidur di pelajaran alkimia, walaupun cara mengajarnya Profesor Pian itu monoton, dan lektur-lekturnya juga membosankan; Halilintar dapat memastikan, batuan metamorf tidak menguarkan wewangian apapun yang akan menjadi petunjuk bagi perjalanan mereka. Si penyihir sudah gila.
Halilintar frustasi sendiri, karena dia membiarkan tukang sihir itu memimpin grup, dan berbuat seenaknya.
Gara-gara (Nama) mengakui, bahwa dulunya, dia sering mencari harta karun, dia jadi sok-sokkan memerintah, dan memegang gulungan peta dari kertas papirus pemberian Profesor Pian. Dan lebih parahnya lagi, Sai dan Ice manggut-manggut saja, tanpa ada argumen. Keduanya tampak tidak masalah, selama mereka tidak bertemu reptil vivipar, atau naga darkwood peliharannya Master King Balakung; benar, naganya sengaja dibiarkan berkeliaran di hutan belakang sekolah, agar dia bisa berpatroli, dan memangsa hewan-hewan pengerat, atau siapa tahu, menangkap basah murid yang kabur dari asrama.
"Aku tidak percaya," Lama kelamaan, Ice mengusap dahi, dan mengeluh. "Ini tugas ... murid kelas satu."
Bibir Ice sudah kering. Dia butuh tidur dan minum air putih. Ice sungguh menyesal, mengapa dia menyia-nyiakan waktunya untuk belajar, membaca buku kuno terbitan dari kementrian sihir, menelaah ensiklopedia sihir bintang, bahkan sampai menerjemahkan bundel-bundel praktik sihir beraliran Cassiopeia demi bisa lolos di ujian masuk sekolah mengerikan ini.
"Aku rasa kita sudah dekat, sangat dekat." Lagi-lagi, (Nama) membungkuk, dan mengangkat batuan beku dalam bentuk plutonik yang sebenarnya tidak ada gunanya—begitulah pikir Halilintar. Tapi karena Halilintar kurang vokal, dia membisu, dan memilih menunggu kegagalan (Nama) saja daripada memarahinya.
"Aku menyesal masuk kemari," Ice terengah-engah bicara. Tentu saja, Ice kesal sekali. Bagi anak pemalas seperti Ice, mengikuti lima rangkap ujian masuk ke sekolah sihir bukanlah perkara mudah. Ice dilahirkan dengan bakat, namun dia perlu menjadi terlatih agar dia bisa bersaing.
"Bukankah itu gua?" Tunjuk Sai, pada daerah di balik semak arbei, yang keadaannya dipenuhi oleh lumut, dan tanaman merambat, serta gulma-gulma berdaun menyirip.
"Kita menemukannya! Kita menemukannya!" Sebelum Halilintar bicara, regu pencari harta karunnya telah menyerbu gua itu, dan Sai berteriak kegirangan.
Halilintar tidak ingin salah satu di antara teman bodohnya terluka, makanya Halilintar ikut berlari meskipun dia tidak ingin. Gua artefak selalu menyimpan bahaya, atau setidaknya, ada jebakan recehan yang gampang dihindari, kalau pengunjungnya punya otak.
Benar dugaan Halilintar, penyihir bertopi kerucut, rekan bekerjanya, berlari tanpa melihat-lihat, sampai anak perempuan itu jatuh ke jaring yang niscaya akan mengangkatnya ke dahan pohon, dan memerangkapnya di sana, jika Halilintar tidak menggaet tudung kepala pada bagian belakang jubah beledunya, dan mencegahnya melangkah maju.
Srasch!
Tali-temali pada jebakan berbentuk jaring itu terangkat ke atas, tak berhasil menangkap (Nama), dan meninggalkan hujan dedaunan kering.
Halilintar melepaskan pegangannya, dan menjadikan (Nama) kehilangan keseimbangannya, hingga dia jatuh, mencium tanah. Biarlah, pikir Halilintar. Toh, Halilintar sudah cukup berjasa untuk menyelamatkannya dari jebakan picisan yang bahkan bisa dihindari seekor babi hutan.