Seven Deadly Sins - Gentar

1.1K 150 136
                                    

Dipindahkan.

Lagi.

Ke departemen kepolisian yang lokasinya ada di pelosok bumi ibu pertiwi.

(Nama) sendiri kebingungan, apakah dia betul-betul problematik, sehingga kepala kepolisian sampai memutasikan seorang detektif pegawai negri sipil seperti dirinya ke berbagai departemen sebanyak tiga kali dalam setahun?

Itu mengakibatkan (Nama) nyaris gila, karena untuk yang ketiga kalinya, dia harus beradaptasi dengan kesatuan tim baru. Tapi (Nama) menganggap kepindahannya kali ini sebagai liburan. Karena di kota kecil seperti Pulau Rintis, mustahil terjadi pembunuhan. Artinya, dia akan menjadi detektif pengangguran, tapi tetap dibayar.

"Pengangguran, tapi dibayar. Pengangguran, tapi dibayar. Pengangguran, tapi dibayar." (Nama) bergumam-gumam, sebab dia ingin menghibur diri. Jangan tanya kenapa. Rasanya dipindah-pindahkan itu tidak enak. Susah sekali mengurus keperluan perintilannya. (Nama) jadi perlu berkenalan dengan tim baru, mencari apartemen sewaan per bulan dalam budget pas-pasan tapi berjarak dekat ke kantornya, dan dia mesti mempertimbangkan hal-hal terkait kenyamanan pribadi; pigmen kulit (Nama) tidak mentoleransi suhu dingin, air pump di apartemen murahan kadang warnanya kekuningan karena tidak difilter, bagaimana dia akan mencari makan bila dia tidak tinggal di dekat pasar tumpah atau swalayan, dan seperti apa watak tetangga apartemennya.

Ya. Tetangga apartemen. Terakhir kali dia menyewa apartemen murah di Johor, (Nama) berakhir ribut, karena dia memergoki anak tetangganya mengencingi tanaman kaktus kesayangannya.

"Tolol." Kalau diingat-ingat, itu memicu (Nama) untuk mengumpat, seperti sekarang. Dia tidak mau berurusan dengan tetangga janda beranak tiga lagi. Sungguh.

Kini, (Nama) menggeret kopernya ke apartemen yang dilihatnya dari Google Maps. Apartemen itu berada di gedung serba guna berbentuk L. Sisi panjangnya dibiarkan kosong, berkerak seperti rumah hantu bekas peninggalan jajahan Inggris, dan tak berpenghuni. Sedangkan sisi pendeknya diisi oleh sebelas unit apartemen di tiga lantai berbeda.

(Nama) memandangi gedung reot itu secara seksama, dan memutuskan untuk tidak menghujatnya blak-blakan, karena (Nama) masihlah mengedepankan sopan santun.

Lobi apartemen itu nyaris terlihat bak ruang tamu pada umumnya, dengan kotak loket yang gordennya bermotif kampungan, dan didiami oleh sang pemilik. Ejojo. Si pemilik apartemen. Dia tampak sedang duduk sambil memutar tombol lingkaran penala, supaya dia bisa memperoleh sinyal.

Bunyi gemeresak pada radio menguasai udara.

(Nama) mengedarkan pandangannya. Ruang tamu ala-ala resepsionis ini ialah bangunan berbentuk persegi dengan penerangan remang-remang dari lampu panel berdebu di atas plafon. Ada pun satu set sofa claremont dengan sarung bantal berbau apek karena tidak dicuci selama hampir tiga tahun. Televisi tabung tergeletak di atas meja repot berkaki pincang, dan di bawahnya, terpasanglah sebuah konsol gim lawas.

Vas bunga keramik di sudut ruangan sudah pecah pada bagian lehernya, tapi karena Ejojo begitu menghemat, dia melakbannya dengan selotip transparan milik seorang tukang paket yang tinggal di sebrang sini.

Brak!

Ejojo menampar radionya dengan perasaan gondok.

"Selamat siang, Permisa." Setelah dipukul kencang, radio itu mampu berbunyi. Ejojo hampir ingin marah-marah, karena dia membelinya dari pasar loak langganannya; dan si penjualnya berkata, bahwa radio itu paling tidak bisa digunakan, meski rheostatnya kadang-kadang sering mati tiba-tiba.

Ejojo tersenyum kebingungan. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi malas, berusaha menikmati pagi berawan kelabu tanpa ada huru-hara. Ejojo meraih segelas kopi hitamnya, dan pelan-pelan menyesapnya.

Boboiboy OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang