Gadis Revolusi - Sopan

2K 251 135
                                    

Periode Setelah Revolusi

Sopan tidak suka hujan.

Hujan mengingatkannya pada hari persekusi.

Sopan menjulurkan tangannya ke atas, dan menangkup air hujan ke lekukkan telapak tangannya. Setelah cukup tertampung, Sopan menyesap airnya. Sopan memang haus.

"Kenapa malah meneduh?!" Ejojo, si pria berperawakan tinggi, dengan batu garnet di jari kelingkingnya, menghampiri Sopan, dan menyentaknya.

Sopan memandang langit sebentar, "Ini hujan."

Ejojo mengerutkan dahi. Ia menghentakkan tongkat berkepala burung elangnya ke tanah, dan mencecar, "Kamu bukan lagi Pangeran. Kenapa kamu begitu manja? Cepat kembali bekerja!"

Sopan menyembunyikan sebalnya, dan ia pergi menembus hujan, kembali memanen buah pala—buah yang basah, dan berdaun obovat hijau tua bercampur coklat keunguan. Buah itu dagingnya enak, tapi tempurungnya pahit, meskipun warnanya menggoda, seperti fuli merah darah. Sopan pernah icip-icip sedikit, meskipun ia hampir ketahuan oleh Ejojo.

Sopan meraih keranjang di dekat istal kuda, dan memetik buah pala yang paling dekat dengan pangkal pohon. Hujan turun, deras sekali, menimpa pundaknya, membasahi kepalanya. Bajunya telah sempurna basah dan menempel ke kulit.

Oh ya, Sopan bertelanjang kaki. Ia menginjak genangan lumpur. Sopan merasa geli.

Kebun pala ini seluas kastel. Luas, berbau seperti cengkih berpadu petrikor, dan tanahnya lembek—jenis tanah itu bagus, karena artinya, hujan turun dengan sering, dan menyuburkan lahan pertanian.

Menjabat sebagai pangeran mahkota selama puluhan tahun tidak menjadikannya mengenali negrinya sendiri. Sopan tidak tahu dimana perkebunan pala ini berakhir. Terkadang, Sopan merenunginya, dan mempersalahkan dirinya. Tapi toh, revolusi sudah terjadi. Pemberontak-pemberontak itu memenangkan polemik, dan berhasil melengserkan keluarga kerajaan dari tahta, membunuh keluarga kerjaan, menyisakan Sopan di sini. Di sini, sendirian.

Sopan meraih buah pala dengan berjingjit. Menyebalkan. Sopan tidak suka memanen pala dan hujan-hujanan. Ia kedinginan.

Sopan ingin tahu mengapa ia diperkerjakan begini, kalau pada akhirnya, dia hanya akan dihukum juga. Seperti keluarganya.

Musik revolusi yang dihasilkan dari seruling sayup-sayup terdengar.

Sopan membenci revolusi. Sopan kehilangan segala-galanya, karena revolusi.

Tapi keingintahuannya kuat. Sopan melirik pada Ejojo, si mandor para budak. Ejojo sibuk memarahi budak lain, menyuruh mereka bekerja lebih giat, dan mengata-ngatai mereka.

Sopan melipir ke dekat sungai.

Suara musiknya itu lembut, tidak terlalu keras, dan berasal dari sebrang sungai. Benar dugaan Sopan. Di sana, Sopan memandangi sesosok manusia bertunik putih. Pakaian di tubuhnya seperti kain jenazah yang dililit-lilitkan asal ke tubuhnya, dan berakhir di kedua lututnya. Rambutnya panjang. Ia melompat dari comberan satu, ke comberan lainnya, sembari meniupkan melodi melalui alat musik seruling bambu.

Gadis itu, gadis revolusi. Dia mengumandangkan lagu revolusi. Lagu kemarahan rakyat atas pemerintahan korup keluarga Sopan.

Ia meniupkan serulingnya sambil menari di atas tanah basah. Ia kehujanan. Matanya terpejam. Dagunya mendongak. Dia seperti pemanggil hujan.

Boboiboy OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang