(b) Propose

2.4K 473 74
                                    

[Wihiiii! Aku senang komennya 50 lebih kemaren, terus yang komen isinya variatif ya. Ada yang cemas sama kelakuan bang Janu nantinya, ada yang bertanya-tanya soal ketakutan Karleesha soal pernikahan, ada yang kagum sama Mbak Karlee. Pokoknya macem-macem, and I love it! Terima kasih banyak apresiasi kalian lewat vote dan komen. Jadi silakan kali ini diterusin, Target ya aku tambah jadi 60 komentar, ya, pembaca terzayank🤭. Happy reading!]

“Nu, gimana kebun?” 

Adalah satu kalimat yang langsung Janu dan Karleesha dengar begitu mereka selesai mandi setelah bercinta di pagi hari. Janu tidak pernah sibuk mengangkat panggilan dengan memegangi ponsel di telinga, kecuali berada di tempat umum karena takut mengganggu. Di rumah atau di tempat yang sekiranya membuat nyaman, Janu selalu me-loudspeaker panggilan dari siapa pun.

Karleesha menatap pria yang menyumbangkan benih padanya hingga mengandung bayi kembar itu. Namun, Janu hanya mengangkat kedua bahu santai.

“Aku baru mau berangkat ke sana, Yah. Emangnya Ayah udah di rumah Jakarta?”

“Udahlah. Ini Ayah sama Ibu udah di Jakarta. Tapi Ayah capek banget, Nu. Kamu kirim info ke Ayah, ya.”

“Iya, Yah.”

“Itu, mbak Karlee masih pesen di kita, kan?”

Janu melirik perempuan yang sedang ayahnya tanyakan. Karleesha sibuk memotong-motong buah dan sayur. Siap membuat smoothies untuk diri perempuan itu sendiri dan Janu.

“Masih. Kenapa, Yah?”

“Nggak, kalo masih kenapa perasaan pasokan bunga santai banget jalannya. Biasanya pesenan dari mbak Karlee bikin Ayah pusing. Ini agak kendor Ayah perhatiin dari laporan sebelumnya.”

Janu masih melirik Karleesha. Alasan mengapa Karleesha tidak memesan bunga seperti biasanya adalah karena perempuan itu sibuk mengurus kehamilannya. Bisnis florist yang dijalaninya tetap berjalan, tapi tidak seambisius biasanya. Jika Janu mengatakan yang sebenarnya, kira-kira akan membawa pada pembahasan Janu yang menghamili perempuan itu atau tidak?

“Janu?”

“Iya, Yah.”

“Kamu diajak ngomong malah diem aja. Jadi itu gimana mbak Karlee?”

“Orangnya lagi sibuk, Yah.”

“Hah? Sibuk apa? Dia udah mau gulung tikar atau gimana?”

“Bukan. Usahanya masih jalan, masih bagus. Tapi orangnya ... lagi rehat.”

Karleesha kali ini menatap Janu yang menyelipkan kegiatan memakai kasusnya di depan perempuan itu. Janu memang suka topless jika berada di dekat Karleesha.

“Sakit apa mbak Karlee? Kok, Ayah nggak tahu?”

“Nggak sakit, Yah. Tapi hamil.”

Janu ingin tahu bagaimana respon Karleesha saat Janu tidak menutupi kondisi perempuan itu yang tengah berbadan dua. Janu ingin tahu apakah Karleesha terganggu dengan informasi tersebut untuk diketahui oleh ayah Janu.

“Oh. Udah nikah berarti, ya? Kok, nggak ngundang, ya, Nu? Padahal selama ini Ayah promosiin kamu ke Mbak Karlee. Kamu udah kepala tiga dan belum nikah, mbak Karlee juga gitu tadinya. Dia seringnya cuma senyum aja. Eh, sekarang tahunya udah nikah dan hamil. Berarti bukan jodoh kamu, Nu.”

Karleesha mengalihkan tatapannya dari Janu ketika Arsaki dengan percaya dirinya mengeluarkan kalimat tersebut. Ayah Janu itu terlalu banyak mengungkap informasi saat ini. Namun, Janu menyadari perubahan sikap Karleesha yang langsung gugup ketika Arsaki menjelaskan semua itu di telepon.

“Nggak, Yah.”

“Nggak apa, Nu? Kamu kalo ngomong suka nggak jelas. Ayah bingung, punya anak laki-laki tertua sukanya bantah dan nggak jelas kalo ngomong. Singkat-singkat kayak nggak ada tenaga buat balesin omongan orangtua dengan cara yang bener.”

“Nggak nikah. Karleesha—”

Melihat Karleesha yang begitu cepat bergerak untuk mematikan sambungan telepon dan ponsel Janu, rasa penasaran pria itu semakin bertambah tinggi.

“Kenapa kamu matikan?” tanya Janu.

“Maafin aku. Aku tahu ini nggak sopan, tapi aku nggak mau kamu mengatakannya di telepon. Itu nggak etis sama sekali.”

Janu mengamati keseriusan Karleesha. Pria itu tidak mengerti sama sekali dengan perempuan yang sedang mengandung anaknya ini.

“Kamu mau aku bilang secara langsung ke ayah dan ibuku?”

“Bukan cuma kamu, tapi kita berdua.”

“Kamu mau berhadapan dengan orangtuaku dalam kondisi hamil? Jadi, artinya kamu mau menikah denganku?”

Karleesha tampak bingung. “What? No! Aku mau bicara dan berhadapan sama orangtua kamu untuk menyampaikan bahwa aku akan melahirkan cucu mereka. Nggak ada hubungannya aku jadi mau nikah sama kamu. Itu dua hal berbeda, Januar.”

Kali ini Janu memejamkan matanya dan berkacak pinggang. Menghadapi Karleesha semakin rumit saja.

“Jadi yang kamu mau, kita ketemu orangtuaku dengan kondisi kamu yang hamil. Mengatakan pada mereka bahwa kita adalah orangtua anak di kandungan kamu, dan mereka adalah nenek dan kakek dari bayi yang nggak ingin kamu resmikan dalam ikatan pernikahan. Begitu?”

“Untuk langkah awal, ya, begitu.”

“Untuk langkah awal?! What ... what's the meaning of that?! Kamu mau orangtuaku jantungan? Kita yang akan mengatakan soal bayi ini diusia kandungan kamu yang sekarang aja udah salah, Arl! Apalagi datang membawa kabar itu tanpa mau menikah?? Orangtuaku bisa lebih murka!”

“Dengerin aku dulu—”

“Nggak, Arl. Kamu yang dengerin aku!”

“Aku nggak mau menikah saat aku hamil!”

Kali ini Karleesha berteriak. Terlihat tak mampu mengontrol emosinya seperti biasa. Janu pun hanya bisa terdiam menatap perempuan yang seringnya tidak serius itu.

“Aku nggak mau nikah disaat hamil. Selain kesannya buru-buru, itu juga menggambarkan keterpaksaan. Aku kasih waktu kamu untuk berpikir baik-baik, Nu. Setelah bayi ini lahir, kamu bisa menentukan. Masih berniat menikahi aku, atau kamu ingin kembali ke kehidupan kamu sebagai pria lajang yang punya kesempatan mencari pasangan yang kamu inginkan, tanpa keterpaksaan.”

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang