(d) Propose

2K 436 92
                                    

[Ayo, dong komennya guys! Bab sebelumnya masih 55 komennya. Tapi aku update, nih. Yuk, ah. Kasih semangat luar biasa buat kisahnya bang Janu. Komennya 60 beserta vote yang banyak, ya🤭. Happy reading.]

Makanan yang datang disambut dengan wajah antusias Jairo. Anak berusia enam tahun itu memang tidak kegirangan dengan berseru 'yey' di depan Janu, tapi senyuman yang dikulum agar tak melebar dengan mudahnya sudah menjadi saksi akurat. Makanan adalah kebahagiaan yang tidak bisa Jairo lepaskan. Janu bingung, dari mana kebiasaan makan ini diturunkan? Nova? Atau malah Teija?

"Cuci tangan dulu," ucap Janu yang melihat keponakannya bergerak cepat membuka bento miliknya.

Jairo tidak membantah, dia menuju kamar mandi dan mencuci tangan dengan benar. Anak itu siap menyantap makanannya dengan tangan setelah berdoa keras-keras seolah menyindir Janu yang terlihat diam saja. Padahal, doa makan tidak harus selalu diucapkan keras. Janu membacanya di dalam hati.

"Ini ada sumpit. Kamu kenapa pake tangan?"

"Lebih enak pake tangan, Om."

Setelah itu Jairo kembali fokus pada makanannya. Janu juga tidak berniat membahas apa pun pada putranya Teija itu.

Suasana hening langsung terganti dengan seruan seorang perempuan yang datang.

"Siang! Eh, ups ... lagi sibuk sama ...?" Karleesha menggantungkan ucapan ketika mendapati Jairo yang hanya melirik saja.

"Ponakanku, anaknya adikku, Nova."

Karleesha langsung mengangguk paham. "Ah, jadi ini cucu kesayangan Pak Arsaki! Udah gede, ya."

Janu menatap keponakannya yang tidak peduli dengan reaksi Karleesha.

"Jairo, ini Tante Karleesha. Salam dulu."

Jairo menatap sejenak lebih dulu, anak itu lalu mengangkat tangan kanannya yang kotor pertanda tidak siap menyalami Karleesha sekarang.

"Nggak apa-apa, kamu lanjut makan, Jairo. Makan yang banyak, ya. Duh, kamu lucu bangettttt. Pipi kamu chubby banget. Gemes!"

Karleesha tentu saja tidak sembarangan menyentuh wajah anak orang lain. Dia hanya melakukan gestur ingin mencubit pipi Jairo. Di mata Janu, Jairo tidak lucu sama sekali. Dulu waktu kecil, wajah Jairo lebih banyak kemiripan dengan Nova, tentu versi lebih tampan. Begitu semakin besar, wajah Teija yang malah tercetak di sana membuat Janu sebal.

"Kamu kenapa?" tanya Janu.

Pria itu tidak hanya sekadar bertanya, tapi mengusap perut Karleesha. Ada kecemasan yang tercetak di wajah Janu saat ini. "Mereka baik-baik aja, kan? Kamu nyetir sendiri? Kamu udah janji nggak kemana-mana sendiri. Kamu juga katanya istirahat hari ini. Kenapa malah keluar? Siang ini lagi panas-panasnya. Jangan sampe kamu dan anak-anak dehidrasi."

"Hisss! Cerewetnya pria ini!" Karleesha malah mencubit pipi Janu melampiaskan rasa gemas.

"Serius, Arl. Kamu kenapa ke sini tiba-tiba? Nggak kasih tahu aku dulu lewat chat?"

"Nggak tahu, aku tadi kepengen lihat kamu aja. Kayaknya pengaruh dari anak-anak, deh. Kangen terus sama papanya."

Janu menghela napas lega. "Aku pikir kenapa. Kamu udah check up lagi kondisi anak-anak?"

"Astaga, Januar! Baru seminggu yang lalu periksa untuk bulan ini. Kamu mau aku bolak balik dokter kandungan padahal nggak ada keluhan apa-apa?"

"Untuk memastikan anak-anak baik-baik aja."

Janu menunggu balasan dari Karleesha, tapi perempuan itu sudah lebih dulu menggerakan hidung seolah sedang mengendus sesuatu.

"Kok, baunya enak banget, ya, Nu? Ini kamu pesen apa dan di mana?" tanya perempuan itu menatap menu makan siang Janu dan Jairo.

"Kamu mau? Makan aja," jawab Janu.

"Hm, oke, deh kalo kamu maksa."

Janu mengernyit karena kalimat itu. Dari mana Janu memaksa? Dia hanya menawarkan pada perempuan itu. Namun, tidak bisa membalas apa-apa ketika Karleesha mengambil alih makanannya. Nggak masalah, demi anak-anak yang makin sering laper.

Janu yang menggelengkan kepala dengan kualitas makan Karleesha tanpa sengaja menangkap tatapan Jairo yang fokus padanya.

"Kenapa? Makanan kamu kurang?" tanya Janu.

Jairo menggelengkan kepalanya. Kembali menunduk pada makanannya. Butuh beberapa menit hinggap akhirnya meja di ruangan itu akhirnya bisa kembali bersih. Karleesha yang datang tidak sedang memiliki kepentingan apa pun selain memuaskan diri menatap wajah Janu. Mereka bersikap biasa saja meski ada Jairo di sana. Janu sendiri tidak masalah karena merasa Jairo adalah anak yang cenderung pendiam. Lagi pula Jairo tidak akan paham dengan hubungan Janu serta Karleesha.

Setelah Karleesha pulang, Jairo duduk santai dengan sibuk memainkan bricks block miliknya yang disimpan di tas yang Agus bawakan tadi. Janu duduk di depan komputernya dan mulai membuat laporan untuk nantinya diberikan pada sang ayah.

"Om bohong, ya?" ucap Jairo.

Janu yang semula fokus mengetik langsung mengalihkan diri. Dia tatap Jairo dengan lurus.

"Apa maksudnya Om bohong?"

"Om bilang nggak suka anak kecil, tapi Om tadi sayang banget sama tante yang bawa bayi di perutnya. Kata papi, bayi di dalem perut perempuan dewasa nantinya jadi anak kecil yang hebat kayak aku."

Janu harus pasrah dengan celetukan Jairo yang luar biasa diluar perkiraan. Sungguh Janu tidak tahu harus membalas sang keponakan bagaimana.

"Om nggak suka anak kecil yang bukan anak Om sendiri."

Janu habis akal untuk menjawab Jairo, jadi hanya jawaban jujur itu yang dirinya bisa kemukakan.

"Oohh, jadi Om nggak suka anak kecil yang bukan anak Om? Berarti tante tadi bawa anak Om, kan?"

Janu menggeram dan memejamkan matanya sejenak sebelum menjawab. "Iya! Jadi berhenti nanya-nanya hal yang nggak seharusnya kamu bahas. Nikmatin aja waktu bermain kamu. Jangan ganggu Om yang lagi kerja, atau Om akan minta Om Agus jemput kamu lagi."

Untung saja ancaman itu mempan. Janu bisa memiliki waktu yang damai untuk kembali bekerja dan Jairo kembali bermain untuk melupakan apa yang didapatinya hari ini. Jairo pasti lupa, kan?

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang