(d) Ikatan

1.6K 343 45
                                    

[Aku mau tanya, sebenernya kalian kalo aku minta target vote dan komen, itu kalian keberatan dan kesel nggak, sih? Ada twit yang sempet lewat di akun IG salah satu penulis, yang ngirim pembaca yang merasa harusnya penulis nggak minta target vote dan komen dan penulis harusnya kasih yang terbaik. Kalo di cerita itu nggak ada vote dan komen, berarti ceritanya nggak layak buat di vote dan komen. Aku pengen tahu pendapat kalian.]

Panggilan video yang Karleesha lakukan sejak tadi sudah masuk dan berdering. Namun, tidak kunjung diangkat. Janu yang membantu sembari menunggu hanya bisa mengamati. Padahal jelas-jelas nomor tersebut online, tapi entah kenapa panggilan tersebut tidak segera diangkat.

"Apa mama kamu kesulitan sinyal? Atau punya anak kecil di rumah?" tanya Janu.

"Iya, ada, punya."

Kalimat balasan itu tidaklah jelas. Iya, ada, punya? Apa yang sedang dijawab Karleesha?

"Maksudnya?"

Karleesha barulah menatap Janu beberapa menit setelahnya. Dia tampaknya kehilangan konsentrasi karena menunggu panggilan tersebut dijawab.

"Maksudnya, mamaku memang punya anak kecil. Beliau melahirkan di usia yang cukup tua waktu itu. Tapi sekarang anaknya udah masuk SD setahuku."

Janu mengangguk paham. "Mungkin ponselnya dibuat main adik kamu kalo gitu."

Dari reaksi yang Karleesha tunjukkan, perempuan itu tidak banyak bicara. Penyebutan kata adik tidak disanggah menandakan bahwa Karleesha menerimanya, kan?

"Arl?" panggil Janu.

"Kayaknya aku harus bilang sama ibu dan ayah kamu kalo panggilan kita nggak diterima," ucap Karleesha dengan optimisme yang hilang.

"Aku akan bantu menjelaskan—"

"Mamaaa! Ada mbak Lele, nih."

Panggilan itu diangkat. Wajah seorang remaja lelaki terlihat di sana. Tidak ada aksen kebule-bulean. Jauh berbeda dengan wajah Karleesha yang jelas cantik perpaduan Indonesia dan Amerika.

"Loh? Karleesha? Ini nomormu?"

Karleesha memasang senyuman yang tadinya menghilang dari garis bibirnya. Janu bersyukur karena mereka akhirnya bisa memiliki waktu untuk bicara.

"Halo, Ma! Ini nomor Karleesha. Apa nggak Mama simpen?"

"Mama simpen, tapi di hape lama. Kontaknya nggak mama simpen di kartu, jadinya hilang semua. Kamu apa kabar? Kalo telepon begini, berarti ada kabar yang penting buat mama, kan?"

Janu memang sengaja tidak langsung menunjukkan diri di kamera. Dia ingin membiarkan interaksi antara ibu dan anak itu berjalan dengan natural lebih dulu. Setidaknya Karleesha dan mamanya memang harus lepas kangen sebelum menyampaikan kabar yang mengejutkan.

"Iya, Mama bener. Ada kabar yang akan aku sampaikan. Aku minta maaf karena baru hubungi Mama disaat mau nyampein kabar penting ini."

"Iya, iya. Nggak apa-apa. Mama yakin kamu terlalu 'sibuk' di Jakarta sampe lupa menghubungi keluarga."

"Aku nggak tahu keluarga yang mana yang Mama maksud," tukas Karleesha membuat suasana menjadi kaku.

Yang di layar telepon menyindir dengan kata sibuk, yang di samping Janu menyindir dengan mempertanyakan keluarga yang mana. Rupanya basa basi di depan tadi bukan kehidupan yang sebenarnya. Janu kira Karleesha dan mamanya akan baik-baik saja, akan akrab-akrab saja, rupanya tetap tensinya tinggi.

"Ya, udahlah. Yang pasti aku mau kasih tahu ke Mama kalo aku mau nikah."

"Akhirnyaaa. Sudah lama mama pengen denger kabar ini. Akhirnya mama bisa denger juga. Kapan? Lamarannya di Jakarta? Mama usahakan datang—"

"Langsung nikah. Di KUA. Tanpa pesta."

Janu terkejut dengan sambutan kalimat tersebut. Pria itu pikir Karleesha akan mengenalkan Janu lebih dulu sebagai calon suami, tapi rupanya Karleesha langsung pada inti permasalahan. Wanita di layar telepon milik Karleesha jelas mampu membaca apa makna dari langsung menikah di KUA, tanpa pesta itu.

"Sudah berapa bulan? Itu nikahnya karena terpaksa?" tanya wanita itu dengan mengumpulkan seluruh ketenangannya.

"Mama kenalan sendiri sama ayah anak-anakku, ya."

Ponsel Karleesha kini berpindah dan menunjukkan wajah Janu yang serba kebingungan.

"Assalamualaikum, Tante. Maaf ganggu malam-malam. Saya Januar Saki, calon suami Karleesha. Sebelumnya saya minta maaf, kami nggak bermaksud mengejutkan Tante. Tapi saya nggak bisa memaksakan diri untuk bawa Karleesha ke Surabaya dalam kondisi hamil."

Wanita yang Karleesha jelaskan namanya sebagai Sri Ningsih, juga Samantha sebagai nama panggungnya itu menghela napas panjang.

"Kamu kalo ada di sini, saya nggak akan tinggal diam. Kamu kasih tahu hal ini disaat putri saya sudah hamil?! Berapa bulan memangnya sampai kamu nggak bisa bawa anak saya minta restu ke sini?!"

"Enam bulan, Tante."

"Sudah enam bulan dan baru akan kamu nikahi?! Kamu yakin ini bukan pernikahan yang mengada-ada?! Saya nggak akan diam saja kalo kamu bukan pria yang—"

"Mama, paling nggak jawab salamnya Janu. Dan harus Mama pahami, yang sulit untuk diajak menikah adalah aku. Mama tahu apa alasanku hingga aku sulit diajak menikah meski aku udah tahu kehamilanku ini membutuhkan ayahnya."

Samantha menghela napasnya berulang kali sebelum menekan keningnya. "Itu masih mengganggumu? Sudah tujuh tahun, kan? Kamu masih memikirkan hal itu? Harusnya kamu langsung bertindak begitu kamu tahu kehamilanmu!"

"Aku nggak mau kejadian mengerikan itu terulang. Aku memastikan apakah pernikahan memang bisa diterima atau tidak oleh Janu. Meski banyak drama, akhirnya aku teryakinkan dengan ucapan keluarga Janu. Kami akan menikah, dengan segala aturan yang keluarga Janu ingin jalankan."

"Kamu hidup dalam bayang-bayang mengerikan itu. Padahal belum tentu itu akan terjadi pada kamu. Bagaimana pun, kejadian itu bukan sepenuhnya salahmu."

"Jadi, sekarang Mama bisa mengatakan itu? Padahal tadinya Mama menilai ada yang salah denganku sampai aku berakhir dikhianati."

"Sudahlah, nggak perlu dibahas. Berikan alamatmu dan mama akan berusaha datang. Mama juga mau menyambut kelahiran cucu yang nggak membutuhkan waktu lebih lama lagi. Apa pun yang sudah terjadi, kamu harus cepat menikah. Mama nggak mau kamu mengurus bayimu sendiri. Pria yang menghamili kamu harus ikut untuk mengurus bayi kalian! Enak aja kalo nanti dia membiarkan kamu ngurus bayimu sendiri!"

Setelah pembicaraan yang kebanyakan tidak Janu pahami itu selesai. Karleesha menghela napas lega. Sedangkan Janu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan Karleesha sebelumnya hingga dibicarakan bersama mamanya dengan agak sengit.

"Akhirnya selesai," gumam Karleesha.

"Ya. Akhirnya mama kamu bisa memberikan izin. Tapi, Arl ... apa yang terjadi tujuh tahun lalu? Kenapa kamu dan mama kamu mengatakan banyak hal yang nggak aku pahami?"

 apa yang terjadi tujuh tahun lalu? Kenapa kamu dan mama kamu mengatakan banyak hal yang nggak aku pahami?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang