(c) Ikatan

1.7K 308 20
                                    

[Dramanya perdebatan mereka itu ada di special chapter, lohhh. Boleh diintip ke Karyakarsa aku, ya dan nikmati drama pasangan ini.😉]

Setelah drama perdebatan yang diakhiri dengan permintaan maaf serta seks yang tanggung, mereka berdua memutuskan untuk turun mengisi perut Karleesha yang keroncongan. Anak-anak Janu memang sepertinya sedang berusaha menghukum pria itu untuk tidak dulu menyentuh mama mereka. Membuat gairah yang tadi berdiri tegak menjadi sulit mencari tempat terbaiknya.

“Makan di sini atau bawa pulang?” tanya Janu.

“Di sini aja.”

The babies okay?

Karleesha mengangguk, tidak terlihat mengalami masalah dengan bayinya sama sekali. “Oke.”

Menunggu makanan datang, Janu memesan soto betawi dengan dua piring nasi. Sedangkan Karleesha memilih menu sup ayam dengan satu piring nasi saja, karena memang biasanya dia makan normal satu piring nasi saja.

“Pesenin aku mie tek tek, dong.”

Karleesha yang melihat pengunjung lain memesan mie tek tek malah menginginkan menu tersebut. Memang mood ibu yang sedang hamil tidak mudah ditebak. Apalagi urusan makanan, cepat sekali berubahnya.

“Nanti habis nggak?” balas Janu.

“Kan, ada kamu kalo nggak habis.”

Janu hanya bisa melirik calon istrinya dengan helaan napas. Pria itu tidak memiliki argumen yang bisa disampaikan, karena memang Janu tidak akan menolak menghabiskan makanan Karleesha ketimbang membuangnya.

Menuruti keinginan ibu dari anak-anaknya adalah cara yang paling bagus. Setelah itu menunggu semua menu sampai di meja mereka. Minuman yang dipesan tidaklah rumit, air mineral saja. Janu melarang Karleesha dengan keras memesan minuman macam-macam, meskipun dengan alasan jus dengan alasan, “Gulanya banyak. Mending bikin sendiri.”

Karleesha tidak bisa mengabaikan larangan itu. Karena memang kesehatan perempuan itu adalah yang utama saat ini. Makanan terlalu lebih gula, lebih garam, semuanya yang serba berlebihan tidaklah bagus. Ini saja baru sekarang kembali jajan setelah selalu sibuk masak sendiri.

“Aku mau hubungin mamaku nanti malam,” ucap Karleesha pelan.

Janu menatap calon istrinya itu tanpa menanggapi apa-apa. Sedang menunggu apa yang akan Karleesha sampaikan lagi.

“Gimana menurut kamu?” ucap Karleesha.

“Aku udah bilang, kalo ada yang bikin kamu nggak nyaman aku nggak akan memaksa.”

“Nyaman nggak nyaman harus tetap aku lakukan. Tapi kamu mau temenin aku ngomong sama mamaku? Kamu mau jelasin bareng aku?”

“Jelas mau. Kalo mama kamu deket, aku bahkan mau aja bawa kamu dan ngomong langsung. Aku sudah seharusnya yang maju secara langsung. Bukan via telepon.”

“Kamu beneran mau ke mama langsung? Ke Surabaya?” tanya Karleesha.

“Malam ini?”

“Siapa tahu kamu mau ajak aku ke Surabaya langsung.”

“Aku aja kalo kamu mau nemuin langsung, kamu di sini. Kasihan anak-anak.”

Diam setelah itu yang Janu dapati. Pria itu memperhatikan ekspresi yang Karleesha tunjukkan, dan tidak menyangka bahwa semu merah di pipi yang tampak di wajah perempuan itu.

“Apa?” ucap Janu.

“Hm? Apa yang kamu maksud?”

“Kamu malah bersemu malu-malu, padahal aku nggak ngapa-ngapain.”

Karleesha tersenyum dengan ucapan Janu. “Ucapan kamu itu, di telingaku kayak terdengar romantis aja. Anak-anak suka banget denger begini.”

“Ada-ada aja. Harusnya yang romantis itu kalo aku bawa kamu ke restoran mahal, ngelamar kamu di sana. Bikin skenario mahal dengan minta pihak restoran bawain—”

“Papa berisik banget kalo udah ngomong, ya, anak-anak? Mama capek dengernya.” Karleesha menukas ucapan Janu dengan cara yang paling menyenangkan.

Bagaimana Janu mampu menyembunyikan senyumannya dengan sikap Karleesha ini? Dia senang karena mendapati perdamaian mereka memiliki perkembangan yang bagus pula.

“Loh, loh, loh. Papa kalian senyumnya lebar banget. Keliatan ganteng, ya. Mama juga seneng liatnya. Papa kalo sering senyum pasti bikin kita seneng, ya, anak-anak?”

Janu merapatkan tubuhnya dan berbisik, “Jangan bikin aku pengen makan kamu di sini, Arl.”

“Oh, papa kalo salting pengen makan mam—”

Janu membekap mulut Karleesha karena ucapan itu bisa didengar oleh pegawai yang datang membawa pesanan mereka. Baru soto betawi dan sup ayam yang datang, mie tek tek belum.

“Ih, biasa aja, dong, Nu. Kamu kayak anak remaja aja. Padahal kamu yang lebih banyak pengalaman dari aku kalo soal begituan.”

“Aku itu pemalu—”

“Tapi kamu yang bisikkin aku duluan kayak gitu. Suruh siapa mancing mulutku jadi lebih bringas di sini.”

“Arl ...”

Karleesha tertawa dan akhirnya berhenti memberikan godaan pada pria itu. Mereka menikmati makanan, menyendok masing-masing menu. Janu sedang menikmati makanannya di satu piring yang kuah soto betawinya dituangkan ke sana. Tahu-tahu saja Karleesha mengambil mangkuk soto betawi milik pria itu.

“Arl?”

“Sup aku buat kamu aja, ya. Anak-anak lebih seneng sama sotonya.”

Karleesha memang selalu mampu mengejutkan Janu. Perempuan itu bahkan tidak terlihat peduli dengan raut keberatan Janu. Bukan karena tidak peduli, perempuan itu tahu, dia hanya tak mau meluangkan waktu dengan perdebatan tak jelas.

“Mau aku pesenin yang baru?” tanya Karleesha.

“Nggak usah.”

“Aku pesenin, buat di rumah. Jangan ngambek, ya, Papa.”

Karleesha beranjak menuju stan makanan tersebut, benar-benar memesankan untuk dibawa pulang. Bagaimana Janu tidak heran dengan perempuan satu ini? Sikap yang beginilah yang membuat Janu terkadang merasakan malu karena Karleesha bisa lebih tenang dan tidak hobi merajuk.

“Udah aku pesenin. Maaf, ya, aku ambil sotonya. Nanti makan lagi di rumah. Siapa tahu kamu laper habis ngomong sama mamaku.”

Karleesha dan ketenangan inilah yang membuat Janu ingin mempertahankan perempuan itu. Mempertahankan sosok yang tidak mudah menyerah dan tidak suka mendorong Janu pergi meski harus diyakinkan begitu keras. Janu rasa tidak akan sulit belajar jatuh cinta untuk Karleesha. Iya, tidak akan sulit.

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang