(d) Cerita

1.7K 345 42
                                    

[Keliatannya down yang baca, ya. Komennya gak tembus 30 bab kemaren. Kalo gitu updatenya santuyy aja ya? Sampe beneran komennya 60 an lebih. Happy reading.]

Setelah memastikan door lock kembali terpasang dengan baik, Karleesha akhirnya bisa tenang. Baru bisa menyantap pancake buatannya sendiri yang baru dicetak beberapa saja akibat kelakuan Janu yang berpikir macam-macam hingga menyebabkan drama berkepanjangan. Sebagai hukuman, pria itu mendapatkan jatah mencetak adonan pancake yang tadi ditinggalkan Karleesha.

Satu hal yang harus Karleesha hadapi ketika membiarkan Janu di dapur; menggosongkan masakan. Sebab pria itu selalu diladeni oleh ibunya, tidak pernah mandiri sendiri, maka tidak heran canggung ketika di dapur. Namun, Karleesha tidak akan mengambil alih meski Janu menggosongkan masakan. Nantinya malah pria itu tak mau belajar menggunakan skill di dapur. Sekali pun karena terpaksa, lama-lama juga akan terbiasa. Karleesha tak mau memanjakan pria itu, Janu harus bisa membantu tugas rumah jika mereka resmi menjadi pasangan.

“Itu dilihat baik-baik, kalo udah sekiranya kecokelatan, dibalik aja.”

“Tapi tadi aku balik malah hancur.”

“Itu karena kamu baliknya pas masih lembek, belum padet! Pake insting, dong, Nu. Kamu pinter pake insting di atas ranjang doang, sih.”

“Aku nggak lahir dari insting, Arl. Di ranjang, itu secara naluriah aku memenuhi keinginan untuk terpuaskan. Sedangkan kalo masak aku nggak tahu kapan si objek masakan mau dibalik, kapan mau diangkat—”

Karleesha menggelengkan kepalanya dengan pasrah. Balasan Janu tidak akan pernah bisa nyambung jika menyangkut masakan.

“Apa yang Nova katakan ke kamu tadi?”

Karleesha memotong pancake, mencampur madu dan kental manis lalu potongan buah untuk masuk ke mulutnya lebih dulu. Setelah merasakan mulutnya segar, dia baru menatap punggung Janu yang berkeringat karena kegiatan masaknya. Iya, punggung Janu tanpa sehelai kain. Pria itu masak tanpa atasan dengan alasan panas.

“Kamu tahu dari mana kalo adik kamu ke sini?”

“Aku tadi habis ketemuan sama Agus. Dia yang bilang kalo Nova ke tempat kamu. Makanya aku buru-buru ke sini. Aku nggak tahu apa yang bakalan Nova katakan, aku takut kamu bakal merasa nggak nyaman dan makanya nggak angkat telepon dari aku.”

“Itu sebabnya kamu dateng dengan bala bantuan dan merusak pintu aku? Karena mengira pembicaraan aku dan adik kamu sangat alot, dan kamu berpikir aku akan melakukan hal konyol?”

Janu tidak menjawab ucapan itu dengan cepat. Dari diamnya, Nova sudah mengerti yang semua Janu lakukan karena memang untuk memastikan Karleesha merasa tetap nyaman dan aman.

“Sejujurnya aku suka ngobrol sama adik kamu. Aku nggak merasa tertindas, justru aku merasa terhibur karena celetukannya yang beda banget dari kamu. Tapi Nova mirip sama adik kamu Agus.”

“Terus kenapa kamu mengabaikan telepon dari aku?”

“Aku nggak mau angkat telepon dari kamu karena aku merasa kamu mungkin butuh waktu buat sendiri. Kamu nggak pulang ke rumah orangtua kamu, juga nggak ke sini. Aku nggak tahu kamu ada dimana, dan aku lagi males dengerin kamu yang lagi menjauh dari semua orang.”

Karleesha tidak suka dengan sikap Janu itu, menjauh dari semua orang ketika pikirannya buntu. Kebiasaan itu mungkin akan Karleesha konfrontasi nantinya. Sekarang Janu boleh bebas menentukan sikap sesuai yang diinginkan sendiri, ketika menikah tidak akan lagi.

“Aku butuh waktu buat berpikir.”

Karleesha tertawa pelan dengan ucapan Janu itu. “Oh, jadi kamu doang yang butuh waktu buat mikir, ya? Jadi kebiasaan kamu adalah butuh waktu sendiri semau kamu kalo butuh waktu berpikir? Itu juga akan kamu lakukan kalo ada di dalam pernikahan?”

Nah, kan! Malah Karleesha mengkonfrontasi Janu sekarang karena merasa ucapan pria itu yang tidak Karleesha sepenuhnya setujui.

“Kamu juga butuh waktu sendiri untuk berpikir, Arl. Itu sebabnya aku kasih kamu waktu untuk mikir dengan nggak ke sini. Apa yang bisa aku lakukan? Kamu nggak mau aku ajak nikah. Makanya aku menjauh untuk memikirkan cara lain yang bisa diterima oleh kamu dan orangtuaku.”

“Kamu, tuh, nggak pernah paham kalo aku jelasin ke kamu jawabannya, ya? Aku nggak mau nikah selama hamil. Aku ingin kamu memikirkan kembali apa yang kamu mau sebenarnya. Kamu harusnya mikir jauh, kalo menikah tanpa rasa nyaman atau minimal suka, keterpaksaan bakalan membuat kamu kesulitan menjalani pernikahan. Kalo kamu udah dapat jawaban bahwa kamu suka dan benar-benar mau menikah sama aku, kasih tahu aku! Aku bisa mempertimbangkan segala argumentasi yang kamu berikan. Tapi apa? Kamu sibuk menanyakan apakah aku mau nikah sama kamu atau nggak tanpa ada konteks yang jelas.”

Janu mematikan kompor dan membalikkan tubuh. Dia mendekat pada Karleesha yang sudah mulai tegang dengan pembahasan ini.

“Aku selalu bilang bahwa ada anak—”

“Anak? Kamu mau menikah karena anak? Apa mereka akan kamu salahkan ketika kamu merasa terjebak menikah dengan aku suatu saat nanti? Apa mereka bisa menanggung penyesalan kamu yang mungkin akan muncul begitu acak? Aku mau kamu menggali alasan paling masuk akal, Nu. Kamu menggali ke dalam pikiran dan hati kamu sendiri. Apa faktor terkuat selain anak jika kamu benar-benar ingin menikah dengan aku? Dan alasan kuat apa yang bisa kamu tawarkan ke aku untuk menikah dengan kamu? Sebab kita berdua sama-sama tahu, cinta bukan alasan terkuat kita sampai di titik ini.”

Karleesha tidak akan memberitahu Janu bahwa perempuan itu sudah meminta waktu bertemu dengan keluarga Janu untuk membahas pernikahan. Biar saja nanti Janu tahu dari mulut keluarganya sendiri, sementara itu, Karleesha ingin melihat apa yang bisa pria itu katakan dengan konfrontasi ini.

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang