(d) Sidak

1.8K 364 99
                                    

[Yuhuuu! Bang Agus itu punya daya tarik sendiri, guys. Makanya ceritanya aku buat nanti diakhir. Di sini kita bisa belajar, kalo yang tua dan dewasa belum tentu oke dalam menyelesaikan masalah, loh. Kadang orang yang udah dewasa malah mikirnya mau yang simple (menurut mereka), tapi nyatanya rumit bagi orang sekelilingnya. Soalnya orangtua kebanyakan dipikirin, dilakuinnya mah nggak🤭 cenderung menghindari malahan. Yudah, komen yang banyak sampe lebih dari 60 kalo mau double update, ya. Happy reading!]

Janu tahu dia sudah membuat hal yang sangat mengecewakan dengan tidak menikahi perempuan yang mengandung anaknya. Juga lebih parahnya merahasiakan kondisi Karleesha yang sebenarnya bisa saja dia ungkapkan sejak awal agar orangtua Janu ikut membujuk perempuan keras kepala itu. Harusnya memang Janu lebih tegas untuk menghadapi Karleesha, bukan malah mengikuti apa yang perempuan itu mau. Padahal tahu bahwa sikap yang diambil Karleesha itu salah.

"Janu?" panggil Karleesha pelan.

Mereka masih duduk di sofa keluarga. Masih dengan Janu yang terdiam karena hal semacam ini pasti membuat pria itu terpukul. Meski lebih pantas orangtua Janu yang terpukul dan terkejut dengan apa yang mereka dapati.

"Kamu dengar sendiri, Arl. Orangtuaku menginginkan pernikahan. Aku masih akan terus membujuk kamu untuk menikah, tapi aku nggak tahu sampai kapan kamu akan bertahan dengan sikap keras kepalamu."

Janu bisa melihat wajah Karleesha yang penuh beban saat ini. Apa karena mereka awalnya tidak saling menyukai hingga perempuan itu sangat terbebani dengan ajakan menikah dari Janu?

Janu terus menunggu jawaban Karleesha. Dia ingin mendengar apa jawaban yang Karleesha punya. Entah alasan apalagi yang akan perempuan itu sampaikan kali ini.

"Kamu benar-benar ingin menikah berdasarkan keinginan kamu sendiri?" tanya Karleesha.

"Kalo orangtua kamu nggak mengatakan ini, apa kamu juga akan tetap dengan pendirian kamu? Menikah denganku apa pun yang terjadi?" tambah perempuan itu lagi.

Janu tidak mengerti dengan arah pertanyaan itu. Janu jelas menjawab bahwa dia memang bersedia menikah dengan Karleesha, terlepas dari perintah orangtua Janu atau tidak.

"Aku jelas mau menikah dengan kamu karena keinginanku sendiri. Dari awal aku memang meminta kamu menikah denganku, kan? Aku udah berulang kali mengajak kamu menikah, tapi kamu masih nggak percaya kalo aku menikah karena keinginanku sendiri?"

Ketika perdebatan itu agaknya semakin alot, Nova datang dari arah kamar orangtua mereka. Teija dan Agus mengikuti seraya menutup pintu kamar tersebut dengan pelan.

"Kalian udah sarapan?" tanya Nova pelan.

"Sudah," jawab Janu.

"Saya nggak keberatan kalau harus sarapan dua kali, karena saat masuk tadi saya mencium aroma masakan yang enak. Boleh kalau saya bergabung?"

Janu melirik Karleesha yang tampak tidak terganggu sama sekali dengan tatapan bingung saudara Janu. Untung saja Nova mengangguk dan tersenyum pelan. Tidak ada tanda-tanda menghakimi dari adiknya itu.

Mereka menuju meja makan bersama. Teija mendapatkan tugas untuk membawakan dua piring nasi goreng ke kamar ayah dan ibu. Sedangkan Agus bertugas membawa keponakannya duduk tenang dan membawa kembali piring nasi goreng yang belum berkurang banyak.

"Jairo, ini kenapa nggak dimakan nasi gorengnya? Bukannya tadi disuapin sama papi?" omel Nova.

"Papi tadi suapinnya lama, sambil kupingnya ditempelin ke pintu soalnya. Jadi, aku sibuk main mobilan aja."

Kejujuran itulah yang akhirnya hanya bisa Nova respon dengan helaan napas. Rupanya Teija juga penasaran dengan pembicaraan orang di dalam. Janu akhirnya mengerti kenapa tadi Agus dan Teija bisa kompak langsung masuk dan mengamankan ayah mereka yang tangannya berdarah untuk dibawa ke kamar. Rupanya karena dua pria itu kepo mendengarkan apa yang terjadi dan melupakan tugas menjaga Jairo yang sedang bermain.

"Kamu pasti yang cerita sama bubu kamu, kan?" ucap Janu pada keponakannya yang tidak takut sama sekali ketika ditatap tajam.

"Kan, Om bilang aku nggak boleh cerita siapa yang kasih aku hadiah. Aku beneran nggak bilang. Aku cuma cerita kalo Om punya anak sendiri dan Om suka anak kecil, bukan nggak suka."

Suasana di meja makan masih saja agak menegangkan, tapi untungnya Nova menengahi. "Aku yang akhirnya cerita ke ibu dan ayah. Aku pikir Bang Janu hamilin istri orang, kalo bener begitu masalah bisa tambah keruh. Untungnya nggak begitu."

"Itu nggak ada untung-untungnya, sih, Nov. Soalnya drama yang dibikin sama kakak tertua kita ini nggak ringan. Padahal biasanya dia yang selalu kasih masukan menjunjung tinggi pesan moral, tapi seperti yang kita tahu ... nggak ada manusa yang sempurna, termasuk kakak kita sendiri."

Agus memang selalu mampu untuk mengeluarkan celetukan yang tidak terduga tanpa diminta. Untuk kali ini memang benar, dan tidak ada yang membantahnya, termasuk Janu sendiri.

"Yang salah saya, karena nggak bersedia menikah dengan kakak kalian."

"Duh, Mbak. Jangan dibelain begitu. Tadi Mbak juga salah, kenapa belain Bang Janu di depan ayah? Kesannya bang Janu itu pengecut yang berlindung dibalik perempuan yang lebih dewasa dari dia."

Lagi dan lagi Janu tertohok dengan ucapan adiknya yang memang benar. Janu merasa dirinya tidak berguna ketika Karleesha menjelaskan semua itu. Juga sikap Janu yang bukannya meminta maaf pada orangtuanya, tapi malah menyebutkan ketidaksediaan Karleesha untuk menikah. Ketika dipikirkan lagi saat ini, sikapnya tadi memang sudah pantas disebut pengecut.

Nova yang tetap memastikan putranya melahap sarapan dengan baik mulai ikut bicara juga.

"Jadi, kalian nggak mau membesarkan anak itu bersama sebagai orangtua? Udah sepakat untuk jadi orangtua tapi nggak jadi pasangan? Kenapa? Karena beda agama?"

"Kita seiman, Nova. Makanya aku berani ajak dia nikah. Tapi dia nolak terus, katanya nggak mau nikah selama kehamilan."

"Jadi, Mbak Karlee ini mau nikah setelah melahirkan?" tanya Nova pada Karleesha.

"Saya mau menikah dengan Janu jika dia sudah benar-benar yakin dan mau, bukan karena saya hamil dan dia terpaksa menikahi saya karena permintaan orang lain. Saya nggak ingin Janu menyesalinya nanti seiring pernikahan yang berjalan. Saya nggak menikah untuk bercerai. Kalau Janu hanya menikah karena anak-anak, saya yakin dia akan menyesali keputusannya yang masih bisa mencari jati dirinya dan pasangan yang dia butuhkan untuk menghabiskan masa tua bersama."

Nova, Agus, dan Teija seketika saja meringis. Pernah ada drama seperti itu yang terjadi pada Nova dan Teija. Namun, mereka bisa melaluinya juga.

"Orang makin tua kenapa malah makin ribet, ya, mikirnya? Kenapa nggak dijalani dulu gitu? Siapa tahu itu pemikiran berdasarkan ketakutan di masa depan aja, padahal apa yang belum terjadi nggak perlu ditakutin. Jalanin nanti juga bisa diatasi. Nggak usah kebanyakan mikir, bisa nggak, sih?" komentar Agus sinis.

Janu menghela napasnya, baru kali ini dia dinasihati anggota keluarga yang lebih muda. Padahal sebelumnya nasihat dari orangtua saja dihempaskan begitu saja. Kali ini, dia dan Karleesha mendapatkan serangan bombastis mengenai pemikiran perempuan itu yang memang rumit. Meski begitu, Janu berharap Karleesha bisa mengubah keputusannya yang tak mau menikah meski harus mendengar kalimat pedas dari adik Janu sendiri.

Wrong Turn, Embryo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang