7; wife out!

428 50 3
                                    

"Oh hai!" sapaku tersenyum hangat, siapa sangka bertemu seseorang yang baru kami kenal di taman tadi.

"Halo, Uncle Danendra! Boggie!" Queen menyapa keduanya, dan tentu dia sangat senang mengusap puncak kepala anjing mungil berbulu tebal putih susu itu yang katanya berjenis bolognese.

Danendra ikut duduk di kursi di sampingku. "Kalian sedang memesan lukisan?"

"Tidak, kami sedang mengantre lemonade," candaku, sudah tahu bertanya. Kami hanya tertawa bersama.

"Aku jadi mau, tapi hanya untuk Boggie. Apa Bapak bisa membuat anjing saya seakan seperti berpakaian raja? He is my king," kata Danendra, ke sang pelukis.

"Tentu, Tuan." Si pelukis tersenyum seraya mengangguk.

"Oh wow, keren sekali." Kami baru sadar ternyata dia sudah setengah jalan, wajahku dan Queen mulai tampak jelas, lukisanku yang duduk berdekatan dengan Queen ada di sana.

"Queen, apa kamu mau digambar bareng Boggie juga? Sepertinya akan lucu," kata Danendra.

"Mau! Mom, boleh, kan?"

"Kalau begitu aku mau dua, foto Queen dan Boggie memang imut." Kami berbincang seiring pesanan gambar kami dibuatkan pria pelukis itu, dan tak lama dia menyelesaikan potretku dan Queen.

Begitu mirip, sejenis realis, tetapi goresan warna di kanvas begitu khas hingga terkesan begitu estetik. Aku berdecak kagum, akan aku pajang ini di ruang tamu. Indah sekali.

"Mommy suka?" tanya Queen, memelukku.

Aku balik memeluknya. "Not like it, I LOVE it!" Queen tertawa akan jawabanku, aku mencium puncak kepalanya kemudian. "Mom akan memajangnya di ruang depan, agar semua orang melihat betapa cantiknya Ratu Mommy!"

"Mommy juga sangat cantik! Hihi." Manisnya putriku ini.

"See, kalian memang objek yang indah untuk diabadikan." Oh, aku hampir lupa jika ada Danendra di sini.

Kami kembali berbincang hal-hal remeh temeh seraya menunggu pesananku yang kedua, karena aku baru memesan setelah Danendra jadi aku seakan menunggui lukisan pria itu jadi. Begitu cantik kala putriku digambar khas pakaian kerajaan, dengan anjing mini berpakaian royal, luar biasa imajinasi para pelukis.

"Aku akan memajang ini di studio miniku, pantas untuk jadi koleksi," kata Danendra, tertawa.

"Oh, wow, kamu punya studio mini?"

Danendra mengangguk. "Ya, tapi studio untuk streaming sebenarnya, profesi utamaku adalah streamer."

"Oh wow, streamer? Sejenis konten kreator?" Dia menggedikan bahu.

"Sepertinya, aku biasa menjadi reviewer game baru atau sejenis, bermain game sih paling utama." Aku mengangguk paham, game rupanya, aku tak bersinggungan soal hal tersebut tetapi kurasa gamer profesional bayarannya besar. Pantas saja, sih, pakaian Danendra, meski terlihat sederhana, aku tahu persis mereka bermerk. Terutama kameranya, kamera bergaya antik itu kutaksir mungkin berkali lipat UMR.

"Wah, Uncle bermain game?" Queen tampak antusias, tetapi sekilas menatapku dia menunduk.

Aku dan Victor memang pernah bilang, game bisa mengurangi konsektrasi belajarnya, melarangnya ini itu selain belajar dan menjadi anak teladan. Oh, aku menciptakan robot yang takut padaku, ibu macam apa aku ini?

"Iya, Uncle bermain game, kamu mau bermain game juga?" tanya Danendra hangat. "Kalian bisa berkunjung, tenang saja aku tak akan jahat, tetanggaku pasti akan membunuhku." Dia tertawa pelan.

Aku rasa dia memang bukan orang jahat, tetapi yah kami baru kenal.

"Mungkin kapan-kapan kita akan ke sana. Dan oh, boleh aku tanya, game apa yang populer dan cocok untuk anak seusia Queen akhir-akhir ini, aku rasa tak ada salahnya membelikan itu, kan?" Mata Queen berbinar mendengarnya, aku tersenyum manis.

"Oh, usianya tujuh tahun kan? Aku sarankan simulasi make up, atau sejenisnya, permainan sederhana yang ...." Danendra menjelaskan banyak hal, Queen juga kadang beropini, aku mendengarkan itu semua seraya mengangguk mengerti.

Yah, aku akan membelikan itu untuk Queen, mau Victor akan murka atau apa, terserah. Anakku butuh hiburan, bisa-bisa dia mimisan kemudian pingsan karena otaknya terlalu tertekan. Selayaknya aku kemarin.

Tak lama berbincang, nyatanya lukisan terakhir yang kami inginkan jadi, tetapi aku terkejut karena yang kami minta berbeda.

"Eh, uh oh ...." Danendra tampak kikuk.

"Oh, aku dengar Tuan Putri ingin berfoto dengan Daddy-nya, ini bonus, Nyonya. Apa keliru?" Aduh, Danendra disangka suamiku. "Kamu jangan berlambat-lambat, lamarlah wanita ini."

Damn, aku kaget. Di luar dugaan, sepertinya pelukis ini menyangka aku janda, dan Danendra pria yang ingin mendekatiku. Pastilah dia mendengarkan percakapan basa-basi kami.

Danendra tampak mengangkat tangan seraya menggeleng. "Uh ...." Dia tampaknya kehabisan kata-kata.

"Tapi Uncle Danendra bukan Daddy-ku, Daddy ada di rumah dan sibuk bekerja." Dan akhirnya, ketahuanlah, aku bukan janda ataupun single parent. Aku menatap Danendra, ekspresinya kikuk, tetapi entahlah sulit mengartikannya.

"Uh oh, kalau begitu mohon maaf, Nyonya, Tuan Putri, saya tidak bermaksud ...."

"Tak apa, Pak. Saya akan menyimpan ini." Setelahnya, aku dan Queen berdiri, mengambil lukisan itu kemudian menyerahkan beberapa lembar uang merah padanya. "Lagipula, hubungan kami rumit."

Aku sedikit melirik Danendra, yang kulihat menarik kedua tepi bibir ke atas sekilas. "Kami duluan, ya, Danendra, Pak. Terima kasih atas lukisannya."

"Kembali, Nyonya, Tuan Putri."

"Dah Uncle Danendra!" Danendra melambai saja, dia masih diam, dan kami pun berbalik seraya beranjak pergi.

"Kamu mau lukisan seperti tadi?" Aku bisa mendengar pertanyaan pelukis itu seiring kepergian kami, entah apa jawaban Danendra aku tak tahu.

"Mommy, bagaimana dengan kejutanku?" tanya Queen antusias.

"Tentu saja Mommy ingat, Sayang. Cuman, apa kamu gak mau menghabiskan permainan di sini dulu?"

Tentu Queen tak menolak, kami bermain ria ke ragam wahana yang ada, dan sepertinya tak bertemu Danendra lagi entah ke mana pria itu. Lalu, setelah puas bermain, dengan rasa lelah, aku menawarkan makan malam di luar. Khusus hari ini, persetan dengan diet ekstrem, aku mau makan yang Queen inginkan. Kue manis, junk food, bruh satu kali makan begini tak akan menggandakan berat badanku.

Lalu sentuhan terakhir ....

"Wah, toko buku, Mom?" Aku menatap Queen, memegang pipinya lembut.

"Kamu suka dongeng apa, Sayang?" Aku ingat dulu Queen, yang pernah kesulitan tidur, meminta dibacakan dongeng sederhana olehku.

Namun saat itu, aku sebagai istri pemimpin, disibukkan banyak hal lain. Dia berikutnya hanya bersama Nani, tanpa ada kesempatan bersamaku apalagi ayahnya yang tak peduli, jadi mulai saat ini waktu-waktu kami yang pernah hilang akan aku bangun kembali.

Mata Queen berbinar gembira, kami masuk ke toko buku itu, dan membeli buku dongeng yang dia mau.

Lalu setelahnya ....

"Sayang, ini terlalu malam untuk kita pulang, bagaimana kalau kita menginap di hotel saja sebentar?" tawarku, bukan tanpa alasan, aku malas kalau Victor ada dan mulai nyerocos tak penting, mengganggu kesenangan kami, entah dia peduli hal itu atau tidak.

Queen mengangguk, dia tampak menguap berikutnya dan aku tahu dia tak bisa menolak akan hal itu.

Kami pun menuju hotel terdekat, memesan kamar untuk semalam, sedikit membersihkan diri, dan mulailah aku menidurkan Queen yang sudah mengantuk. Namun, dia amat antusias kala aku mulai membacakan dongeng untuknya ....

Wife Out! [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang