13; wife out!

398 48 5
                                    

Hari ini Queen pulang sedikit lebih awal, dan aku tak ada jadwal kick boxing, jadi aku memanfaatkan ini ke tempat yang sangat amat jarang aku temui tetapi akhirnya aku ke sana.

Ke mana lagi jika bukan rumah orang tuaku.

Rumah ini dulu hanya gubuk reyot jelek, kemudian disulap mewah dengan indah dan layak huni.

"Cucu Grandmaaa!"

"Grandma, Grandpa!" teriak Queen mengambur pelukan pada kakek neneknya itu.

"Ibu, Bapak," sapaku hangat, mereka tersenyum manis. "Maaf gak sering berkunjung, Pak, Bu."

"Gak papa, Sayang. Ibu sama Bapak paham kamu sibuk," katanya, aku menatap sendu mereka, kesibukan apa? Menghancurkan diri sendiri. Sekarang, aku akan lebih sering ke tempat orang yang menyayangiku setulus hati ini.

Kami pun dipersilakan masuk, orang tuaku langsung memerintah ART mereka guna menyambut kami. Oh, harusnya anak ini, aku, yang mengurus orang tua manula. Maafkan aku, Bu, Yah.

"Kalian cuman berdua aja? Mana Victor?" Yang Ibu dan Ayah tahu soal Victor, dia menantu sempurna tanpa cacat sedikit pun.

Dia baik, hanya di hadapan mereka, demi menutupi sifat toxic-nya di mataku. Pandai akting dan selama ini aku menutupinya, tetapi mungkin akan terus aku tutupi karena aku tak mau membebani pikiran tua mereka. Aku bisa mengatasi ini sendiri.

"Biasalah, sibuk kerja, Bu, Pak," jawabku seadanya. Meski entah apa yang dia lakukan di rumah atau entah ke mana, bodoh amatlah.

Aku fokus ke saat ini saja, bersama anak dan orang tua yang aku cinta, kasih sayang di sini begitu nyaman hingga tak mengganggu pikiranku sama sekali. Beda sekali di rumah, amat pengap. Apa aku menginap saja malam ini?

Ide bagus.

Setidaknya aku kira aku bisa bersantai, sampai Bibi, ART-ku di rumah malam itu, menghubungiku.

"Ya, Bi?"

"Nyonya, Tuan Victor pulang dalam keadaan mabuk, Nyonya, saya tak berani masuk ke dalam, dia mengamuk seraya menghancurkan barang, serta memanggil-manggil nama Anda, Nyonya." Begitu katanya, aku terkejut.

Mabuk?!

Tidak, Victor itu sangat narsistik hingga amat menyayangi diri sendiri, menyentuh alkohol begitu haram baginya. Apa dia terlalu frustrasi sampai-sampai tak kuat kehilanganku?

"Bi, panggilkan aja pihak keamanan untuk menenangkannya, saya akan segera ke sana." Perumahan elite itu tak terlalu banyak uluran tangan, berbeda kalau saat ini ia di kampung ibuku.

"Baik, Nyonya."

Aku kemudian menghadap orang tuaku. "Bu, Pak, aku keknya izin titip Queen sebentar, soalnya ada urusan di rumah. Queen, kamu gak papa kan ditinggal?"

"Iya, Mommy. Gak papa."

"Iya, Sayang. Tinggalah gak papa." Aku tersenyum pada mereka, tak mungkin aku membawa Queen hanya untuk melihat ayahnya menggila di rumah. Victor benar-benar keterlaluan kali ini.

"Baiklah, aku akan datang lagi." Setelah urusanku dengan Victor selesai, semoga saja cepat. Mungkin juga aku harus minta seorang dokter menyuntik biusnya.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di rumah, bahkan dari kejauhan aku bisa dengar suara teriakan Victor dari dalam.

"Melissaaaa Isaaac!" Itu namaku.

Aku mendengkus, memakirkan mobil di halaman, dan segera masuk ke rumah. Aku temukan rumah porak poranda, dan mataku tertuju pada Victor yang menghempaskan vas begitu saja. Sementara Bibi serta dua satpam di sana, bukannya memegangi pria itu, malah diam menatap.

"Kenapa kalian enggak memegangi dia?" tanyaku kesal, semua mata kini tertuju padaku, termasuk mata Victor.

"Melissa, what the heck is this?!" Victor mengangkat foto lukisan berpigura yang patah dua dan sobek, menghempaskannya ke lantai, berikutnya foto Queen dan Boggie. "What the heck is this?!"

Mataku melotot. "Kamu gila hah?! Kenapa kamu merusaknya?! Itu hadiah Queen padaku!"

"Kamu memajangnya di rumahku tanpa izin?! Kamu kira siapa kamu?!"

"Hanya karena perkara lukisan ini?! Kenapa hah?! Kamu iri karena gak ada dirimu di dalamnya?!" Aku berteriak sekencang mungkin membalasnya. Oh, kami benar-benar contoh buruk, untungnya Queen tak ada di sini.

Walau sekarang, jadi tontonan tiga orang bodoh yang tak menangkap suamiku, setidaknya panggilkan polisi karena pria ini menggila.

Kini, Victor dengan cepat mendekatiku. "Apa maksudnya anjing ini hah?! Kamu tahu aku sangat tak suka hewan!"

"Itu hanya lukisan, Victor Ozora! Lukisan! Queen memberikannya dengan bahagia padaku! Dia akan sedih melihat ini! Dia akan membencimu! Jika kamu iri kenapa bukan dirimu di sisinya, berusahalah menjadi ayah yang baik mulai dari sekarang! Bangsa*!" Oh, aku kelepasan, aku benar-benar membencinya.

"Aaaaarghhhh!" Victor berteriak, dia ingin menerjangku, dan untungnya dua satpam planga plongo itu menahan pergerakannya. "Lepaskan aku! Lepaskan! Dia wanita tak berguna yang harus diberi pelajaran!!"

"Kamu yang harus diberi pelajaran, Victor." Aku mengeluarkan ponselku, memperlihatkan nomor panggilan darurat kepolisian di sana. "Ini efek jera, karena sudah melakukan kekacauan, pengancaman, dan bahkan nyaris penyerangan padaku!"

"No, you can't do that! This is my house! Get out!!!" teriak Victor. "Get the f*ck out!!!"

Aku mendekatinya yang tak berdaya di pegangan dua satpam itu, meski tetap nyalang dan angkuh, aku tahu dia ketakutan sekarang.

"Vic, aku tak mencium bau alkohol padamu, kamu hanya pura-pura mabuk, huh?" Dia tetap menatapku dengan kesombongannya, tetapi aku bisa merasakan kegugupan di sana. "Aku akan men-dial ini."

"Lakukan saja! Tak usah basa-basi! Kamu yang akan aku seret ke penjara!" teriaknya, ada getaran di suaranya. "Lakukan!" Serak, takut.

"Atas dasar apa? Bukannya kamu yang pihak pelaku sekarang?" Aku melirik CCTV yang ada di sana. "Apa maumu sebenarnya, Vic? Jangan membuat masalah."

"Mauku? Mati saja sana!"

"Vic, aku tak bisa mati, tidak sebelum ajal secara alami menjemputku, tapi jika kamu memang ingin menganggapku mati, aku siap pura-pura menghilang dari hidupmu. Queen tak akan masalah jika dia hanya punya satu orang tua, karena lagipula, yang satunya tak terlihat keberadaannya."

"Sombong sekali kamu, Wanita Miskin! Kamu kira bisa hidup tanpaku hah?!"

"Yes, I can, Vic. Aku masih memiliki saham atas namaku di perusahaan Arjuna, dan aku bisa saja melamar di sana sewaktu-waktu dan dengan kemampuan yang aku punya, aku bisa, Vic. Tentu saja aku bisa."

Victor tampak menggeram, rahangnya lebih rapat.

"Oh, and one more."

Plak!

Aku suka melihat wajah syok Victor kala tangan ini akhirnya bisa menampar wajahnya yang sombong itu tanpa keraguan berarti. Ini kelegaan di ambang batas.

"Kamu ... baru saja menamparku?!"

Aku tak membalas makian Victor, pun berbalik dan beranjak pergi meninggalkannya. Jangan lupakan, aku sebenarnya menghubungi pihak RSJ untuk pria itu. Dia memang perlu penanganan soal mentalnya.

Dan karena ini, aku sadar aku sudah mengibarkan bendera perang pula pada Victor, pria itu bisa melakukan apa saja, dan Queen serta keluargaku paling rentan jadi senjata.

Namun, tenang saja, aku punya kunci dari segala kunci kemenangan sekarang, tak akan aku biarkan dia menyentuh orang-orang yang kusayang sehelai rambut pun.

Wife Out! [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang