4; wife out!

542 52 3
                                    

Sebenarnya, definisi cinta itu apa?

Bagiku, itu hal yang sangat abstrak, tetapi yang aku tahu selama ini hanyalah Victor sebagai wujud nyata, dan jasanya terhadap keluargaku meski aku harus bekerja keras pula untuk itu. Namun, dia pria terbaik di mataku, saat aku di-bully zaman dulu, dia membantuku melawan mereka.

Dia mengajarkanku agar aku tak mudah diinjak lagi, tak hanya ajaran, tetapi memfasilitasi semua hal untuk kami semua hingga aku menjadi wanita berpendidikan begini, walau tak boleh melampauinya tetapi tak masalah.

Aku, ibu, dan ayah, sangat amat mengaguminya dan berhutang budi padanya.

Saat ini, semua sikap kerasnya padaku, semata-mata karena dia pasti amat mencintaiku, agar aku tak mudah diinjak siapa pun. Karena kalau aku lembek, seperti tadi, Romansa gampang menjelekkanku.

"Argh, enggak enggak." Aku menggigiti ujung kuku, frustrasi.

Romansa manipulatif, ucapannya semata-mata agar aku melawan Victor suamiku sendiri, hingga Victor melemah. Dia berusaha mempermainkan rumah tangga kami ... dia berusaha ....

Aku yang mondar-mandir kini duduk di tepian kasur sambil menghela napas panjang. Memegang kening sembari memijatnya.

"Mommy, apa Mommy masih pusing?" tanya seseorang, aku mendengkus pelan seraya mendongak ke sumber suara. Itu jelas Queen, aku yang sudah mengalami lonjakan emosi melihat kehadirannya, rasanya ingin meledakkan itu. Apa dia tak pernah mendengarkan nasihatku soal pintu kamar yang tak boleh dibuka?

"Mommy, aku membawakan minuman jahe untuk Mommy," katanya, agak takut-takut, mungkin karena melihat gesturku saat ini.

Kembali, aku menghela napas, menyabarkan diri, Queen tampaknya mengkhawatirkanku yang tadi minta pulang karena sakit kepala. Aku tak seharusnya marah, tetapi tetap saja satu ini tak bisa aku toleransi.

"Bawalah ke sini," kataku, Queen sedikit tersenyum kemudian melangkah mendekat. Dia memang membawa gelas dengan nampan mini di tangannya. Aroma jahe yang khas dan hangat menguar memasuki indera, sepertinya aku memang membutuhkan itu. "Kamu bikin sendiri?" Aku menyambut dari tangannya.

"Iya, Mommy. Dibantu Nani." Nani adalah sebutan Queen pada babysitter-nya.

"Thanks, Honey, tapi lain kali ...."

"Iya, Mom, maafkan aku." Dia menunduk sendu.

"Kalau begitu, kembalilah ke kamarmu, sebentar lagi guru lesmu akan datang," titahku.

"Iya, Mommy. Siap." Queen tersenyum manis, senyum cantik yang berseri. "Jangan lupa diminum, ya, Mommy. I love you."

"I love you too, Baby." Queen berlari kecil, dia begitu bahagia menyerahkan ini padaku.

I love you, ya?

Aku menatap gelas berisi minuman jahe di tanganku, kembali memikirkan definisi sesungguhnya tentang ... cinta. Sialan, Romansa dan kata-katanya menghantuiku.

Cinta, ketika seseorang peduli padaku.

Seperti yang dilakukan Queen saat ini, dan Victor juga melakukannya.

Namun aku teringat saat melahirkan, aku berjuang seorang diri karena dia sibuk bekerja. Oh, tidak tidak, dia ... terpaksa. Setelahnya pun dia ....

Bahkan tak mengulurkan tangannya merawat anak kami bersama.

"Hentikan tangisan anakmu itu, hei! Aku sibuk bekerja!"

Aku menggeleng keras, itu ... itu tak benar.

Victor hanya kelelahan, karena dia pemimpin perusahaan. Dia hanya butuh ketenangan. Buktinya sekarang dia menyayangi Queen, seperti halnya aku, lalu dia juga ....

Bayangan kemesraan Arjuna dan Romansa yang pernah tertangkap di otakku mulai menyeruak masuk.

Arjuna menggendong putra-putranya.

Arjuna yang begitu nempel dengan Romansa, bermesraan, bahkan padahal dia lelah. Rumornya dia selalu menyempatkan waktu untuk sang istri dan anak. Dekat, hangat ....

Namun itu hanya di luar, aku tahu itu definisi rasa cinta nan dalam, dan bentuk cinta seseorang beda-beda. Victor mencintaiku dengan caranya ....

Ya, kan?

Dia kasar karena ingin mendidikku.

Dia kejam karena tak ingin aku lemah.

Dia ....

Tiba-tiba, Victor masuk ke kamar, aku mendongak dan langsung berdiri karena kedatangannya, entah ke mana dia tadi karena aku pulang berdua saja dengan Queen akhirnya. "Victor ...."

Victor hanya mengecek lemari, dia bahkan tak membalas panggilanku, dia hanya fokus ke entah apa yang dia cari dan ternyata berkas. Setelahnya, seakan aku makhluk halus tak terlihat, dia berjalan keluar dari kamar begitu saja.

Hanya itu.

Dan aku kembali duduk dengan tatapan sendu.

Victor, sebenarnya dia mencintaiku kan?

Tatapannya berbeda jauh sekali dengan Ajun ke Romansa.

Akan tetapi, mereka tak bisa dijadikan patokan, aku rasa ... aku harus mencari tahu lebih rinci. Sendiri. Sebelum memutuskan langkah apa yang aku ambil. Sebagai wanita cerdas, aku harus mengumpulkan ragam informasi akurat, dan menciptakan jawabannya.

Dan jawaban itu, sungguh pedih terasa ....

Toxic relationship.

Hubungan beracun, istilah yang katanya menggambarkan situasi rumah tanggaku. Sesuai definisinya, racun itu merusak, mematikan, dan seharusnya seseorang harus membebaskan dirinya dari sana atau ... hal buruk terjadi.

Dalam hatiku, sebenarnya cintaku yang besar pada Victor berusaha menepisnya, tetapi terlalu banyak fakta yang diungkapkan dalam definisi penjabaran soal toxic relationship. Semua redflag--istilah sifat mematikan--ada pada Victor. Sungguh, saat membaca semua itu, ditambah ngiangan suara Romansa di kepalaku, aku tak mengerti lagi.

Dadaku sesak, sakit, hingga air mata luruh begitu saja. Aku membaringkan diri seraya meringkuk.

Kata-kata Romansa mungkin, awalnya, bisa aku patahkan, tetapi ragam fakta yang dimuat di banyak mulut, jelas menamparku ratusan kali. Semakin aku memikirkannya, semakin aku ... sakit.

Dan semakin aku sakit ... semakin itu pula aku muak.

Aku sangat muak pada diriku sendiri.

Kenapa aku bisa sebegitu cintanya pada pria redflag sepertinya?

"Cih, apa kamu sudah mulai gila menangis begitu?" Mataku membulat sempurna kala suara Victor terdengar, aku menatapnya dalam diam sekarang karena air mataku tak lagi keluar. Dia bahkan tak menatapku dan fokus pada berkas apalah. "Apa kamu kalah lagi dengan Romansa huh? Sudah aku duga, wanita tak berguna."

Tak berguna katanya ....

Aku sempat lupa ragam hal yang selalu aku korbankan untuk pria itu, jatuh bangun, aku selalu di sisinya. Tanpa memikirkan diriku, yang semakin hancur berkeping-keping, aku terus diam begitu sampai akhirnya dia keluar dari kamar.

Benar, menangis memang tak ada gunanya.

Semua sudah terjadi, semua sudah hancur.

Dan Victor benar, aku memang sudah gila.

Dia bilang aku gila kan? Dan dia selalu ingin aku seperti Romansa. Dia wanita gila, dan aku akan jauh lebih gila daripada itu, aku akan melampauinya. Jika itu mau Victor, maka akan aku suguhkan apa saja yang telah dia tanamkan ke otakku.

Senyumku merekah manis.

Dia sudah membuatku jadi pemilik banyak sifat redflag, mungkin saja aku antagonis villain di ragam cerita orang lain, dan sekarang termasuk di kisahnya sendiri.

Tanpa menyeka air mata, aku mengambil ponselku, menelepon seseorang, dan tangan lainnya menyesap minuman jahe yang masih hangat, aku menghela napas lega.

Nyamannya.

"Oh, halo, Sis." Aku tersenyum karena jawaban seseorang di seberang sana.

Saatnya, anjing menggigit majikan.

Wife Out! [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang