5; wife out!

469 40 3
                                    

"Hai, Baby," sapaku, tepat kala Queen menyelesaikan lesnya, anakku itu tengah berkemas sementara sang guru mulai berdiri.

"Mommy!" Queen tampak ceria menatapku. "Mommy sepertinya sudah sembuh."

"Ya, berkatmu, Sayang." Aku lalu menatap sang guru. "Terima kasih."

"Ya, Nyonya. Saya permisi dulu." Setelahnya, guru les Queen beranjak meninggalkan kami berdua, aku menghampiri Queen seraya membantunya mengemasi.

Queen tanpa disangka berhenti, dia menatapku bingung, wajah polosnya terbaca sekali kalau dia kaget aku melakukan ini. Aku tertawa seraya memegang pipi gembulnya. "What?"

"Aku bisa sendiri, kok, Mommy." Dia menunduk seraya tersenyum malu-malu, anakku yang malang haus akan kasih sayang.

Dia satu-satunya sosok yang benar-benar mencintaiku di rumah ini, terbukti saat dia selalu khawatir dan membantuku sebisanya, menenangkanku dalam kekalutan. Kenapa aku terbutakan soal ayahnya yang berengsek itu? Untungnya, Queen menyerap sifat Nani-nya, bukan aku ataupun Victor.

"Tak apa, Mommy ingin membantumu, Sayang." Kami berdua berkemas barang-barang, merapikannya berdua, dan jelas semburat bahagia tampak di wajah putri kecilku yang berusia delapan tahun.

Selesai berkemas, kami tos khas ibu anak. "Jadi, bagaimana lesmu, Sayang?" tanyaku berbasa-basi, hal yang jarang aku lakukan, tetapi harus mulai aku biasakan.

Karena ini, adalah rencana pertama.

"Aku ... tidak terlalu pandai matematika, Mom, maaf."

Aku tersenyum manis. "Hei, tapi anak Mommy yang hebat ini kan pandai hal lain, tak usah berkecil hati begitu."

Mendengarnya, Queen tersenyum malu-malu lagi, dia kelihatan amat manis. Namun, sejenak wajahnya menyendu. "Daddy mungkin akan marah."

"Tak usah dipikirkan, Sayang. Kamu kan sudah berusaha. Oh ya apa kamu puas jalan-jalan tadi? Atau mau jalan-jalan lagi?" tanyaku.

"Jalan-jalan?" Queen bertanya dengan mata berbinar. "Ke mana, Mom?"

"Whatever you want, mumpung ini masih libur, dan harusnya kamu enggak perlu les di hari libur. Mom mungkin akan meringankan waktu belajar, agar kita punya waktu jalan-jalan bersama."

Queen terlihat semakin antusias. "Benarkah, Mom? Aku mau, aku mau ...." Akan tetapi seperdetik, wajahnya murung lagi.

"Abaikan Daddy-mu, Mom yang akan mengurusnya, kamu anak Mommy dan Mommy berhak membahagiakanmu." Ya, sangat berhak, curahan cinta kasih sayangku yang sempat hilang harusnya diberikan pada anakku yang juga mencintai dan menyayangiku.

Cintaku hanya untuk orang-orang yang pantas mendapatkannya.

"Jadi, bagaimana, Sayang? Mau jalan-jalan bersama, tidak?" Tentu, Queen mengangguk tanpa ragu. "Baiklah, ayo kita ke ... coba kamu sebutkan."

"Mom, ayo kita ke pasar malam! Aku ingin membeli sesuatu di sana, untuk Mommy!" katanya, melompat girang.

"Baiklah, ayo, eh tapi ini kan belum malam, Sayang. Kita ke tempat lain dulu, yuk. Namun, sebelum itu, bantu Mommy memasak."

"Yeay, memasak!" Kami berencana piknik, jadi itulah yang akan aku lakukan, setidaknya memasak kecil-kecilan seraya menyiapkan makanan.

"Oh ya, Mommy. Nani ke mana?"

"Nani izin, Sayang." Izin selamanya, tepatnya. Aku memang memecat wanita itu, yang sebenarnya sangat bersikeras ingin tetap bekerja bukan karena gajinya, dia itu babysitter lumayan dicari, tetapi karena takut Queen kenapa-kenapa di tangan kami, aku tak menyangka dia jujur soal itu.

Namun, aku meyakinkan wanita tua itu, kalau aku ingin menjadi ibu yang baik untuk Queen, aku akan berubah, dan dia boleh berkunjung ke sini kalau mau.

"Queen, mulai saat ini, Mommy akan berusaha jadi Mommy terbaik untukmu, Mommy janji akan selalu menyayangi, merawat, dan membesarkanmu sepenuh hati, dan tentunya melindungimu. Nani tak akan bekerja di sini, tapi dia akan mengunjungimu sesekali kok, kamu tak apa kan?"

Queen diam, aku sedikit khawatir, sungguh. Dia pasti sedih karena Nani, ibarat orang tua sesungguhnya, pastilah begitu karena mereka jauh lebih dekat kebanding aku apalagi Victor.

Akan tetapi, tak aku sangka berikutnya, Queen memelukku erat. "Thanks Mommy, I love you."

Hatiku hangat mendengar penuturannya, aku rasa inilah cinta yang benar-benar aku butuhkan, bukan dari pria berengsek yang bahkan entah kapan terakhir kali dia bilang itu padaku. Bahkan sikapnya tak menunjukkan itu sama sekali.

"I love you, more than anything." Queen mendongak dan aku balik memeluknya.

Kami kembali memasak, dan aku merasa memasak dengan Queen seperti permainan seru. Biarlah dapur berantakan, peduli setan, yang terpenting aku dan Queen sama-sama gembira. Kami pun siap-siap berangkat.

"Mommy, apa dapurnya perlu dibereskan?" tanya Queen.

"Nanti saja, kita nanti akan terlambat, ayo, Sayang." Kami pun beranjak pergi, ke taman kota, dan tentunya aku memakai mode senyap pada ponselku agar siapa pun tak mengganggu we time kami berdua.

Menghamparkan kain, meletakkan makanan dan minuman buatan kami, kami duduk santai bersama di sana.

"Mommy, lihat, ada puppy! Kau mau ini puppy?" Ada seekor anjing mungil yang tiba-tiba mendekati kami.

"Eh, Sayang, itu ada cokelatnya, tidak boleh. Ini saja, berikan ini."

"Eh, anjing tidak boleh makan cokelat, Mom?"

"Meski bagi kita cokelat aman, tapi bagi hewan seperti anjing dan kucing, cokelat bisa beracun, Sayang."

"Oh tidak!" Queen langsung menyingkirkan ragam cokelat dari anjing itu. "Tidak, Puppy, ini beracun untukmu. Ini saja ya." Queen memberikan kue bebas gula. Anjing itu makan dengan lahap.

"Uh, oh, maafkan aku." Seorang pria mendekat, dia langsung menggendong anjing mungil itu. "Maaf sekali, tampaknya anjingku mengganggu waktu bersama kalian."

Aku menatap pria itu, dia sepertinya owner anjing ini, pria manis yang kelihatannya masih muda, lalu dari kamera yang menggantung di leher, sepertinya dia fotografer, entah amatir atau profesional.

"Oh, tak apa, dia anjing yang manis, kok." Aku menjawabnya. "Aku memberinya kue bebas gula, jika kamu enggak keberatan."

"Oh, oke." Dia tersenyum.

"Uncle, apa ini puppy milikmu? Siapa namanya? Bolehkah aku bermain dengannya?" tanya Queen tampak antusias.

"Sure, her name is Boggie."

"Hello, Boggie." Pria muda itu tampak menatapku seakan meminta persetujuan, aku mengangguk.

Queen sendiri menatapku sekilas, dan tentu mengizinkannya. Queen girang kala dia mengusap kepala Boggie dengan bahagia.

"Oh benar, maaf tidak memperkenalkan diri, aku Melissa dan ini putriku, Queen."

"Eh, putri? Aku kira kalian mungkin kakak adik." Aku tertawa geli, entahlah, wajahku padahal cukup dewasa. Usiaku 29 tahun. "Uh, oh, maksud saya ... saya Danendra." Dia mengubah nada bicara menjadi formal dengan tatapan kikuk.

"Santai saja, Danendra, tak usah formal begitu. Aku rasa itu pujian aku kelihatan awet muda." Aku tertawa geli.

"Ah, baiklah jika itu mau kamu."

"Sepertinya kamu seorang fotografer?" Aku mulai berbasa-basi dengannya.

"Oh, this?" Danendra menunjuk kamera yang menggantung di lehernya. "Yah, hobi saja, sebenarnya aku payah. Aku hanya suka memotret sekitaran sini."

"Apa kamu keberatan kalau aku minta difoto, bareng anakku? Aku akan bayar, kok."

"Oh, jangan, jangan bayar, aku suka rela. Kalau kalian mau, akan aku lakukan. Kalian kelihatan seperti objek indah yang memang harus diabadikan."

Wife Out! [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang