8. Hotel

57 5 0
                                    

Batuk dan batuk lagi. Sudah lima hari Gevan dilanda penyiksaan ini. Napasnya berat dan terasa sesak, kadang Gevan merasa ia kesulitan bernapas. Dadanya nyeri, juga batuk darah yang selalu ia alami akhir-akhir ini.

Tubuhnya benar-benar tidak sehat, tapi Gevan tetap memaksakan diri untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Dan terjadi lagi, Gevan mengandalkan obatnya yang selama ini tidak ia minum lagi, karena merasa dirinya sudah sembuh.

Cheryl selalu mendengar suara dari kamar suaminya, jelas terdengar bahwa Gevan menderita. Namun Cheryl tetaplah Cheryl, dia bersikap seolah itu bukan apa-apa dan tidak peduli pada kesehatan Gevan.

Hari ini Cheryl sedang mengadakan zoom dengan teman sekelasnya. Dia duduk di sofa ruang tamu dan mendengarkan perkataan guru itu. Tapi suara batuk Gevan membuatnya terganggu. Cheryl menonaktifkan kamera dan speaker di layar laptop itu, lalu menoleh ke belakang dengan raut wajah kesal.

Cheryl melihat Gevan yang sedang memegang sapu sambil terbatuk. "Kenapa, sih?"

Gevan menatap Cheryl saat gadis itu bersuara. Terlihat dari raut wajahnya, Cheryl nampak kesal karena terganggu. "Apa?"

"Lo berisik, kalau sakit di kamar aja udah, gue lagi zoom jadi keganggu," bentak Cheryl.

Tatapan mata Gevan tampak lelah, suaranya serak. "Zoom di kamar aja, ya? Aku harus bersihin rumah dulu," Gevan mengoba membujuk Cheryl dengan nada lembut agar gadis itu tidak marah padanya.

"Males gue kalau harus pindah, lo aja sana yang masuk ke kamar." Cheryl tampak geram, dia tak segan-segan memberikan tatapan benci pada Gevan.

"Aku yang bawain laptopnya ke kamar kamu," kata Gevan.

Gadis itu berdecak, "Ck, dibilang gue males kalau harus pindah! Lagian udah tau sakit masih aja maksain diri, 'kan, ngaruhnya bukan ke diri lo sendiri, tapi ke orang lain juga," Cheryl menatap Gevan tajam, lalu dia memalingkan wajahnya ke arah layar laptopnya.

"Maaf,"

Gevan meletakkan sapu itu, lalu berjalan memasuki kamarnya dan menutup pintunya. Gevan mengambil obatnya, berharap kondisinya membaik. Sungguh Gevan tidak bisa jika harus terus-menerus seperti ini.

Sesaat Gevan berpikir, bagaimana bisa sosoknya di umur sebelas tahun lalu itu terlihat baik-baik saja di saat kenyataan bahwa penyakitnya sangat menyiksa seperti ini. Sosok Gevan berusia sebelas tahun itu bahkan tampak tidak semenderita ia yang sekarang.

Mungkin karena dulu Gevan memiliki sosok ibu yang selalu menemaninya. Tidak seperti sekarang, yang apa-apa harus dikerjakan sendiri.

Gevan hanya rindu Bunda, Gevan rindu pelukan Bunda di saat dia menderita seperti ini.

***

Sore hari, sepulang sekolah, Gevan mengunjungi makam ibunya. Karena sedewasa apa pun Gevan, dia butuh tempat untuk mengadu, walaupun itu hanya kepada makam ibunya.

Gevan duduk di samping makam sang ibu. Tangannya mengusap batu nisan yang tertulis nama ibunya.

"Bunda..."

Suaranya bergetar, di saat seperti ini, Gevan masih mencoba bersikap baik-baik saja.

"Bunda... Kata dokter Bobby, penyakit Gevan kambuh lagi, Bun," lirih Gevan. Meskipun sudah jelas tidak akan ada jawaban, Gevan tetap berbicara pada ibunya.

"Dokter Bobby bilang, penyakitnya udah sampai ke stadium empat, Bun. Gevan pikir udah sembuh, tapi ternyata malah makin parah."

Gevan mencabut rumput liar yang ada di makam ibunya, dan menyingkar daun-daun kering itu. Gevan menaburkan kelopak bunga di atas makam, sambil terus berbicara.

"Maaf, Gevan nggak tau kalau penyakitnya cuma istirahat, bukan sembuh. Jadi Gevan nggak periksa ke dokter lagi." Gevan membenarkan posisi duduknya, menjadi lebih dekat dengan batu nisan itu.

"Gevan kesulitan, Bun. Gevan nggak bisa jaga diri Gevan sendiri, gimana Gevan bisa jaga Cheryl?"

Gevan mengusap batu nisan itu, dia memejamkan matanya dan menghela napas. Lalu dia menatap ke arah langit sore yang berubah menjadi orange.

Sunyi, hanya ada suara angin yang berhembus. Sepi, tidak ada yang menemani Gevan saat ini. "Bunda juga sendirian, 'kan?"

Gevan menatap makam ibunya lagi, "Kalau Gevan nyusul, Bunda marah nggak?"

***

"Lagi sakit, kan? Stop dulu ngelamunnya," Ethan mendorong piring Gevan, menyuruhnya untuk makan. Karena sejak tadi, Gevan hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa memasukkan sesendok nasi pun ke dalam mulutnya.

"Gue nggak tau kenapa gue bisa sakit lagi," kata Gevan. Ia benar-benar tidak memiliki nafsu makan sedikit pun, melihat makanan itu saja Gevan justru terasa sangat kenyang. Jika Gevan memaksakan diri untuk makan, bisa saja dia akan memuntahkannya lagi.

"Emang sakitnya gimana?" tanya Riki, sibuk mengunyah es batu.

"Sesek, dada gue nyeri. Batuk darah sering banget, padahal dulu nggak sesering ini," jawab Gevan, sebelum akhirnya dia mencoba untuk memasukkan sedikit nasi ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan berat hati.

Gevan kemudian menceritakan semua yang dia alami. Riki dan Ethan adalah manusia yang berisik, selalu membuat keributan dan tidak kenal tempat. Tapi jika berada di tengah-tengah situasi yang serius, mereka tidak akan main-main. Terlihat jelas sekarang mereka mendengarkan cerita Gevan dengan serius.

Gevan masih menceritakan tentang penyakitnya. Dia berkali-kali menghela napas, karena hanya berbicara seperti itu saja, dia merasa lelah.

"Dokter bilang gue udah di stadium empat, dan waktunya cuma sampai 10 bulan," kata Gevan.

"Apanya?" tanya Riki, dia menggigit es batu yang membuat Ethan meringis karena merasa ngilu.

"Sisa hidup gue."

Riki mendelik mendengar jawaban Gevan. Dia meneguk air minumnya, karena es batu itu tertelan begitu saja saat mendengar perkataan Gevan.

"Dokter bilang begitu?" tanya Ethan.

Anggukan Gevan membuat Riki berdecih, "Dokter emang paling tau kalau soal penyakit, tapi hidup cuma Tuhan yang tau. Gue curiga dokter itu dokter gadungan, bukannya bikin pasiennya berpikir positif, malah dibikin overthingking begini," katanya.

"Udah banyak korbannya, Riki."

"Tapi banyak yang bisa sembuh, Gevan." Ethan menyahut, dia menatap mata Gevan sejenak, sebelum dia menatap ke arah lain untuk menghindari kontak mata dengan Gevan. Keningnya berkerut, dia jelas tidak suka jika Gevan selalu membicarakan tentang kematian.

"Lo nggak tau apa-apa. Yang gue rasain, nggak pernah lo berdua rasain. Gue juga nggak mau punya pikiran negatif yang bisa micu kesehatan gue, tapi tiap kali kambuh, gue ngerasa gue udah diujung kehidupan gue. Semenyiksa itu, Than."

Ketiganya terdiam, suasana canggung. Gevan merasa berterimakasih pada kedua temannya yang menyuruhnya agar berpikir positif. Tapi di satu sisi, Gevan merasa semua orang hanya bisa berkata-kata, hanya bisa memberi nasihat. Gevan muak dengan kata semangat, karena ketakutan di dirinya terus menggerogoti mental dan fisiknya.

Memecah keheningan, Riki berdeham. "Gue tau mungkin lo ada di titik terbawah lo di saat lo kambuh. Kita bukan ngeremehin penyakit lo, Van. Kita cuma ngasih dorongan positif supaya lo nggak terpicu sama pikiran buruk lo tentang kematian. Penyakit berat nggak selalu berujung kematian, banyak yang sembuh, gue yakin. Sorry kalau mungkin kita selalu terdengar ngeremehin, tapi kita nggak bermaksud begitu. Lo temen kita, dari awal masuk sekolah, lo berdua temen gue. Jadi gue cuma mau lo sabar, sampai lo bener-bener sembuh dan nggak harus menderita kayak gini lagi."

"Dokter bilang penyakit gue nggak bisa sembuh."













***

Tbc.

Peluk Gevan rame-rame🫂

Vote komen yh seng </3

𝐆𝐄𝐕𝐀𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang