2. Bravo

67 8 25
                                    

"Gevan, nanti kalau Bunda bilang lari, Gevan lari, ya?"

Bocah itu menatap ibunya dengan raut wajah bingung, merasa tidak mengerti dengan apa yang ibunya minta. "Lari ke mana, Bun?"

"Lari sejauh mungkin, oke?" Ibunya memasukkan sebuah kantong kecil ke dalam saku celananya.

Mulai menyadari situasi, Gevan menggelengkan kepalanya saat melihat ibunya mulai meneteskan air mata. "Gevan nggak mau, Bun.." Gevan menatap ibunya, mencengkram baju ibunya karena dia tidak ingin menuruti perkataan ibunya.

"Gevan nurut sama Bunda, gak?"

Gevan mengangguk, dia dapat melihat ibunya tersenyum karena dia mengangguk. Ibunya mengusap air mata Gevan, "Kalau begitu Gevan lari duluan, Bunda lari di belakang Gevan, ya?" Ibunya menggenggam tangan lembut milik Gevan, lalu dia mencium kedua pipi putranya yang kini sudah basah karena air mata.

Gevan menatap ibunya sambil menangis, takut, khawatir. Tapi ibunya tersenyum untuk mengisyaratkan kalau tidak akan terjadi apa-apa jika dia menurut perkataan ibunya.

"Lari, Gevan. Jangan lihat ke belakang, Gevan harus terus lari."

Mendengar perkataan ibunya, Gevan mulai mengambil langkah untuk pergi dari sana. Sebisa mungkin, kaki kecil itu mengambil langkah cepat untuk berlari. Tidak menatap ke belakang, Gevan terus berlari. Sang ibu menatap Gevan yang berlari, air matanya tidak berhenti mengalir.

Ingin sekali Gevan menoleh ke belakang untuk memastikan apakah ibunya berlari di belakangnya atau tidak. Mengingat perkataan ibunya kalau dia tidak diperbolehkan untuk menoleh ke belakang, Gevan mengurungkan niatnya dan terus berlari.

Sampai suara keras membuatnya tersentak, Gevan menghentikan langkahnya. Dengan keringat yang menetes di pelipisnya, napas yang tercekat, dan degup jantung yang berdetak cepat tidak beraturan, Gevan menoleh ke belakang. Matanya menangkap mobil-mobil itu hancur karena saling menabrak. Dengan sosok ibunya yang terbaring di tanah dengan darah di sekujur tubuhnya.

Mata Gevan memanas, dia tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Mobil yang sudah hancur itu mengeluarkan asap, seperti akan siap meledak kapanpun itu. Gevan masih terpaku dengan ibunya yang terluka dan tidak sadarkan diri. Dia mengambil langkah pelan untuk mendekati ibunya.

"Bunda..." Suara parau milik bocah itu terdengar menyakitkan, tangan yang bergetar terangkat perlahan seperti ingin mencapai tangan ibunya.

Sampai tangan seseorang menariknya agar menjauh dari lokasi kecelakaan itu, dan begitu Gevan menjauh, mobil itu meledak. Membakar semua yang ada di sekitarnya.

Gevan menatap tubuh ibunya yang ikut terbakar karena ledakan mobil itu.

"BUNDAAAA!!!!"

Seketika matanya terbuka, keringat memenuhi tubuhnya. Tangannya bergetar dan napasnya tercekat. Gevan menatap ruangan bernuansa abu-abu itu. Dia masih sibuk mengambil napas sambil menatap ke sekitar kamarnya. Gevan mengambil posisi duduk, dia mengusap keringat di pelipisnya. "Mimpi lagi.."

Sudah lebih dari lima tahun, mimpi itu terus menghantuinya. Mimpi di mana dia melihat langsung sang ibu tewas di depan matanya dengan mengerikan.

Gevan mengambil remote AC dan mengatur suhu AC tersebut. Gevan beranjak dari kasurnya dan berjalan ke arah jendela untuk membuka gordennya. Seketika ruangan menjadi terang setelah gorden itu dibuka.

Gevan membuka pintu balkon, melihat ke bawah dan menatap tetangganya sudah mulai beraktivitas di pagi ini. Gevan kembali duduk di pinggir kasur, mengecek ponselnya yang sudah ramai dengan chat teman-temannya. Alih-alih membalas chat teman-temannya, Gevan justru mengabaikannya dan membuka chat seseorang.

Om Sandi

| Hari ini jangan lupa datang ya
10.09

Setelah membaca chat itu, Gevan beranjak dan masuk ke kamar mandi. Beberapa menit berlalu, Gevan sudah siap dengan pakaiannya. Dia mengambil kunci motornya dan bersiap untuk pergi ke tempat janjinya itu.

Sejujurnya Gevan tidak yakin apakah keputusan yang dia pilih ini adalah keputusan yang tepat atau tidak. Tapi mengingat dia memiliki banyak hutang budi dengan orang itu, Gevan memiliki banyak pikiran.

Menit berganti jam, Gevan sudah menatap ke arah rumah itu selama sepuluh menit. Setelah sampai, Gevan tidak langsung turun dari motornya dan masuk ke dalam rumah itu. Justru dia menatap rumah itu dengan pikiran yang memenuhi otaknya.

Setelah berpikir lama, Gevan akhirnya membawa motornya masuk melewati gerbang yang baru saja dibuka oleh satpam itu. Setelah memarkirkan motornya, Gevan menatap seorang pria paruh baya sedang duduk di teras dengan koran di tangannya.

Gevan mengambil langkah mendekat, dan pria itu mengangkat kepalanya, menatap Gevan yang baru saja datang. Pria itu meletakkan kacamata dan korannya di atas meja. Lalu dia berdiri dan menyambut Gevan.

"Agak lama, ya," kata pria itu.

Gevan terkekeh, "Macet, Om, malam Minggu soalnya, banyak yang pacaran," jawab Gevan.

"Siang bolong begini mereka udah pacaran? Hadeuhh... Anak muda jaman sekarang," pria itu ikut terkekeh dan mengangguk, merangkul bahu Gevan dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Emang waktu itu Om Sandi nggak pacaran siang bolong begini?" tanya Gevan.

"Lho, nggak dong. Jaman Om dulu siang bolong gini pacarannya di rumah, soalnya dulu belum punya motor, adanya sepeda, nggak bisa tuh yang namanya keliling kota sampe malem," jawab Sandi, lengkap dengan aksen bapak-bapaknya.

Gevan terkikik, "Tapi, 'kan, bisa kalau pake sepeda keliling kota," katanya sambil menatap Sandi yang sudah duduk di sebelahnya.

Sandi tertawa kecil, "Om dulu remaja jompo, nggak kuat gowes sepeda lama-lama. Lima belas menit gowes, istirahatnya dua puluh menit."

Gevan tertawa, merasa terhibur dengan cerita Sandi. Seorang wanita paruh baya datang dengan nampan berisi segelas kopi dan susu hangat. Melihat wanita itu datang, Gevan berdiri dan mengucapkan salam. "Tante," Gevan menatap wanita itu sambil tersenyum.

Wanita itu menyambut Gevan dengan tepukan dibahunya. "Di minum, ya. Lanjut aja ngobrolnya, Tante masih sibuk masak," kata wanita itu.

Gevan mengangguk dan kembali duduk di sofa saat istri Sandi sudah kembali ke dapur. Sandi menatap Gevan sejenak, dia membenarkan posisi duduknya, meletakkan sikunya di atas pahanya.

"Gimana Gevan, udah pikirin ini?" tanya Sandi.

Gevan diam sejenak, sebelum akhirnya dia menjawab. "Gevan pikirin ini setiap hari, Om. Gevan bukannya keberatan atau apa, tapi kayaknya kalau Gevan terima, anak Om justru nggak terima," kata Gevan.

Sandi menghela napas, memikirkan sifat anaknya yang begitu keras dan tidak suka diatur. "Cheryl? Dia sifatnya emang keras. Tapi Om yakin, kok, dia bakal terima perjodohan ini."

"Om serius mau jalanin perjodohan ini? Tapi... Kenapa?" Gevan menatap Sandi, meminta penjelasan kenapa pria ini memintanya untuk ikut perjodohan yang dia buat.

Lagi-lagi Sandi menghela napas, "Om butuh orang yang bisa jaga Cheryl. Karena menurut Om, walaupun Cheryl orang yang mandiri, tapi dia juga butuh seseorang buat jaga dia. Om sama Tante nggak bisa terus-terusan ada buat Cheryl, ada masanya Om sama Tante bakal lepas Cheryl, tapi Om mau ke orang yang tepat, makanya Om pilih Gevan."

"Om percaya sama Gevan? Bahkan Gevan sendiri ragu sama diri Gevan buat jaga anak Om," kata Gevan. Dia menunduk, memikirkan tanggung jawab besar yang Sandi berikan padanya. Gevan tidak tau apakah dirinya bisa bertanggung jawab dan menjaga kepercayaan Sandi atau tidak, karena Gevan justru meragukan dirinya sendiri.

Sandi terkekeh, dia mengusap bahu Gevan. "Om tau Gevan orangnya kayak apa, makanya Om percaya sama Gevan. Tolong jaga anak Om, ya."










***

Tbc...

𝐆𝐄𝐕𝐀𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang