Udara lembab, bunyi percikan air hujan yang menyambar jendela, juga aroma khas hujan menguasai kawasan mereka saat ini. Gevan berada di rumah Riki, beberapa waktu lalu ia mampir ke rumah Riki untuk mengajari temannya tentang rumus matematika. Singkatnya, Gevan menjadi guru les dadakan untuk Riki. Sampai akhirnya hujan menjebak dia yang hendak pulang, seperti menyuruhnya lebih lama di rumah Riki.
Mengingat ia juga membenci berada di bawah siraman air hujan, Gevan akhirnya memilih menetap di rumah Riki sampai hujan itu reda.
Si pemilik rumah tidak keberatan. Justru dengan adanya anggota tambahan di rumahnya bisa meramaikan suasana.
Gevan melamun, menatap ke arah jendela, mendengar tiap percikan air hujan yang menghantam kaca itu. Suara, udara, dan aroma hujan menyeruak ke indera penciumannya. Tidak nyaman. Hal itu hanya membuatnya teringat akan mimpi buruknya.
Mobil yang hancur berderet di hadapannya, aroma darah dan asap yang mengepul, juga teriakan histeris orang-orang yang melihat langsung kecelakaan itu. Dan... Sosok ibunya yang terkapar tak sadarkan diri dengan darah menyelimuti kulit putih dan mulus milik ibunya.
Saat itu hari turun hujan. Aroma darah dan asap bercampur dengan aroma hujan. Itu sangat mengganggu dan membuat siapa pun yang mengendusnya menjadi mual. Gevan kecil hanya bisa menangis dan menangis, menggenggam jemari ibunya yang mulai memucat, berharap jari-jari itu membalas genggaman tangan mungilnya. Dan memberitahunya bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
Gevan tidak berhenti memanggil nama ibunya, menggoyangkan lengan pucat itu dan meletakkan kepalanya di dada sang ibu, memastikan detak jantungnya masih bekerja. Tapi yang Gevan dapati adalah sang dokter dan para perawat membungkus tubuh ibunya dengan kain putih.
Yang Gevan kecil lakukan hanya menggelengkan kepala, menyangkal saat dokter memberi pengertian bahwa ibunya sudah tiada. Mau bagaimana pun Gevan hanya makhluk kecil yang hanya bisa mengharapkan keajaiban saat itu.
Bahkan dekapan hangat dari Sandi kala itu tak cukup membuatnya menerima kenyataan. Mendengar tangisan pilu milik bocah kecil yang terus memandangi jasad sang ibu, hanya membuatnya ikut menangis dan merasa iba. Tubuhnya bergetar karena isakan, seperti tubuh kecil yang masih berada di dekapannya, menangis dan menggigil karena air hujan beberapa waktu lalu.
Sejak saat itu, Gevan tidak menyukai berada di bawah siraman air hujan. Ingatan akan mimpi buruk itu terus memenuhi otaknya jika hari sedang hujan. Tapi Gevan tidak sepenuhnya membenci hujan, walaupun diakhiri dengan menyakitkan, hujan juga pernah membawa kesenangan bersama ibunya, dulu.
"Liki!!"
Teriakan tak terduga menggelegar di setiap sudut ruang tamu. Kedua pemuda yang tengah duduk di sofa tersentak, sama-sama menoleh ke arah bocah kecil yang berlari dengan kaki mungilnya ke arah Riki. Menyambut pria yang lebih tua darinya dengan pelukan di kakinya.
"Liki, Liki," Riki mendengus tiap kali keponakannya memanggil namanya dengan kalimat yang salah. Walaupun ia memaklumi bahwa makhluk mungil ini masih berumur tiga tahun dan belum bisa menyebutkan kata dengan benar, Riki tetap komplain dengan kesalahan penyebutan nama yang dilakukan keponakannya.
"Kalau masih belum bisa ngomong yang bener, panggilnya Abang," Riki memberi nasihat pada bocah yang kini duduk di pangkuannya untuk memanggilnya dengan panggilan yang lebih sopan.
Gelengan yang didapat oleh Riki, keponakannya justru menolak nasihat darinya dengan terang-terangan. "Liki," ia kembali memanggil dengan nama yang menurut Riki sangat menyebalkan itu.
Melihat wajah cemberut milik temannya, Gevan terkekeh. Ia menatap gadis kecil yang duduk di pangkuan Riki. Gevan menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar gadis kecil itu beralih padanya. "Layla, sini sama Abang."
Dengan gesit dan semangat, Layla melompat dari pangkuan Riki seperti burung yang akhirnya bebas dari kandang. Kaki mungilnya menghampiri Gevan, perlahan naik ke atas pangkuan pemuda itu. "Abang," Layla menatap Gevan dengan tatapan polosnya. Pipi tembamnya kini merona setelah melihat senyuman manis dari Gevan.
"Apa?"
Layla menunjuk piring yang berisi kue cokelat di atas meja, yang sengaja dihidangkan saat Gevan sampai di rumah ini.
Mengerti apa yang diinginkan gadis di pangkuannya, Gevan mengambil tisu dan meletakkan sepotong kue cokelat itu di atasnya lalu memberikannya pada Layla. "Makannya yang bener, ya?"
Suara lembut Gevan seperti menyihir pikirannya, Layla mengangguk riang. Menerima kue cokelat itu dan memakannya dengan hati-hati, memastikan remahan kue cokelat itu jatuh pada tisu.
Melihat adegan romantis itu, Riki kembali mendengus. Ia masih tidak menerima kenyataan bahwa keponakannya sendiri justru lebih patuh pada Gevan. Dengan cara gadis itu memanggil Gevan dengan panggilan 'Abang' tapi memanggilnya dengan nama tanpa embel-embel 'Abang'.
Gevan menyeringai pada wajah masam milik Riki, ia tau bahwa akhirnya dialah yang memenangkan hati gadis kecil bernama Layla. Tangannya mengusap kepala Layla, memainkan kuncir kuda milik gadis kecil itu.
Gevan selalu menyukai anak kecil, sifat ceria dari anak-anak itu membuat mereka terlihat polos, seperti tidak memikirkan hal lain selain bermain. Bibirnya tak berhenti membentuk senyuman, sesekali tertawa selama mengobrol dengan Layla. Perasaan senang dan murni ini tak bisa membohongi dirinya. Membayangkan suatu hari nanti akan ada makhluk mungil yang duduk di pangkuannya seperti Layla saat ini, tapi memanggilnya dengan panggilan Ayah.
Gevan selalu ingin punya anak.
Senyumnya sedikit memudar, kini tersenyum putus asa. Mengingat betapa bodohnya ia mengharapkan harapan itu akan terjadi, padahal kenyataannya seperti harapan indah itu berubah menjadi harapan bodoh yang sia-sia.
"Lho, Ethan bukan, ya?"
Suara itu menyadarkan Gevan dari lamunannya, ia menatap kakak ipar Riki, Ayah dari Layla, kini duduk di sofa di seberangnya. Gevan tersenyum, ia mengulurkan tangannya untuk memberi salam pada kakak ipar Riki, lalu berkata, "Gevan, kak."
Andre menepuk keningnya, menganggap dirinya bodoh, lalu ia terkekeh. "Maaf, ya, udah berumur, jadi suka lupa," katanya.
"Gapapa," Gevan tersenyum, memaklumi Andre. Ia menatap Layla yang meminta izin padanya untuk menghampiri ayahnya. Setelah mendapat anggukan dari Gevan, Layla bergegas turun dari pangkuan Gevan, mendatangi ayahnya dan menyuapi pria itu dengan kue cokelat yang tidak habis dia makan.
Andre menerima pemberian dari buah hatinya, mengunyah kue cokelat itu untuk menyenangkan Layla. Keduanya asik bercanda, kasih sayang yang diberikan Andre pada Layla membuat Gevan tertarik dengan hubungan harmonis antara ayah dan buah hatinya.
Gevan tidak membiarkan kesenangan orang lain justru membuatnya terlihat menyedihkan. Walaupun sejak kecil hidupnya selalu dikelilingi rasa prihatin dan iba dari orang-orang karena statusnya sebagai anak yatim piatu. Tapi tetap saja, hubungan baik antara orang tua dan anak selalu membuatnya merasa iri.
Kapan terakhir kali Ayah genggam tangan Gevan?
Dan kapan terakhir kali Gevan menyebut nama Ayah?
Menyedihkan.
Gevan batuk untuk mengalihkan suasana hatinya yang mendadak memburuk. Ketiga pria itu asyik mengobrol di ruang tamu, di temani cemilan dan minuman hangat di atas meja. Andre mendengar cerita dari dua pemuda di hadapannya yang saling bertukar cerita. Mengingat masa mudanya, Andre juga ikut berbagi cerita.
Sampai langit berubah menjadi gelap, akhirnya hujan berhenti. Tapi Gevan masih di sana, belum mau beranjak pergi. Hal seperti ini sangat mustahil terjadi di rumahnya. Karena saat sampai di rumahnya, obrolan hangat seperti ini hanyalah angan baginya. Jadi Gevan menghabiskan waktunya bersama Riki dan Andre.
***
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆𝐄𝐕𝐀𝐍
Fanfiction❝Bukan kamu yang nggak pantas untuk bahagia, Gevan. Tapi dunia yang terlalu jahat buat kamu.❞ Gevan Sarendra, remaja yang didewasakan oleh kehidupan sebelum waktunya. Memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk orang-orang di sekitarnya ♛♛♛ A teenf...